Pengkhianat
Artikel ini dikutip dari tausyiah Ustadz Yusuf Mansur. Betapa sebelnya kita jika dikhianati. Suami dikhianati oleh istrinya. Istri dikhianati oleh suaminya. Sahabat ditikam dari belakang oleh sahabatnya.
Orang yang diberi modal, malah membawa kabur modal yang kita beri. Mitra kerja yang kita percaya menangani proyek, malah merebut proyek kita. Orang tua yang memberi rumah, malah rumahnya dijual buat hura-hura.
Dan bermacam-macam lagi bentuk pengkhianat an. Sepertinya hampir setiap orang pernah merasakan begini, tinggal soal besar kecilnya saja. Sebagai rakyat, kita pun memberi amanah kepada fulan dan fulan untuk menjadi wakil kita. Kita yang memilih, atas izin Allah, mereka menjadi penguasa, menjadi pemimpin. Tapi kemudian, kepercayaan itu dikhianati. Kita orang kecil, disuruh patuh. Tapi mereka?
Orang bila diberi kesempatan untuk berbicara tentang pengkhianatan, tampaknya fasih sekali. Saya aja, kalau tidak dihentikan, akan terus banyak omong.
Nggak sadar kalau saya ini, dan banyak lagi orang, ternyata juga pengkhianat besar juga. Nggak tanggung-tanggung. Yang kita khianati adalah Allah. Astaghfirullahal ‘azhim.
Allah kasih kita hidup dan kehidupan. Tapi dipanggil untuk shalat, malah menunda-nunda. Coba kalau kita punya staf, sopir, orang yang sudah kita beri modal, atau anak kita deh.
Kita panggil, lalu mereka mengabaikan panggilan kita. Nggak segera datang, kita pasti sebelnya minta ampun. “Dulu mah sebelum dimodalin, gampang banget dipanggil. Mau disuruh apa aja.” Begitu mungkin kata kita.
Nah, lalu kita ini apa di hadapan Allah? Yang kalau dipanggil Allah untuk shalat, lewat wakilnya di dunia ini, yakni muazin, lalu kita nggak datang.
Datangnya pun seperti orang malas, tidak siap. Nggak dengan hati, pikiran, pakaian, keadaan yang siap, yang bagus, yang rapi. Sedang Allah Maha Tahu, bagaimana diri dan hati kita.
Allah memberi kita mata, kaki, tangan, telinga, mulut, dan pikiran. Tapi apa yang terjadi? Kita bermaksiat dengan apa yang Allah sudah percayakan kepada kita.
Allah memberi kita pekerjaan, usaha, namun yang pertama kali dan paling sering dilupakan, justru Allah. Sebelum dapat pekerjaan, minta sampai menangis. Khususnya bagi yang menganggurnya terlalu lama, sementara beban begitu berat.
Eh, di hari pertama interview aja, dipanggil shalat oleh Allah, sudah menunda panggilan Allah. Padahal baru diuji dengan interview saja.
Khawatir kalau giliran wawancara tiba, malah sedang shalat. Begitu dikasih pekerjaan, satu demi satu shalat sunah hilang, shalat yang fardhu pun mulai berantakan.
Allah memberi kita uang, tapi yang kita kembalikan kepada-Nya malah paling sedikit. Dan segudang atau sederet hal lain yang saya sendiri harusnya istighfar, agar mendapatkan ampunannya. Apa jadinya bila Allah mencabut semua Karunia-Nya dari kita?
Komentar
Posting Komentar