Kapan Revolusi Berangkat ke Tanah Suci?

Setahun lalu, majalah Foreign Policy memuat tulisan Madawi Al-Rashed yang yakin mengatakan bahwa Arab Saudi sudah sangat matang untuk perubahan (ripe for change).

“Image negara kaya nan tentram, dengan masyarakat yang apolitis kini telah berubah,” kata penulis buku Contesting Saudi State: Islamic Voice from a New Generation (2007) itu.
Saudi juga punya problem ekonomi, demografi, sosial dan politik yang kurang lebih sama dengan negara-negara Arab lain. “Tak ada alasan untuk percaya bahwa Saudi akan kebal dari demam protes yang menyapu kawasan Timur Tengah,” tandas Madawi.

Beberapa data dikemukakan; 40% penduduk berumur 20-24 tahun pengangguran, 80% perempuan sangat terkungkung dan tidak bekerja. Dulu, keteterbelakang pendidikan, tertekannya aspirasi, buruknya infrastuktur, dan luka sosial yang menganga, bisa diatasi minyak.

Kini, minyak tak lagi mampu menyumbat aspirasi dan problem politik, ekonomi, dan sosial. Paket tunjangan sosial 36 miliar dolar yang dikucurkan Raja Abdullah setahun lalu (23/2/2011) merupakan upaya vulgar untuk memalingkan pemuda Saudi dari daya pikat revolusi. Namun begitu, hidup konon tak hanya cukup dengan roti. Ada marwah diri yang juga hendak diunggah.

Bagi Madawi, untuk menangkal bujuk rayu revolusi, kerajaan harus melakukan reformasi politik serius. Konstitusionalisme kerajaan, pembatasan wewenang lingkaran internal istana, regulasi soal suksesi (mengikuti garis vertikal atau horizontal), pemilihan parleman, dan pembukaan ruang politik bagi kerja-kerja civil society, merupakan beberapa tuntutan penting saat ini.

KapalTangker Arab Saudi

Sambil menakut-nakuti Amerika, sekutu abadi Saudi, Madawi berkata, “Kini masanya Amerika untuk berpihak ke masa depan Saudi, bukan mengenang masa lalunya sebagai tambang minyak, konsumen barang dan jasa, dan penandatangan kontrak senjata. (Yes, It Could Happen Here: Why Saudi Arabia is ripe for revolution, Foreign Policy, 28 Februari 2011).

Seberapa mungkin revolusi akan berangkat ke Tanah Suci? Saya sendiri masih berpegang pada teori jumlukiyyah; gabungan jumhuriyyah (republik) dan mamlakiyyah (kerajaan) yang dipopulerkan sosiolog Mesir, Saad Eddin Ibrahim.

Hanya negara-negara berbentuk republik namun tabiat sama atau malah lebih buruk dari kerajaan-lah yang paling rentang tersapu gelombang revolusi Timur Tengah.

Karenanya, tulisan Madawi perlu dibaca sebagai opini seorang aktivis, yang menulis dan mengajar di London, dengan tujuan mengusik kemapanan Riyadh dan Washington. Keyakinan saya lebih kuat lagi setelah membaca buku Madawi sendiri, Contesting Saudi State: Islamic Voices from a New Generation (2007).




Konstalasi internal Saudi dewasa ini
Di dalam buku itu, Madawi menggambarkan dinamika religio-politik internal Saudi saat ini, khususnya setelah peristiwa 11 September 2001 yang melibatkan 15 warga Saudi (dari 19 pelaku teror).

Sejak itu, wacana religio-politik Saudi memanas. Saudi makin tertekan oleh Amerika dan Eropa karena doktrin-doktrin Wahhabisme seperti hijrah, takfir, jihad, dianggap sangat agresif dan melahirkan teror.

Saudi tidak tinggal diam, Kerajaan mengerahkan berbagai upaya untuk menangkis tuduhan-tuduhan tersebut.

Pelbagai konferensi internasional diadakan di Washington, Paris, London, untuk menunjukkan Wahhabisme tidak bersalah. Ideologi kekerasan yang merasuki kaum muda Jihadi Saudi dituduhkan sebagai barang impor dari Ikhwanul Muslimin Mesir atau Suriah.

Well, upaya itu tidak banyak bertuah. Menurut Madawi, kaum Jihadi Saudi hanya meneruskan konsekuensi terjauh dari doktrin-doktrin agresif Wahhabisme. Secara statistik, dibanding non-Muslim, korban agresivitas Wahabisme justru lebih banyak dari kalangan umat Islam bersahaja di berbagai belahan dunia.

Tidak hanya akibat Wahhabisme, perpolitikan internal Saudi sendiri juga menyediakan konteks subur untuk tumbuh dan berkembangnya ajaran-ajaran Islam yang intoleran.

Sejak tahun 1970-an sudah terjadi perdebatan religio-politik yang sengit di Saudi. Kubu utama Wahhabisme establis yang ultra konservatif secara sosial, agresif secara teologi, dan sangat permisif terhadap kekuasaan Bin Saud merupakan pemandangan utama Saudi.

Bagi kelompok ini, apa pun kebijakan Bin Saud, asal tak menunjukkan kekafiran yang nyata (kufr bawwa) seumpama melarang shalat, dapat saja dibenarkan. Rakyat harus manut kepada wali amar (penguasa), dan kritisisme disepadankan dengan pemberontakan bersenjata.

Jika penguasa melenceng, seperti tunduk-manutnya Saudi kepada Amerika, maka para ulama hanya dibolehkan menasihati mereka secara rahasia. Karena itu, dalam soal kekuasaan, dalil yang berlaku di Saudi bukan wa amruhum syura bainahum(keharusan musyawarah), tapi sirrun bainahum (rahasia di antara mereka).

Ironis, mengaku sebagai negara monoteis, Saudi sebenarnya mengamalkan sekularisme paling kentara di dunia Islam. Dualisme enigmatik ini terjadi: kebijakan politik hanya diurusi penguasa, ulama sepenuhnya hanya berfungsi sebagai pemoles paras Islam agar tampak paling murni.

Karena aliansi tidak suci seperti itu, muncullah kelompok Wahhabi-Sahwi (revivalis) yang menginginkan lebih banyak ruang untuk menyalurkan aspirasi sosial politik warga secara damai.

Namun, sebagaimana di negara otoriter manapun, nasib mereka selalu berujung di jeruji penjara. Sampai munculnya kalangan Jihadis, sebagai konsekuensi logis dari mobilisasi jihad melawan ateis Soviet yang digalakkan Saudi dan Amerika di tahun 1979.

Konon, sejak 1980-1990, Saudi secara resmi mengeluarkan US$ 4 miliar untuk jihad di Afganistan. Ini belum ditambah pengeluaran tak resmi dari berbagai lembaga amal dan individu seperti almarhum Usamah bin Laden.

Kapan Revolusi Berangkat ke Tanah Suci? (3-habis)
Bersama sekitar 30.000 mantan kombatan Saudi yang disebut Arab-Afgan, Saudi dan Amerika masih menghadapi bumerang.

Mereka yang tadinya didoktrin untuk jihad melawan kafir dan ateis di luar negeri, kini ingin bermain di pekarangan sendiri. Terjadilah apa yang terjadi. Saudi nyaris mengalami jalan buntu untuk memperbaiki diri.

Di satu sisi, kaum Wahhabi establis masih bercokor di birokrasi sosial-keagamaan, kaum Sahwi menuntut perubahan walau tak seradikal Jihadis yang mengafirkan Kerajaan Bin Saud dan ingin mendongkelnya dari kekuasaan.

Untunglah muncul cerdik-cendikia yang disebut Salafi-Islahi. Berbeda dengan Salafi-Wahhabi yang ekstrem soal tetek-bengek agama, kelompok ini punya ide Salafisme yang setara dengan pembaru Islam Mesir abad ke-18, Muhammad Abduh.

Mereka ingin menggabungkan kesalehan ala ulama lampau sembari mengembangkan proses-proses pembaruan dalam konteks kekinian. Meski minoritas, kelompok ini kini semakin penting keberadaaannya di Saudi. Pada merekalah Saudi diharapkan mengalami keterbukaan.

Mereka beraspirasi tentang pentingnya Monarki Konstitusional, pembatasan kekuasaan lingkaran internal kerajaan, perumusan aturan suksesi kepemimpinan, partisipasi masyarakat dan perempuan dalam keputusan publik, dan mengembangkan civil society dan Saudi yang terbuka pada keragamaan aspirasi dan budaya.

Akomodasi dan resistensi terhadap reformasi
Namun begitu, sekalipun Raja Abdullah sangat akomodatif terhadap reformasi, di kalangan internal kerajaan juga hadir sosok Pangeran Nayef bin Abdul Aziz yang kini menjadi putra mahkota.

Di tangan Pangeran Nayef yang hawkish-Wahabis inilah keterbukaan Raja Abdullah mendapat rintangan nyata. Misalnya, oposisinya yang keras kepala terhadap pemberian peluang kerja kepada hampir 80% perempuan yang sudah memberatkan ekonomi negara. Juga kebijakan main hajarnya terhadap mereka-mereka yang mengusulkan perubahan, sekalipun tidak radikal.

Melihat pergulatan internal di Saudi ini, rasanya revolusi belum akan segera naik haji. Keruntuhan rezim Saudi hanya mungkin terjadi bila (1) kepemimpinan rezim Bin Saud makin menjauh dari basis sosial dan tribalnya; (2) Faktor eksternal seperti merenggang atau retaknya hubungan Saudi dengan sekutu terkuatnya (AS); (3). Kehancuran sosial-ekonomi yang berdampak massif; (4). Keretakan lingkungan internal kerajaan, dan; (5). Terjadinya kekerasan yang reguler seperti di tahun 2003 dan 2004.

Tapi berdasarkan pertimbangan faktor-faktor lokal, regional, dan internasional, revolusi Saudi tampaknya masih jauh panggang dari api. Fakta bahwa di Saudi tidak wujud civil society sama sekali membuat revolusi virtual Facebook dan Twitter sangat sulit untuk berjejak di Tanah Suci.

Rezim bin Saud memang sedang banyak masalah. Namun, membayangkannya tersapu gelombang revolusi dewasa ini sepertinya belum cukup bukti. Tapi siapa tahu ada kejutan? Ini benar-benar wallahu a’lam.

Sumber : Republika
Novriantoni Kahar
Dosen Paramadina, Pengamat Timur Tengah

Komentar

Postingan Populer