Beda Kakek Renta Dengan Pencuri

APA beda kakek renta dengan pencuri? Jelas beda dari istilah. Bisa jadi berbeda dalam hal usia, bisa juga berbeda dalam kemampuan berjalan dan berlari. Itu sudah pasti. Tapi ini tentang beda secara sikap, bukan beda secara fisik.

Bagaimana sikap kita saat ditegur orang lain? Sakit, sudah jelas. Marah, kesal, dongkol bahkan bersikap kasar terhadap sang penegur pun bisa saja dilakukan. Mungkin secara kemanusiaan memang normal, wajarlah. Siapa yang suka dengan teguran?

Secara psikologis, tidak ada manusia yang suka dengan teguran. Dianggap membuka aib atau bahkan kita berkata begini, “Sok ngurusin hidup orang lain. Urus dulu hidup kamu sendiri!”
Padahal teguran itu sangat bermanfaat untuk kehidupan. Kita tahu kesalahan kita supaya kita bisa memperbaikinya. Teguran itu bentuk kasih sayang orang lain terhadap kita. Ia sangat peduli terhadap kehidupan kita, tidak mau kita terjerumus ke dalam kemaksiatan. Karena kemaksiatan itu akan membawa kepada kemurkaan Allah SWT dan sudah pasti menggiring kita ke neraka kelak. Na’udzubillah.

Saya teringat dengan taushiyah seorang ustadz di sela waktu isya’ dan tarawih bulan Ramadhan kemarin. Beliau memang seringkali menjelaskan sesuatu dengan perumpamaan.

Malam itu beliau menjelaskan tentang seorang kakek dan pencuri.

Di sebuah malam, seorang kakek tengah berjalan di atas pematang sawah yang kecil sekali. Untuk berjalan di atasnya kakek itu harus berhati-hati karena jika tidak begitu, siap-siap saja dengan sapaan lumpur pekat. Ya, bisa terperosok atau terjerembab ke dalam ladang benih padi. Luar biasa kotor dan sakit sekali.

Dengan sangat hati-hati sang kakek melewati pematang itu, berjalan di atasnya sedikit demi sedikit. Sepertinya lebih tepat mengendap-endap di atas pematang sawah. Ia baru mencapai separuh perjalanan, padahal ia harus cepat sampai di persimpangan menuju desa mengejar kereta pertama tengah malam nanti. Demi bertemu dengan cucunya yang sedang sakit parah.

Di tengah perjalanannya sang kakek terkejut, karena tiba-tiba saja ada secercah cahaya menerangi pematang sawah. Tentu saja memudahkannya untuk berjalan di atas pematang itu. Sang kakek melihat ke arah sumber cahaya, ternyata di belakangnya ada seorang pemuda yang membawa senter menerangi pematang.

Pemuda itu tersenyum, kakek pun membalasnya dengan senyuman dan ucapan terima kasih. Pemuda itu ternyata seorang penjaga kebun kelapa, ia tengah berjaga di sekitarnya untuk memastikan tidak ada pencurian lagi yang terjadi malam itu.

Jika sang kakek itu tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada pemuda yang menyinari perjalanannya. Bagaimana jika seorang pencuri yang disoroti cahaya senter pemuda tadi, apa reaksinya? Akankah sama?

Kita sudah bisa menebak, pencuri itu pasti akan lari terbirit-birit karena ada yang mengetahui tindakan kriminalnya. Ia akan menghindari kejaran pemuda itu. Atau melakukan perlawanan karena ketahuan mencuri, menggerutu mengapa bisa sampai ketahuan.

Umpamakan cahaya itu adalah teguran, dan pemuda itu adalah penegur. Jika kita bersikap baik nan ramah serta mengucapkan terima kasih kepada pemuda itu seperti sang kakek, maka berbahagialah. Karena kita bisa menerima teguran dengan hati yang lapang.

Tapi jika kita menerima cahaya itu dengan gusar dan marah bahkan berkata atau berlaku kasar, apa bedanya kita dengan pencuri tadi?

Mari belajar berterima kasih kepada sang penegur, sahabat kita yang sebenarnya. Terlepas dari cara penyampaian sang penegur, tentunya dengan cara yang baik. Tidak diungkapkan saat banyak orang, dengan cara yang lembut dan tidak menyakiti hati.

Karena hidup ini tidak lepas dari kesalahan dan manusia berada dalam kerugian, Allah SWT berfirman.

“Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebaikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (QS. Al-’Ashr: 1-3).

Mari saling menasihati. Dan yang dinasihati, mari berlapang dada, muhasabah diri dan berubah.

Oleh: Fathiyah Hayati

Komentar

Postingan Populer