Haji Agus Salim

Agus Salim, Menteri yang tak Mampu Beli Kafan
Kesederhanaan Haji Agus Salim terkadang terasa ekstrem bagi kita yang hari ini terbiasa melihat para pejabat negara diperlakukan ‘sangat-sangat pisan’ istimewa. 

Sama seperti manakala kita mendengar cerita Khalifah Umar saat meniup lilin yang dibeli dengan uang negara, manakala anaknya Abdullah bin Umar memasuki kamarnya di malam hari untuk keperluan keluarga.

Misalnya, saat salah seorang anak Agus Salim wafat, pejabat negara itu bahkan tak punya uang untuk membeli kain kafan.  Agus Salim pun membungkus jenazah anaknya itu dengan taplak meja dan kelambu yang kebetulan berwarna putih.

Mentor Muhammad Natsir, Kasman Singodimejo dan Muhammad Roem--yang tentu akan membantunya, itu menolak pemberian kain kafan baru. 

“Orang yang masih hidup lebih berhak memakai kain baru,” kata dia. “Untuk yang mati, cukuplah kain itu.”

Tentu karena pejuang yang fasih berbicara dalam sembilan bahasa asing itu tahu, yang paling berharga dibawa anaknya ke alam baka tak lain semata amal baik. 

Karena ia tahu, yang diambil dari kekayaan manakala berpulang hanyalah kain kafan. Taplak meja dan kelambu itu, bagi Agus Salim jauh lebih jelas dan mampu ia pertanggungjawabkan di hadapan Ilahi, di Yaumul Akhir nanti, ketimbang pemberian yang asal-usul dana pembelinya tidak ia mengerti.


Diejek Bagai Kambing, Agus Salim Membalas Cerdas

Dalam pertarungan di internal Sarekat Islam—sampai memunculkan nama ‘SI Merah’ yang berhaluan Sosialisme-Komunisme, Agus Salim kerap mendapatkan ejekan.

Misalnya, dalam satu kesempatan berpidato, Muso pernah mengejek Cokroaminoto seperti kucing dan Agus Salim sebagai kambing. 

Muso berteriak dari podium,” “Saudara-saudara, orang yang berjanggut itu seperti apa? “Kambing!” jawab sebagian hadirin. Tentu saja, mereka yang pro Muso yang Komunis. “Lalu, orang yang berkumis itu seperti apa? “Kucing!”

Tiba gilirannya berpidato, Agus Salim berkesempatan menjawab. “Saudara-saudara, pertanyaan Saudara Muso tadi belum lengkap. Orang yang tidak berkumis dan tidak berjanggut itu seperti apa?” Salim menjawab sendiri, “Anjing!”

Pada kesempatan lain berpidato, setiap akhir kalimat Agus Salim selalu disambut kelompok SI Merah dengan sahutan menghina. 

“Mbeeek! Mbeeek!” Itu untuk mengejek janggut Agus Salim yang mereka hina mirip janggut kambing.

Namun bukan Agus Salim kalau kehilangan akal. 
Ia enteng ia membalas. “Sungguh menyenangkan, kambing-kambing-pun mendatangi ruangan ini untuk mendengar pidato saya. Sayang mereka kurang mengerti bahasa manusia, sehingga menyela dengan cara yang kurang pantas. Saya sarankan kepada mereka agar keluar ruangan sekadar makan rumput di lapangan. Kalau pidato saya untuk manusia ini selesai, silakan masuk kembali, dan saya akan berpidato dalam bahasa kambing untuk mereka.” 


Haji Agus Salim Ternyata Pernah Tinggalkan Agama

Siapa sangka, pejuang kemerdekaan dan pembela Islam Haji Agus Salim ternyata pernah bersikap agnostik. Agnostik adalah sikap yang secara sadar ditempuh seseorang untuk meragukan keberadaan Tuhan.

Agus Salim, yang bernama asli Masjhudul Haq, mengalami kegalauan keimanan itu seiring kian lama dirinya mengenyam pendidikan barat. 

Selepas Europeesche lagere School (ELS) Riau, Agus Salim yang merupakan putra seorang jaksa di Pengadilan Tinggi Riau, Sutan Muhammad Salim, melanjutkan belajar ke Jakarta.

Di Jakarta, Agus Salim melanjutkan studi ke Hogere Burger School (HBS), di Jalan Salemba. 
Meski setara SMU saat ini, HBS adalah sekolah yang banyak mengajarkan filsafat barat. 

Itu memang disengaja, karena kurikulumnya disusun Snouck Hurgronje, yang menurut Agus Salim,” (Ingin) menjauhkan dari ajaran Islam, yang menyebabkan mereka menjaga jarak dan kurang tertarik pada pengaruh barat.” 

Tetapi jangan salah, hubungan Agus Salim dengan Hurgronje adalah murid-guru yang saling menyayangi. Agus Salim mengakui, pendidikan di HBS berhasil menggoyahkan keimanannya.

Untunglah, karena dorongan Hurgronje pula Agus Salim menerima pekerjaan di Konsulat Belanda di Jeddah—yang saat itu masih dalam kekuasaan Turki Usmani. 

Di sinilah, dengan memantapkan diri lima tahun berturut-turut melaksanakan ibadah haji, keimanan Agus Salim pun kembali. Perjalanan rohani itu membuat Agus Salim bisa menghargai manakala adiknya, Khalid—pernah dibuang ke Boven Digul, memilih menjadi seorang ateis. 

Di kemudian hari, manakala Khalid kemudian menjadi pemeluk Katolik, Agus Salim memberikan komentar. 
“Saya sekarang jauh lebih dekat dengan Khalid karena ia seorang Katolik. Artinya, sekarang dia punya Tuhan. Dulu kan dia ateis.” 


Hormati Tamu, Agus Salim Batalkan Puasa


Urusan berbeda hari Idhul Fitri ternyata bukan monopoli zaman ini. Di zaman dulu pun seringkali terjadi perbedaan umat dalam menentukan Lebaran.
Suatu ketika, Haji Agus Salim meyakini datangnya 1 Syawal alias Lebaran, jatuh sehari setelah hari yang diyakini masyarakat muslim Indonesia. 

Alhasil, ia tetap menjalankan puasa manakala yang lain telah berlebaran.
Tetapi pada hari itu ia kedatangan tamunya dari Condet, Jakarta Timur, yang datang bersilaturahmi Lebaran. Agus Salim menerima, menjamu tamunya, bahkan membatalkan puasa, ikut makan bersama tamu.

Esoknya, Agus Salim menjalankan salat Idhul Fitri. Keesokan harinya, ia kembali menjalankan puasa, membayar utang puasa Ramadhan manakala ia ikut makan bersama tamunya.

Tampaknya, bagi Haji Agus Salim kewajiban Muslim untuk menghormati tamu, tak kurang penting daripada mempertahankan pendapat soal kapan tepatnya Lebaran jatuh.

WC Rusak, Agus Salim Mengurus Pispot Sang Istri
Jika yang dicari adalah harta, mungkin Haji Agus Salim akan terus bekerja di konsulat Belanda di Jeddah. Tetapi bukan gemerlap dunia yang pasti ditinggal mati yang ia cari. Itu yang membuat Haji Agus Salim dikenang hingga kini.

Sederhana kemudian menjadi istri kedua sepanjang hayatnya. Tak hanya berumah di gang sempit di kawasan kumuh Jatinegara, rumah itu pun bukan miliknya. Ia hanya mampu mengontrak. Dalam ‘100 Tahun Agus Salim’ yang diterbitkan Sinar Harapan 1984, terungkap, rumah itu penuh dengan koper-koper dan kasur gulung yang teronggok di berbagai sudut. 

Kasus-kasur itulah yang digunakan Agus Salim—saat itu menteri luar negeri RI, bersama istri dan anak-anaknya.

Untuk mendapatkan suasan baru, sekitar enam bulan sekali keluarga menteri itu mengubah letak meja kursi, lemari, bahkan tempat tidur. 

Tak jarang pula kamar makan ditukar dengan kamar tidur. Agus Salim yakin, cara itu membuatnya merasa berada di lingkungan berbeda, tanpa pindah rumah atau pergi pakansi ke luar kota.

Suatu ketika WC di rumah itu rusak. Setiap Agus Salim menyiramnya, air dari lobang WC meluap keluar.  Konon, Zainatun Nahar, sang istri sempat menangis karena bau kotoran yang meluber itu. Ia tak kuat menahan jijik dan muntah-muntah.

Apa yang dilakukan Agus Salim sebelum—mungkin saja, memperbaiki WC itu? Alih-alih bersegera dan menggunakan dana dari mana pun datangnya, 

ia melarang istrinya buang air di kakus tersebut. Ia sendiri yang kemudian rutin membuang kotoran istrinya yang berganti ke penggunaan pispot.

[Inilah/dsy/berbagai sumber]

Komentar

Postingan Populer