Fakta Baru Minuman Soda

Minuman bebas kalori bukan berarti terbebas dari resiko. Sebuah studi baru menemukan hubungan antara minum diet soda dapat meningkatkan resiko depresi.

Studi ini telah menganalisa lebih dari 263.900 orang dewasa yang berusia 50-71 tahun di Amerika Serikat (AS). Para peneliti meminta mereka menjawab pertanyaan seputar kebiasaan mengonsumsi minuman antara tahun 1995 dan 1996.

Sekitar 10 tahun kemudian antara tahun 2004 hingga 2006, orang-orang yang sama itu juga ditanyakan apakah dokter telah mendiagnosa mereka memiliki depresi sejak tahun 2000.
Berdasarkan hasil studi itu diketahui orang yang secara teratur minum empat kaleng atau lebih dari setiap jenis soda per hari, mengalami peningkatan resiko depresi 30 persen. Jauh lebih tinggi didiagnosa menderita depresi ketimbang orang yang tidak minum soda sama sekali.

Resiko depresi paling tinggi terutama menimpa orang-orang yang suka minum diet soda. Tercatat sekitar 31 persen peningkatan resiko depresi karena hobi minum diet soda.

"Sedangkan mereka yang minum soda reguler, peningkatan resiko depresi hanya 22 persen," kata para peneliti seperti dilansir Live Science.

Sebuah penelitian lain di Amerika Serikat (AS) yang melibatkan 200 responden laki-laki dan perempuan berusia diatas 38 tahun membuktikan bahwa minuman bersoda baik yang mengandung gula ataupun pemanis buatan dapat meningkatkan resiko tekanan darah tinggi hingga 13 persen.

Peneliti dari University of Maryland Medical Center, Lisa Cohen, bersama peneliti lainnya melakukan penelitian kepada 224.000 pekerja kesehatan berusia 16 hingga 38 tahun. Tidak ada responden yang didiagnosis memiliki tekanan darah tinggi pada awal penelitian tersebut.

Penelitian dimulai dengan menganalisa responden yang rutin mengkonsumsi minuman bersoda dengan yang tidak. Dari hasil penelitian, para responden yang minum setidaknya satu minuman bersoda manis dalam satu hari memiliki peningkatan risiko 13 persen hingga 14 persen menderita hipertensi dibandingkan dengan mereka yang hanya minum satu kali dalam satu bulan.

"Kami belum tahu pasti penyebab peningkatan resiko hipertensi akibat minuman bersoda manis," kata peneliti dari University of Maryland Medical Center, Lisa Cohen, seperti yang dilansir Reuters.

Penelitian sebelumnya menyatakan fruktosa yang terkandung dalam buah juga dapat menyebabkan hipertensi. Namun, Cohen mencatat hasil penelitian tersebut belum akurat karena waktu penelitian yang singkat. “Sulit menentukan mana yang lebih dulu mengakibatkan hipertensi,” ujar Cohen.

Dalam Journal of General Internal Medicine disebutkan bahwa minuman berkarbonasi sangat terkait dengan risiko hipertensi dan fruktosa dalam buah sebagai faktor pendorong. "Sulit mengatakan bahwa fruktosa dapat meningkatkan resiko hipertensi,” kata Cohen.

Untuk melihat apakah fruktosa menjadi penyebab meningkatnya hipertensi, para peneliti melihat para responden yang memiliki tingkat konsumsi fruktosa yang tinggi dalam diet mereka.

Hasil penelitian membuktikan yang mengkonsumsi 15 persen kalori dari sumber-sumber fruktosa selain minuman, seperti buah, ternyata memiliki resiko terkena hipertensi lebih rendah. "Dari penelitian ini Anda akan berpikir bahwa buah menjadi faktor penyebab hipertensi,” kata Cohen.

Namun, Cohen menyatakan akan dilakukan penelitian lanjutan mengenai hubungan antara minuman berkarbonasi dan fruktosa dalam buah dengan peningkatan resiko hipertensi.
Sedangkan studi terkini dari Denmark menunjukan ada bahaya baru terungkap. Menenggak jenis minuman ini secara rutin tiap hari meningkatkan jumlah lemak di hati, otot dan sekitar organ-organ dalam perut.
Jenis peningkatan lemak itu terkait dengan studi lain yang mengkaji membesarnya risiko diabetes dan penyakit hati.

Studi ini menyimpukan efek samping minuman bergula ternyata lebih besar dari sekedar penambahan berat badan atau penimbunan lemak. "Masalahnya terjadi penumpukan lemak di tempat yang salah, " ujar guru besar di Kesehatan Publik Havard, Frank Hu, yang tak terlibat dalam studi.

Riset yang dipimpin oleh Dr. Bjørn Richelsen Rumah Sakit Universitas Aarhus, Denmark, menanyai orang-orang yang mengonsumsi baik air putih, susu, cola diet atau cola biasa setiap hari dalam enam pekan. Partisipan berjumlah 47 orang dalam studi itu dalam kondisi berat badang berlebih bahkan obese.

Richelsen mengatakan timnya sengaja memilih meneliti grup ini karena orang-orang dengan berat badan berlebih dan obesitas akan lebih sensitif dengan perubahan pola makan ketimbang mereka yang berberat badan normal.

Pada akhir studi, mereka yang rutin meminum tipe soda dengan gula memiliki 25 persen lemak lebih banyak di sekitar organ-organ dan bertambah dua kali lipat di sekitar liver dan otot.

Penambahan lemak semacam itu, menurut kesimpulan sebagian besar studi yang pernah dilakukan--terkait dengan peningkatan risiko pengembangan sindrom metabolisme seperti diabetes tipe dua, penyakit jantung dan penyakit liver nonalkoholik, demikian Richelsen memaparkan.

Sindrom metabolisme adalah grup faktor kesehatan yang berhubungan erat dengan tingginya risiko diabetes dan stroke.

Tipe lemak yang ditemukan dalam studi tim Richelsen--disebut lemak ektopik--dianggap lebih berbahaya terhadap metabolisme kesehatan manusia ketimbang lemak yang terkumpul di bawah kulit.

"Sudah dipastikan dengan baik lewat berbagai pembuktian bahwa lemak ektopik sangat 'tidak sehat' dan memicu kerusakan fungsi dari organ yang terkena," ujar Richelsen.

Hu dari Harvard menyatakan hasil eksperimen Richelsen melengkapi studi yang telah menyurvei orang-orang terhadap kebiasaan minum soda merkea. "Penelitian ini memberi satu potong lagi bukti yang mendukung rekomendasi pengurangan konsumsi minuman manis bersoda," ujarnya.
Sumber: healthnews.com dan berbagai sumber.

Komentar

Postingan Populer