Emile Durkheim (Elementary Forms of the Religious Life: 1912)

Emile Durkheim (1858-1917) lahir di kota kecil Lorraine tahun 1858, dan berasal dari keluarga Yahudi Perancis. Semula ia belajar teologi untuk menjadi pendeta di Yahudi. Tidak diketahui penyebabnya, tiba-tiba ia pindah dan belajar sastra di suatu Lycee di Paris. Durkheim kemudian belajar filsafat dan psikologi di Jerman karena tertarik pada tuliasn-tulisan A. Comte, F. de Coulanges dan Saint Simon, serta W. Wundt dan H. Spencer. 
Tahun 1887, Durkheim diangkat menjadi dosen Sosiologi di Universitas Bordeaux di mana ia menulis karya-karya pentingnya De La Division du Travail Social: 1893 (Mengenal Pembagian Kerja dalam Masyarakat), Les Regles da la Methode Sociologique: 1895 (Aturan-aturan Mengenai Metode Sosiologi) dan Le Suicide: Etude de Sociologique (Bunuh Diri: Sebuah Metode Sosiologi). Di tahun 1902, Durkheim diangkat menjadi guru besar di Ecole Normale Superieure Paris (Koentjaraningrat, 1987:85). Sepuluh tahun setelah itu, terbit karya pentingnya tentang agama, yaitu Elementary Forms of the Religious Life: 1912 (Bentuk-bentuk Elementer mengenai Kehidupan Beragama). Karya inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini.
Isi dari Elementary Forms of the Religious Life (1912) berupa analisa mendetail dari asas-asas religi. Merujuk pada uraian I. Seger dalam Durkheim and His Critics on the Sociology of Religion (1957: 8-14), Durkheim dalam bukunya melakukan tiga hal: (1) menganalisa religi yang dikenal sebagai wujud religi dalam masyarakat yang paling sederhana (2) meneliti sumber-sumber asasi dari unsur-unsur religi tadi (3) membuat generalisasi ke religi-religi lain mengenai fungsi asasi dari religi dalam masyarakat manusia.

Alasan Durkheim memilih sistem religi dalam masyarakat yang sederhana, supaya pertama, ia dapat lebih mudah meneliti unsur-unsur elementer dari konsep-konsep asasi religi itu, tanpa terganggu oleh konsep-konsep, mite-mite dan keyakinan-keyakinan kompleks seperti yang terlihat dalam masyarakat modern. Kedua, dalam masyarakat sederhana biasanya belum terdapat macam perbedaan-perbedaan keyakinan antara penganut religinya yang menyebabkan religi itu pecah dalam banyak sekte yang saling bertentangan.

Objek penelitian yang dipilihnya adalah sistem-sistem religi penduduk pribumi Australia, yaitu suku Warramunga di daerah hulu sungai Finke (Australia Utara), suku Wombya (Australia Barat), suku Arunta, Lorica, Urabunu, di daerah Danau Eyre (Australia Selatan) dan suku Kaitish, Worgoia, Binbinga, Walpau, Guanji, Unmacera, Mara dan Aula di antara Pegunungan Mc Donnel dan Teluk Carpentaria di Australia Utara.

Melalui Penelitiannya, Durkheim mau mengembangkan suatu definisi mengenai religi yang dapat mengatasi segala macam aneka warna-warni ekspresi keagamaan yang dikenal semua manusia di bumi. Ia tidak setuju konsep J.G. Frazer yang memandang religi dalam masyarakat bermula dari magi. Manusia mula-mula hanya mempergunakan magi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hidupnya. Lambat laun terbukti bahwa banyak tindakan magi ternyata tidak membuahkan hasil. Berangkat dari sini, mulai tumbuh keyakinan bahwa alam dihuni oleh makhluk gaib yang lebih berkuasa darinya. Untuk itu, ia lalu membangun hubungan dengan makhluk gaib itu. Muncullah religi. 

Jadi, religi berhubungan dengan suatu alam dunia yang ada di luar batas kemampuan akal manusia (Frazer, 1922). Kritik Durkheim atas Frazer ini didasarkan pada hasil penelitiannya pada penduduk pribumi Australia yang menunjukkan bahwa tidak ada batas antara dunia yang ada di dalam batas akal manusia dan dunia gaib yang ada di luarnya. Banyak contoh di mana orang-orang Australia itu menghubungkan benda-benda dan kekuatan-kekuatan yang dapat mereka kuasai sepenuh rasionalitas sebagai benda-benda keagamaan. 

Durkheim juga tidak setuju dengan M. Muller yang beranggapan bahwa agama berasal dari kebutuhan asasi manusia untuk mencari masalah kekuatan hakiki yang menguasai hidup dan alam sekitarnya, yang memunculkan gagasan-gagasan mengenai dewa-dewa, roh-roh dan Tuhan (Muller, 1873:18). Keberatan Durkheim didasarkan pada realitas yang ditemuinya sekarang, yang menunjukkan bahwa walaupun manusia sudah banyak menemukan kekuatan-kekuatan yang menguasai hidup dan alam sekitarnya, religi dan agama masih belum terdesak dari lingkungan hidupnya. 

Lagi pula banyak religi dalam berbagai kebudayaan di dunia tidak mengenal adanya dewa-dewa atau roh-roh. Dengan demikian, menurut Durkheim, tentu ada satu hal yang selalu ada dalam segala macam gagasan dan perilaku keagamaan manusia, yaitu perasaan bahwa hal-hal yang bersangkutan dengan religi dan agama itu bersifat keramat (sacre), berbeda dengan hal-hal yang tidak bersangkutan dengan religi atau agama yang bersifat profan (profane). 

Dari sini, Durkheim berpendapat bahwa dunia ini memiliki dua domain: yang satu berisi hal-hal yang suci, dan yang kedua bersifat profan, dalam pembedaannya mengenai struktur pikir keagamaan. Kepercayaan-kepercayaan, mitos-mitos, dogma-dogma dan cerita-cerita (agama) atau sistem-sistem kepercayaan merupakan ekpresi dari sesuatu yang sacre, dan kekuatan yang menyelubungi atau relasi-relasi yang menghubungkannya dengan religi bersifat profane.

Durkheim kemudian meninjau tentang berbagai macam teori tentang asal mula religi. Mula-mula ia mengupas teori E.B. Tylor tentang animisme. Kalau memang benar apa yang dikatakan Tylor bahwa agama berasal dari salah tafsir mengenai mimpi, maka sudah tentu religi sebagai ilusi itu sudah sejak lama hilang dari masyarakat manusia. Karena itu, bagi Durkheim, tentu ada suatu sistem religi yang lebih mendasar dan lebih tua daripada animisme. Untuk itu, Durkheim kemudian menunjuk pada totemisme.

Durkheim kemudian melacak semua tulisan tentang totemisme, sebelum diaplikasikannya pada penduduk pribumi Australia. Suatu gejala penting yang dijumpainya adalah hubungan erat antara totem dengan organisasi sosial, sistem klen, di mana totem juga merupakan suatu jenis binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda keramat. Binatang, tumbuhan atau benda keramat yang dianggap totem sama sekali bukan hal yang perlu ditakuti, atau hal yang menakjubkan, bahkan seringkali hanya berupa pohon biasa, yang tidak berbeda sama sekali dengan batu atau pohon lain, dan tidak menampakkan adanya jiwa atau roh yang menempatinya. 

Akan tetapi totem tersebut melambangkan solidaritas, dan identitas klen yang selalu tampak dalam upacara-upacara klen dan tatoo di kulit, yang pada akhirnya memberi sifat keramat pada segala hal yang bersangkutan dengannya. Dengan demikian, bukan benda/totemnya yang penting, tetapi suatu prinsip yang menyebabkannya menjadi lambang dari suatu kesatuan sosial. Inilah yang disebut Durkheim sebagai prinsip totem (principe totemique).

Penduduk pribumi Australia Tengah menjalani hidupnya dalam dua musim, yaitu musim berburu dan musim bermukim. Pada musim berburu, keluarga-keluarga inti menyebar ke wilayah-wilayah berburu masing-masing. Jarak antar wilayah biasanya ditempuh dalam beberapa hari perjalanan. Bila hari sudah malam, mereka mendirikan kemah di belakang tadah angin, yang dibuat dalam waktu singkat dari bahan-bahan belukar dan bahan-bahan ringan lainnya. 

Apabila musim berburu berakhir mereka semua berjalan kembali ke tempat pemukiman induk mereka, di mana mereka tinggal bersama kerabat-kerabat mereka dalam rumah-rumah yang besar dan luas. Pada musim ini kehidupan sosial sangat intensif, dengan suatu rangkaian upacara bersama yang bersifat keagamaan antar semua warga klen. Di dalam upacara tersebut lambang totem menjadi sangat pusat dan penting. Lambang totem itulah yang seakan-akan menggugah semangat keagamaan seseorang.

Intensitas emosi keagamaan sebagai sumber elementer dalam kehidupan umat manusia bersumber pada ketidaksadaran kolektif para warga klen, yang sebaliknya dapat diintensifkan lagi oleh emosi keagamaan yang ditimbulkan dalam upacara-upacara totem itu. Kesadaran kolektif memberi semangat hidup baru yang dibutuhkan oleh tiap warga klen apabila mereka nanti dalam musim berburu harus berpisah karena harus berjuang untuk mencari nafkah.

Akhirnya Durkheim menyatakan bahwa dalam semua sistem religi di dunia ini, ada suatu hal yang ada di luarnya, suatu in foro externo, dalam arti bahwa hal itu tetap akan ada dalam sistem religi, lepas dari wujud, isi atau materinya, yaitu kebutuhan asasi dalam tiap masyarakat manusia yang mengikuti sistem terigi tadi untuk mengintensifkan lagi kesadaran kolektifnya dengan upacara-upacara keramat. 

Kebutuhan akan hal-hal ini akan tetap ada meskipun ilmu pengetahuan telah menggantikan mitos, kosmologi dan kosmogoni agama dalam hal menerangkan asas-asas kekuatan alam, dan juga bila ajaran agama telah menyesuaikan diri dengan kemajuan pengetahuan serta otonomi moral individu yang makin lama makin meluas. Walaupun demikian, manusia-manusia masih membutuhkan keyakinan-keyakinan, sentimen-sentimen, dan kesadaran kolektif yang memberi identitas kepadanya dan mampu memperkuat kebutuhan moralnya. Dengan demikian, upacara-upacara yang terlahir dari gagasan-gagasan kolektif tidak akan pernah hilang dari kehidupan manusia.

Pelacakan Durkheim akhirnya sampai pada suatu definisi kerja mengenai religi yang berbunyi, “Religi adalah suatu sistem kepercayaan dan praktek ritual yang ditujukan pada sesuatu yang suci, yang berkaitan dengan keyakinan-keyakinan dan upacara-upacara yang keramat, yang berorientasi pada suatu komunitas moral, yang disebut umat (Eglise)”. 

Konsep Eglise di sini juga dimasukkan Durkheim untuk membedakan religi dengan ilmu gaib, di mana ilmu gaib biasanya tidak berumat. Pembedaan Durkheim ini agak berbeda dengan teori Frazer yang menyatakan bahwa religi adalah segala macam tingkah laku manusia untuk mencapai maksud danh tujuannya dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan kekuasaan di luar manusia, sedangkan ilmu gaib merupakan sistem tingkah laku manusia untuk mencapai tujuan dengan menguasai atau menggunakan kekuatan-kekuatan alam.

Komentar

Postingan Populer