Sang Pembebas : Sholahuddin Al Ayyubi
Siapa yang tak kenal dengan nama kota Jerussalem. Kota yang melahirkan banyak orang-orang militan dalam perjuangan Islam ini ternyata punya kisah panjang dalam sejarah. Masjidil Aqsa, kiblat pertama umat Islam pun ada di kota mulia ini, sebelum akhirnya berpindah ke tanah suci Makkah, menghadap Ka'bah.
Dari kota ini pula Rasulullah memulai perjalanan Isra' Mi'r-ajnya ke Sidratul Muntaha. Dalam sejarah keagamaan, kota ini juga dianggap suci oleh tiga agama samawi. Bagi umat Islam sudah jelas mengapa kota ini dianggap suci, karena masjid Aqsa persinggahan Rasulullah ada di sana. Bagi umat Nasrani, kota ini juga dianggap bersejarah karena berdekatan dengan kota Bethlehem tempat lahir Nabi Isa. Sedang bagi kaum Yahudi, kota ini diper-caya sebagai tempat berdirinya istana Nabi Sulaiman zaman dahulu kala. Haikal Sulaiman, begitu mereka menyebutnya.
Dari kota ini pula Rasulullah memulai perjalanan Isra' Mi'r-ajnya ke Sidratul Muntaha. Dalam sejarah keagamaan, kota ini juga dianggap suci oleh tiga agama samawi. Bagi umat Islam sudah jelas mengapa kota ini dianggap suci, karena masjid Aqsa persinggahan Rasulullah ada di sana. Bagi umat Nasrani, kota ini juga dianggap bersejarah karena berdekatan dengan kota Bethlehem tempat lahir Nabi Isa. Sedang bagi kaum Yahudi, kota ini diper-caya sebagai tempat berdirinya istana Nabi Sulaiman zaman dahulu kala. Haikal Sulaiman, begitu mereka menyebutnya.
Jauh sebelum Shalahuddin Al Ayyubi lahir, kota ini makmur dalam daulat pemerintahan Islam. Khalifah Umar bin Khattab berhasil merebut kota ini dengan damai dan hampir tanpa pertumpahan darah. Uskup Agung Sophronius pemegang tampuk kekuasaan Jerussalem kala itu, meminta Khalifah Umar mengambil alih kekuasaan.
Berabad-abad lamanya Jerussalem menjadi kota dambaan. Tak ada hak yang dilanggar, dan tak satupun kewajiban ditinggalkan tanpa mendapat sangsi. Semua peraturan berjalan dengan adil, penduduk makmur dan sejahtera. Semua pemeluk agama bebas melakukan iba-dahnya masing-masing tanpa khawatir diganggu atau ditindas kaum mayoritas.
Kaum Nasrani seluruh dunia bebas keluar masuk Jerussalem untuk melakukan ibadah agama mereka di Bethlehem, begitu juga orang-orang Yahudi. Pendeknya tak ada satu pun yang diganggu. Bahkan tak jarang orang-orang Nasrani dari Eropa datang dengan jumlah yang besar dalam iring-iringan panjang bersenjata lengkap bak pasukan perang.
Bak kata pepatah, dikasih hati minta jantung, diberi kebeba-san mereka kian kurang ajar. Dengan rombongan besar, kaum nasrani kerap kali mencelakai penduduk dan orang-orang muslim yang kebe-tulan mereka temui di perjalanan. Tercatat pada tahun 1064, 7000 orang yang bergabung dalam rombongan untuk beribadah itu telah menyerang orang-orang Arab dan Turki. Lebih jauh dari itu, para pemimpin agama mereka malah mengobarkan semangat untuk membebas-kan Jerussalem dari pemerintatah Islam pada kemudian.
Adalah Patriach Ermite, seorang pendeta yang getol sekali menyebarkan hasutan dan tak henti-hentinya memprovokasi orang Nasrani untuk membalas dendam serta merebut kembali kota Jerussa-lem. Dengan menunggang keledai dan memikul salib besar ia menje-lajah Eropa dan mengabarkan, bahwa di Jerussalem umat Nasrani telah dianiaya. Dengan pakaiannya yang compang-camping ia berk-hutbah dari gereja ke gereja, dari satu kota ke kota lainnya, bahwa kubur Nabi Isa telah diinjak-injak dan umat Kristen telah dihina oleh muslim Jerussalem.
Kontan saja, mendengar kabar bohong yang demikian, semangat juang kaum Nasrani membela agamanya berkobar dengan segera. Tak peduli perampok, tak peduli pencuri semua mengangkat senjata untuk membela. Dana-dana dikumpulkan, senjata-senjata diasah tajam dan perang suci pun diumumkan. Lebih dari itu, Paus Urbanus II mengumumkan akan memberikan ampunan dosa bagi siapa saja yang ikut berperang. Siapa yang tak ingin ikut berperang jika jami-nannya terbebas dari dosa turunan yang selama ini mereka emban.
15 Agustus 1095 adalah hari yang ditentukan untuk memberang-katkan pasukan Salib ke Timur Tengah oleh Paus Urbanus II. Lagi-lagi pendeta Patriach Ermite menghasut rakyat, "Hari yang diten-tukan terlalu lama," katanya. Ia tak sabar untuk segera menghan-curkan Islam. Akhirnya dengan membawa 60.000 pasukan, Pendeta Ermite memimpin penyerbuan. Di tengah jalan, kaum tani dan orang awam datang bergabung, dan hampir semua tempat yang dilalui pasukan itu selalu menyumbangkan tenaga-tenaga mudanya untuk berperang suci. Sehingga jumlah pasukan yang menyerbu lebih awal sebanyak membengkak menjadi 200.000 orang.
Sepanjang perjalanan mereka membuat huru-hara, pasukan dii-zinkan untuk merampok, memperkosa dan membunuh orang yang mereka temui, dimana saja. Meski demikian sepanjang jalan pasukan salib selalu dieluk-elukan. Tapi ketika mereka tiba di Hongaria dan Bulgari, sambutan yang mereka tak seperti biasanya. Penduduk bersikap biasa saja, bahkan acuh pada mereka. Hal ini ternyata membuat sebagian besar pasukan salib kecewa dan marah, lalu menyerang penduduk Hongaria, juga Bulgaria. Tapi penduduk setem-pat tak tinggal diam, mereka pun angkat senjata melakukan perla-wanan, peperanganpun tak terelakkan. Dari jumlah 200. 000 orang, hanya 70.000 saja yang tersisa untuk melanjutkan perjalannya menuju Timur Tengah, sedang yang lainnya menemui nasib binasa.
Ekspedisi pasukan salib pertama yang dipimpin oleh sang pendeta yang tak tahu strategi kancah laga, akhirnya tumpas tak tersisa. Hal ini kian membuat pasukan salib yang belum berangkat kian membara dendamnya. Pasukan salib kedua pun tercipta, dengan dipimpin oleh anak-anak Raja Godfrey dari Perancis, mereka mengumpulkan pasukannya di Konstantinopel. Bak banjir bandang mereka datang menyerbu wilayah-wilayah yang berada dalam daulat pemerin-tahan Islam. Daerah-daerah Islam yang memang tak memiliki pasukan perang dalam jumlah besar, hampir dengan mudah mereka kalahkan.
Setelah bertempur sekian lama dan menghadapi pejuang-pejuang Islam yang pantang menyerah, akhirnya pasukan salib berhasil juga merebut kota Jerussalem dengan banjir darah. Pertengahan bulan Juli tahun 1099 kota Jerussalem mutlak dikuasai pasukan salib yang membabi buta.
Seperti kerasukan setan mereka membunuhi siapa saja yang beragama Islam. Tak peduli anak-anak, orang tua dan perempuan, asal Islam tak ada ampunan. Tak hanya itu mereka juga membantai kaum Yahudi dan Nasrani yang tak mau bergabung dengan pasukan salib. Mereka telah lupa daratan, berperang dengan biadab.
Seorang sejarawan Perancis dalam sebuah karyanya menuliskan, "Orang-orang Kristen pada tahun 1099 saat penaklukkan kota Jerus-salem membantai orang-orang Islam di jalan-jalan dan di rumah-rumah. Jerussalem tak punya tempat lagi bagi orang-orang yang kalah."
Lahirnya Sang Pahlawan
Jatuhnya kota suci Baitul Maqdis ke tangan pasukan salib seperti halilintar yang menyambar para pemimpin Islam. Kota suci yang telah 500 tahun berada dalam naungan Islam, kini terampas. Dengan ribuan korban menjadi tumbal. Darah-darah yang menggenangi sudut-sudut kota, seakan tak hendak hilang aroma anyirnya. Hari itu, Jerussalem benar-benar tumpas.
Maka berkumpullah para ulama dan khalifah seluruh jazirah Arab. Mereka tak menyangka Jerussalem jatuh ke tangan pasukan salib. Kemudian terkumpullah beberapa kalifah negara Islam yang bersedia menyatukan kekuatan untuk merebut kembali Baitul Maqdis.
Singkat cerita, setelah 40 tahun pasukan salib menduduki kota suci, Baitul Maqdis, lahirlah seorang bocah yang diberi nama Shalahuddin Al Ayyubi. Ayahnya, seorang pahlawan kota Syria, Najmuddin Ayyub. Shalahuddin yang lahir tahun 1138 itu mempunyai seorang paman, panglima perang kerajaan Syria, Asasuddin Syirkuh. Dari kedua orang itulah Shalahuddin mendapat gemblengan. Ayahnya dengan tegas mengajarkan agama, sedangkan pamannya dengan keras mendidiknya dalam ilmu keprajuritan.
Pada usianya yang masih belia, Shalahuddin kerap kali ikut turun ke kancah laga menemani pamannya. Pada tahun 1154, Panglima Asasuddin dan tentaranya berhasil merebut Damsyik yang kala itu dikuasai oleh pasukan salib. Kala itu, Shalahuddin masih berusia 16 tahun. Tapi ia sudah memanggul pedang dan senjata turun ke medan laga menegakkan daulat pemerintahan Islam.
Karirnya sebagai prajurit kian hari kian mantap. Saat usianya menginjak 25 tahun, bersama pamannya ia menaklukan dinasti Fatimiyah di Mesir. Daulat Fatimiyah yang beraliran Syi'ah itu tunduk. Nama Asasuddin Syirkuh, paman Shalahuddin pun kian melambung sebagai pahlawan kebanggaan.
Ternyata di mana-mana orang sakit hati dan iri selalu ada. Kedudukan dan kemenangan yang diraih Asasuddin membuat seorang pembesar kerajaan Syria, Wazir Shawar sakit hati. Ia tak rela Syirkuh menjadi besar dan berpengaruh. Maka dengan diam-diam ia mendekati pasukan salib dan meminta bantuan pada penguasanya kala itu, King Almeric. Dan terjadilah pertempuran besar antara pasukan salib dengan pasukan Asasuddin.
Tapi sayang, karena pasukan salib berjumlah sangat besar, Asasuddin dan shalahuddin pun dapat di kalahkan.
Setelah menerima syarat-syarat perdamaian dari pasukan salib, Asasuddin dan Shalahuddin pun diusir ke Damsyik. Mendengar persekongkolan yang terjadi, raja Syria, Emir Nuruddin Zanki marah besar pada sang Wazir. Dengan kekuatan gabungan para khalifah Islam mengirimkan pasukan untuk dipimpin kembali oleh Asa-suddin dan Shalahuddin. Hukuman untuk pengkhiatan akan dijatuhkan.
Kali ini pasukan salib di bawah komando King Almeric berhasil dikalahkan. Shawar yang hanya mempunyai sedikit pasukan pun bisa ditaklukkan. Mereka terusir dari tanah Mesir tanpa muka alias dipermalukan.
Kelak, suatu hari ketika Shalahuddin melakukan ziarah, dalam perjalanannya ia bertemu dengan wazir pengkhianat Shawar. Tawanan dibawa kembali untuk diadili dan dijatuhi hukuman. Setelah itu, khalifah Al Adhid mengangkat Shalahuddin sebagai panglima perang menggantikan pamannya. Sedangkan Asasuddin Syirkuh menduduki jabatan menjadi Wazir Besar, Perdana Menteri.
Tak lama setelah pelantikannya, Shalahuddin melakukan razia besar-besaran. Ia melakukan perjalanan militer mengamankan jalur sepanjang tepian Sungai Nil sampai daerah utara, Assuan. Sedangkan pamannya segera melakukan pembersihan kabinet dari aksi-aksi KKN besar-besaran.
Pada tahun 1171 terjadi peralihan pemerintahan besar-besaran, dari daulat Fatimiyah pada daulat Abassiah. Tapi berkat kepiawaian Shalahuddin tidak terjadi pertumpahan darah atau kericuhan besar. Semua berjalan dengan tenang dan aman. Pada tahun itu pula Shalahuddin meresmikan Universitas Al Azhar yang sebelumnya dijadikan tempat kajian kaum Syi'ah menjadi pusat ilmu Ahlul Sunnah.
Pada tahun-tahun pertamanya memegang jabatan sebagai panglima, Shalahuddin Al Ayyubi sekali lagi membuktikan kualitas kepemimpinannya. Selain gagah perkasa di medan laga, ia adalah seorang laki-laki lembut hati dan penyabar dalam kehidupannya sehari-hari. Ia punya kesetiaan yang tinggi dan sangat bersahaja hidupnya. Gemerlap kekayaan dunia tak menyilaukan pandangannya.
Dari tahun ke tahun, sebagai panglima, ia selalu berusaha menghalau pasukan salib yang akan mencaplok wilayahnya. Selain itu ia juga selalu berusaha menyatukan kekuasaan dan kekuatan khalifah-khalifah Islam lainnya. Setiap kakinya melangkah ia selalu menyerukan, bahwa umat Islam harus bersatu menghan-curkan kebathilan. Mesir yang saat itu di bawah kekuasaanya menjadi daerah yang benar-benar makmur dan adil.
Pada tahun 1173, Sultan Nuruddin Zanki wafat, dan digantikan oleh anaknya yang baru berusia 11 tahun. Banyak para ulama saat itu meminta Shalahuddin memangku jabatan khalifah untuk sementara. Usulan itu dilontarkan, karena selain masih muda khalifah baru itu juga belum punya wawasan yang cukup untuk memimpin bangsanya. Tapi Shalahuddin tidak menerimanya, ia lebih memilih untuk mendukung dan membantu khalifah muda itu saja.
Khalifah Ismail yang masih muda, ternyata tidaklah lama memangku jabatannya. Ia wafat dan tampuk kekuasaan beralih pada Shalahuddin Al Ayyubi. Pada masa pemerintahannya inilah Islam benar-benar mengalami masa kejayaan. Pasukan salib yang semula sangat berbangga diri, kini mulai mengukur-ukur kekuatan untuk menghadapi Shalahuddin. Mau tidak mau pasukan salib merasa gentar juga, karena kekuatan Islam di jazirah Arab dapat dipersatukan oleh Shalahuddin. An Nubah, Sudan, Yaman, Hijaz bahkan sampai Afrika pun telah bersatu.
Dengan kekuatan yang telah dihimpunnya, dan setelah melakukan beberapa perundingan, Shalahuddin memutuskan untuk merebut kembali kota suci Baitul Maqdis.
Strategi awal yang diterapkan oleh Shalahuddin adalah mengajak pasukan salib untuk berdamai. Tapi dasar pasukan salib, bak pepatah dikasih hati meminta jantung. Tawaran damai yang diulurkan Shalahuddin dianggap sebagai tanda kekalahan pasukan Islam.
Mereka akan melakukan pengkhianatan perjanjian damai yang telah disepakati.
Ternyata, Shalahuddin telah mencium isyarat-isyarat pengkhiatan mereka. Justru itulah langkah kedua yang sudah direncanakan, ketika pasukan salib mengkhianati perjanjian, maka Shalahuddin punya alasan untuk memerangi mereka. Dan betul saja, tak menunggu waktu lama kaum salib melakukan pelanggaran.
Dengan kekuatan penuh Shalahuddin mencoba mengancam pasukan salib yang melanggar. Tapi dengan kekuatan penuh pula pasukan salib menantang. Peperangan terbuka tak bisa dihindari, pedang lawan pedang, darah bercucuran.
Shalahuddin Al Ayyubi turun ke medan laga dengan gagah berani menerjang lawan. Tapi sayang pasukan Shalahuddin kocar-kacir berantakan. Ia kalah, serangan pertamanya ke Baitul Maqdis mengalami kegagalan. Bahkan Shalahuddin sendiri nyaris tertawan musuh karena kekalahan itu.
Di saat yang seperti itu, ada sebuah peristiwa yang sangat mengejutkan. Di tengah terjadinya kancah peperangan antara pasukan salib dan tentara Shalahuddin, seorang panglima pasukan salib Count Rainald de Chatillon dengan membawa pasukan besar menuju Makkah dan Madinah. Dengan pasukan yang lengkap persenjataannya dan gegap gempita pasukannya ia hendak meluluhkan dua kota suci, Makkah dan Madinah.
Tak ubahnya pasukan gajah yang dulu hendak menghancurkan Ka'bah, pasukan Count Rainald de Catillon pun membawa niat yang sama. Tapi nasibnya memang tak lebih dari pasukan gajah pimpinan raja Abraha, pasukan salib pun dapat dihancurkan oleh kekuatan Islam di laut merah. Dengan sisa-sisa pasukannya Count Rainald de Catillon kembali lagi ke Jerussalem dengan tangan hampa.
Dalam perjalanan pulangnya ia melakukan perusakan dan pembantaian penduduk sipil yang tak berdaya. Sisa pasukannya melampias-kan kekalahan dengan biadab dan manusiawi. Di tengah perjalanan itu pula ia dan pasukannya bertemu dengan rombongan kabilah. Dalam rombongan kabilah itu kebetulan sekali terdapat salah seorang saudara perempuan Shalahuddin Al Ayyubi.
Bak singa menemukan mangsa, tanpa pikir panjang lagi kabilah kecil itu di hancur lumatkan pula. Ia menawan saudara perempuan Shalahuddin dan sesumbar pada orang-orang tentang kemenangan kecilnya. Dengan angkuh ia berkata, "Apakah Muhammad, nabi mereka itu, mampu datang dan menyelamatkan pengikutnya?"
Menggenggam Kemenangan
Ekspedisi penyerangan pertama Shalahuddin, sebenarnya tak gagal total seperti yang banyak dituliskan dalam sejarah. Kegagalan itu lebih sebagai, test case, uji kekuatan. Sejauh mana power lawan.
Perjanjian damai yang dilanggar oleh pasukan salib seakan-akan memberi izin pada Shalahuddin untuk melakukan penyerangan yang kedua kali. Peristiwa penyanderaan saudara perempuan Shalahuddin adalah pemicu peperangan yang lebih besar lagi. Salah seorang anggota kabilah yang luput dari maut berhasil meloloskan diri. Ia melaporkan kejadian tersebut pada Shalahuddin. Demi mendengar perjanjian damai yang dibuat dikoyak-koyak dengan biadab, amarah Shalahuddin langsung memuncak.
Shalahuddin segera mengirim utusan, meminta pihak pasukan salib segera membebaskan tawanan seperti yang tertulis dalam perjanjian. Tak hanya saudara perempuan Shalahuddin yang diminta pembebasanya, semua tawanan Jerussalem, harus segera dibebaskan. Tapi permintaan itu tak mendapat jawaban. Pasukan salib acuh, bahkan menganggap utusan Shalahuddin seperti angin lalu.
Diperlakukan demikian, untuk menjaga wibawa, segera Shalahuddin mengumpulkan kekuatan perang. Pasukan salib pun tak tinggal diam, dengan kekuatan yang besar pula mereka menantang. Dan, perangpun tak dapat dihindarkan.
Gunung Hittin adalah tempat pertemuan kedua tentara raksasa tersebut. Maka, pertempuran dahsyat Shalahuddin versus pasukan salib juga disebut dengan perang Hittin.
Berhari-hari kedua pasukan beradu laga. Kekuatan tak tanggung-tanggung dikerahkan. Dengan izin Allah, pasukan Shalahuddin dapat meraih kemenangan. Tentara musuh yang berjumlah lebih dari 45.000 orang hancur berantakan. Hanya ribuan saja yang tersisa dan segera lari tunggang langgang. Sebagian lagi berhasil tertawan.
Salah seorang yang berhasil ditawan adalah seorang bangsawan, Count Rainald de Chatillon. Semua tawanan diangkut ke Damaskus, dengan perlakuan manusiawi tanpa penyiksaan. Count Rainald yang sebelumnya telah menawan saudara perempuan Shalahuddin dan melecehkan Rasulullah pun mendapat perlakuan baik pula.
"Sekarang bagaimana, apakah telah nampak olehmu, bahwa aku saja cukup untuk mewakili Nabi Muhammad saw? Apakah aku tidak cukup menjadi pengganti dan melakukan pembalasan pada penghinaan yang sudah kau berikan?" Tanya Shalahuddin pada Count Rainald saat ia dibawa kehadapan mahkamah agung.
Dengan kepala tertunduk dan muka merah karena malu Count Rainald de Catillon tak bisa berkata-kata. Shalahuddin mengajak Count Rainald untuk memeluk Islam dan melakukan taubat. Tapi ternyata ia tetap diam saja laksana batu. Maka hukuman pun dijatuhkan, Count Rainald de Catillon dijatuhi hukuman mati karena sudah berani menghina dan melecehkan Rasulullah.
Setelah perang Hittin, kemenangan-kemenangan lain berturut-turut diraih pasukan Shalahuddin Al Ayyubi.
Akhirnya, rencana yang sudah lama dinanti-nanti datang juga masanya. Tujuan besar yang sejak awal memang jadi impian Shalahuddin dan pasukan Islam, yakni membebaskan tanah suci Baitul Maqdis datang juga kesempatannya.
Berbekal segala kebutuhan dan perlengkapan perang, Shalahuddin berangkat menyongsong kemenangan. Kala itu kota Jerussalem dipenuhi oleh banyak pelarian dari perang Hittin. Tak kurang jumlah 60.000 pasukan berkumpul di dalam kota Jerussalem. Mereka siap menanti kedatangan pasukan Shalahuddin yang gagah berani.
Sesampainya Shalahuddin diperbatasan segera ia memerintahkan anak buahnya untuk mengepung dari segala penjuru mata angin. Empat puluh hari empat puluh malam Shalahuddin mengepung Jerussalem dengan pasukan penuh. Dan selama itu pula pasukan musuh hanya berani berdiam diri saja di dalam kota pertahanan.
Titik Arus Balik
Setelah empat puluh hari berlalu, Shalahuddin kemudian mengumumkan dan meminta kota suci Baitul Maqdis diserahkan. Dengan mematuhi adab-adab berperang dalam Islam, Shalahuddin berjanji tidak akan berlaku kasar apalagi melukai. Ia tidak akan berbuat sama dengan yang dilakukan Godfrey dan orang-orangnya pada tahun 1909. Shalahuddin berjanji tidak akan ada setetespun darah menceceri tanah jika kota Jerussalem diserahkan dengan damai pada pasukannya.
Tapi seperti yang telah diduga, pasukan salib menolak dan mencaci tawaran Shalahuddin. Bahkan mereka menyerukan komando untuk berperang habis-habisan melawan Shalahuddin. Gayungpun bersambut, kaum Kristen menjual, pasukan Shalahuddin membeli. Seruan perang pasukan Kristen dibalas dengan janji Shalahuddin yang akan menghabiskan seluruh kaum Kristen di dalam kota yang melawan. Dan seranganpun dilancarkan.
Anak panah api dan tombak dilontarkan. Seruan-seruan perang seakan-akan hendak meruntuhkan langit kota Jerussalem. Gegap gempita peperangan melambung tinggi ke angkasa. Debu-debu peperangan mengepul menjulang ke awan. Hari itu benar-benar hari pembalasan terhadap pembantaian yang dilakukan pasukan salib 90 tahun silam.
Kaum salib bertahan di dalam benteng dengan seluruh kekuatan. Peperangan tergelar selama empat belas hari tanpa henti. Sedikit demi sedikit pasukan salib menyaksikan kekalahannya. Pintu-pintu benteng pelan-pelan hancur dan roboh oleh tentara muslim. Pasukan demi pasukan Islam berhasil masuk ke jantung pertahanan kaum salib. Suasana benar-benar mencekam bagi orang-orang salib.
Kekalahan yang di ambang mata itu membuat beberapa pimpinan pasukan salib menyelinap dan menemui Shalahuddin. Pada Shalahuddin mereka tanpa malu meminta perlindungan dan akan menyerahkan kota dengan damai dan tenang.
"Aku tak akan menaklukkan kota ini kecuali dengan kekerasan sebagaimana kamu dulu melakukannya. Aku tidak akan membiarkan seorangpun di antara kalian melainkan akan kubunuh seperti kalian telah membunuh seluruh saudara-saudaraku seiman dulu," demikian Shalahudin menjawab bujuk rayu para bangsawan pasukan salib itu.
Delegasi perayu pertama telah gagal. Delegasi keduapun dikirim maju. Kali ini yang datang adalah kepala pelabuhan kota Jerussalem sendiri. Dengan kata-kata manis bak bulu perindu ia merayu Shalahuddin, tapi tetap gagal juga. Lalu mereka mengeluarkan ancaman. "Jika tuan tak hendak berdamai dengan kami, kami akan kembali dan membunuh semua tawanan yang ada pada kami. Setelah itu kami akan membunuh anak, cucu dan wanita kami sendiri, kemudian kami akan membumihanguskan seluruh kota. Baru kami akan maju lagi untuk berperang dengan Anda," kata sang kepala pelabuhan.
Ancaman itu membuat hati Shalahuddin melemah. Bagaimana tidak, tawanan kaum muslim yang ada pada mereka sebanyak 4000 orang bukan jumlah yang kecil. Akhirnya Shalahuddin mengumpulkan semua alim ulama untuk meminta pendapatnya. Pendapat mereka tentang sumpah keras yang sudah dikeluarkan. Fatwapun turun, Shalahuddin boleh membatalkan sumpahnya yang akan menumpas habis kaum salib dengan membayar kifarat atau denda seperti yang sudah ditentukan.
Setelah itu berlangsunglah penyerahan kota secara aman dan damai. Hampir-hampir tak ada pembalasan dendam. Tuntunan perang yang mulia dalam Islam sekali lagi dibuktikan oleh Shalahuddin Al Ayyubi. Penduduk Jerussalem dibebaskan dengan syarat. Mereka harus membayar tebusan, sepuluh dinar untuk laki-laki dan dua diar untuk anak-anak dan perempuan. Dan untuk yang tak sanggup membayar tebusan akan tetap dijadikan sebagai tawanan.
Semua senjata dan rumah harus mereka tinggalkan. Mereka boleh kemana saja mereka suka dengan aman. Jaminan diberikan, bahwa mereka tak akan mendapat gangguan dari pasukan Islam.
Hari Jum'at 27 Rajab 583 Hijriah, dengan suara takbir menggema kaum muslimin memasuki kota suci Baitul Maqdis dengan gegap gempita. Air mata menetes membasahi pipi Shalahuddin Al Ayyubi. "Allahu Akbar," gumamnya pelan dengan nada haru yang luarbiasa.
Kayu-kayu salib dan gambar-gambar rahib diturunkan dari tembok dan tiang-tiang pancang. Hari itu adalah hari kemenangan Islam.
TAMAT
Berabad-abad lamanya Jerussalem menjadi kota dambaan. Tak ada hak yang dilanggar, dan tak satupun kewajiban ditinggalkan tanpa mendapat sangsi. Semua peraturan berjalan dengan adil, penduduk makmur dan sejahtera. Semua pemeluk agama bebas melakukan iba-dahnya masing-masing tanpa khawatir diganggu atau ditindas kaum mayoritas.
Kaum Nasrani seluruh dunia bebas keluar masuk Jerussalem untuk melakukan ibadah agama mereka di Bethlehem, begitu juga orang-orang Yahudi. Pendeknya tak ada satu pun yang diganggu. Bahkan tak jarang orang-orang Nasrani dari Eropa datang dengan jumlah yang besar dalam iring-iringan panjang bersenjata lengkap bak pasukan perang.
Bak kata pepatah, dikasih hati minta jantung, diberi kebeba-san mereka kian kurang ajar. Dengan rombongan besar, kaum nasrani kerap kali mencelakai penduduk dan orang-orang muslim yang kebe-tulan mereka temui di perjalanan. Tercatat pada tahun 1064, 7000 orang yang bergabung dalam rombongan untuk beribadah itu telah menyerang orang-orang Arab dan Turki. Lebih jauh dari itu, para pemimpin agama mereka malah mengobarkan semangat untuk membebas-kan Jerussalem dari pemerintatah Islam pada kemudian.
Adalah Patriach Ermite, seorang pendeta yang getol sekali menyebarkan hasutan dan tak henti-hentinya memprovokasi orang Nasrani untuk membalas dendam serta merebut kembali kota Jerussa-lem. Dengan menunggang keledai dan memikul salib besar ia menje-lajah Eropa dan mengabarkan, bahwa di Jerussalem umat Nasrani telah dianiaya. Dengan pakaiannya yang compang-camping ia berk-hutbah dari gereja ke gereja, dari satu kota ke kota lainnya, bahwa kubur Nabi Isa telah diinjak-injak dan umat Kristen telah dihina oleh muslim Jerussalem.
Kontan saja, mendengar kabar bohong yang demikian, semangat juang kaum Nasrani membela agamanya berkobar dengan segera. Tak peduli perampok, tak peduli pencuri semua mengangkat senjata untuk membela. Dana-dana dikumpulkan, senjata-senjata diasah tajam dan perang suci pun diumumkan. Lebih dari itu, Paus Urbanus II mengumumkan akan memberikan ampunan dosa bagi siapa saja yang ikut berperang. Siapa yang tak ingin ikut berperang jika jami-nannya terbebas dari dosa turunan yang selama ini mereka emban.
15 Agustus 1095 adalah hari yang ditentukan untuk memberang-katkan pasukan Salib ke Timur Tengah oleh Paus Urbanus II. Lagi-lagi pendeta Patriach Ermite menghasut rakyat, "Hari yang diten-tukan terlalu lama," katanya. Ia tak sabar untuk segera menghan-curkan Islam. Akhirnya dengan membawa 60.000 pasukan, Pendeta Ermite memimpin penyerbuan. Di tengah jalan, kaum tani dan orang awam datang bergabung, dan hampir semua tempat yang dilalui pasukan itu selalu menyumbangkan tenaga-tenaga mudanya untuk berperang suci. Sehingga jumlah pasukan yang menyerbu lebih awal sebanyak membengkak menjadi 200.000 orang.
Sepanjang perjalanan mereka membuat huru-hara, pasukan dii-zinkan untuk merampok, memperkosa dan membunuh orang yang mereka temui, dimana saja. Meski demikian sepanjang jalan pasukan salib selalu dieluk-elukan. Tapi ketika mereka tiba di Hongaria dan Bulgari, sambutan yang mereka tak seperti biasanya. Penduduk bersikap biasa saja, bahkan acuh pada mereka. Hal ini ternyata membuat sebagian besar pasukan salib kecewa dan marah, lalu menyerang penduduk Hongaria, juga Bulgaria. Tapi penduduk setem-pat tak tinggal diam, mereka pun angkat senjata melakukan perla-wanan, peperanganpun tak terelakkan. Dari jumlah 200. 000 orang, hanya 70.000 saja yang tersisa untuk melanjutkan perjalannya menuju Timur Tengah, sedang yang lainnya menemui nasib binasa.
Ekspedisi pasukan salib pertama yang dipimpin oleh sang pendeta yang tak tahu strategi kancah laga, akhirnya tumpas tak tersisa. Hal ini kian membuat pasukan salib yang belum berangkat kian membara dendamnya. Pasukan salib kedua pun tercipta, dengan dipimpin oleh anak-anak Raja Godfrey dari Perancis, mereka mengumpulkan pasukannya di Konstantinopel. Bak banjir bandang mereka datang menyerbu wilayah-wilayah yang berada dalam daulat pemerin-tahan Islam. Daerah-daerah Islam yang memang tak memiliki pasukan perang dalam jumlah besar, hampir dengan mudah mereka kalahkan.
Setelah bertempur sekian lama dan menghadapi pejuang-pejuang Islam yang pantang menyerah, akhirnya pasukan salib berhasil juga merebut kota Jerussalem dengan banjir darah. Pertengahan bulan Juli tahun 1099 kota Jerussalem mutlak dikuasai pasukan salib yang membabi buta.
Seperti kerasukan setan mereka membunuhi siapa saja yang beragama Islam. Tak peduli anak-anak, orang tua dan perempuan, asal Islam tak ada ampunan. Tak hanya itu mereka juga membantai kaum Yahudi dan Nasrani yang tak mau bergabung dengan pasukan salib. Mereka telah lupa daratan, berperang dengan biadab.
Seorang sejarawan Perancis dalam sebuah karyanya menuliskan, "Orang-orang Kristen pada tahun 1099 saat penaklukkan kota Jerus-salem membantai orang-orang Islam di jalan-jalan dan di rumah-rumah. Jerussalem tak punya tempat lagi bagi orang-orang yang kalah."
Lahirnya Sang Pahlawan
Jatuhnya kota suci Baitul Maqdis ke tangan pasukan salib seperti halilintar yang menyambar para pemimpin Islam. Kota suci yang telah 500 tahun berada dalam naungan Islam, kini terampas. Dengan ribuan korban menjadi tumbal. Darah-darah yang menggenangi sudut-sudut kota, seakan tak hendak hilang aroma anyirnya. Hari itu, Jerussalem benar-benar tumpas.
Maka berkumpullah para ulama dan khalifah seluruh jazirah Arab. Mereka tak menyangka Jerussalem jatuh ke tangan pasukan salib. Kemudian terkumpullah beberapa kalifah negara Islam yang bersedia menyatukan kekuatan untuk merebut kembali Baitul Maqdis.
Singkat cerita, setelah 40 tahun pasukan salib menduduki kota suci, Baitul Maqdis, lahirlah seorang bocah yang diberi nama Shalahuddin Al Ayyubi. Ayahnya, seorang pahlawan kota Syria, Najmuddin Ayyub. Shalahuddin yang lahir tahun 1138 itu mempunyai seorang paman, panglima perang kerajaan Syria, Asasuddin Syirkuh. Dari kedua orang itulah Shalahuddin mendapat gemblengan. Ayahnya dengan tegas mengajarkan agama, sedangkan pamannya dengan keras mendidiknya dalam ilmu keprajuritan.
Pada usianya yang masih belia, Shalahuddin kerap kali ikut turun ke kancah laga menemani pamannya. Pada tahun 1154, Panglima Asasuddin dan tentaranya berhasil merebut Damsyik yang kala itu dikuasai oleh pasukan salib. Kala itu, Shalahuddin masih berusia 16 tahun. Tapi ia sudah memanggul pedang dan senjata turun ke medan laga menegakkan daulat pemerintahan Islam.
Karirnya sebagai prajurit kian hari kian mantap. Saat usianya menginjak 25 tahun, bersama pamannya ia menaklukan dinasti Fatimiyah di Mesir. Daulat Fatimiyah yang beraliran Syi'ah itu tunduk. Nama Asasuddin Syirkuh, paman Shalahuddin pun kian melambung sebagai pahlawan kebanggaan.
Ternyata di mana-mana orang sakit hati dan iri selalu ada. Kedudukan dan kemenangan yang diraih Asasuddin membuat seorang pembesar kerajaan Syria, Wazir Shawar sakit hati. Ia tak rela Syirkuh menjadi besar dan berpengaruh. Maka dengan diam-diam ia mendekati pasukan salib dan meminta bantuan pada penguasanya kala itu, King Almeric. Dan terjadilah pertempuran besar antara pasukan salib dengan pasukan Asasuddin.
Tapi sayang, karena pasukan salib berjumlah sangat besar, Asasuddin dan shalahuddin pun dapat di kalahkan.
Setelah menerima syarat-syarat perdamaian dari pasukan salib, Asasuddin dan Shalahuddin pun diusir ke Damsyik. Mendengar persekongkolan yang terjadi, raja Syria, Emir Nuruddin Zanki marah besar pada sang Wazir. Dengan kekuatan gabungan para khalifah Islam mengirimkan pasukan untuk dipimpin kembali oleh Asa-suddin dan Shalahuddin. Hukuman untuk pengkhiatan akan dijatuhkan.
Kali ini pasukan salib di bawah komando King Almeric berhasil dikalahkan. Shawar yang hanya mempunyai sedikit pasukan pun bisa ditaklukkan. Mereka terusir dari tanah Mesir tanpa muka alias dipermalukan.
Kelak, suatu hari ketika Shalahuddin melakukan ziarah, dalam perjalanannya ia bertemu dengan wazir pengkhianat Shawar. Tawanan dibawa kembali untuk diadili dan dijatuhi hukuman. Setelah itu, khalifah Al Adhid mengangkat Shalahuddin sebagai panglima perang menggantikan pamannya. Sedangkan Asasuddin Syirkuh menduduki jabatan menjadi Wazir Besar, Perdana Menteri.
Tak lama setelah pelantikannya, Shalahuddin melakukan razia besar-besaran. Ia melakukan perjalanan militer mengamankan jalur sepanjang tepian Sungai Nil sampai daerah utara, Assuan. Sedangkan pamannya segera melakukan pembersihan kabinet dari aksi-aksi KKN besar-besaran.
Pada tahun 1171 terjadi peralihan pemerintahan besar-besaran, dari daulat Fatimiyah pada daulat Abassiah. Tapi berkat kepiawaian Shalahuddin tidak terjadi pertumpahan darah atau kericuhan besar. Semua berjalan dengan tenang dan aman. Pada tahun itu pula Shalahuddin meresmikan Universitas Al Azhar yang sebelumnya dijadikan tempat kajian kaum Syi'ah menjadi pusat ilmu Ahlul Sunnah.
Pada tahun-tahun pertamanya memegang jabatan sebagai panglima, Shalahuddin Al Ayyubi sekali lagi membuktikan kualitas kepemimpinannya. Selain gagah perkasa di medan laga, ia adalah seorang laki-laki lembut hati dan penyabar dalam kehidupannya sehari-hari. Ia punya kesetiaan yang tinggi dan sangat bersahaja hidupnya. Gemerlap kekayaan dunia tak menyilaukan pandangannya.
Dari tahun ke tahun, sebagai panglima, ia selalu berusaha menghalau pasukan salib yang akan mencaplok wilayahnya. Selain itu ia juga selalu berusaha menyatukan kekuasaan dan kekuatan khalifah-khalifah Islam lainnya. Setiap kakinya melangkah ia selalu menyerukan, bahwa umat Islam harus bersatu menghan-curkan kebathilan. Mesir yang saat itu di bawah kekuasaanya menjadi daerah yang benar-benar makmur dan adil.
Pada tahun 1173, Sultan Nuruddin Zanki wafat, dan digantikan oleh anaknya yang baru berusia 11 tahun. Banyak para ulama saat itu meminta Shalahuddin memangku jabatan khalifah untuk sementara. Usulan itu dilontarkan, karena selain masih muda khalifah baru itu juga belum punya wawasan yang cukup untuk memimpin bangsanya. Tapi Shalahuddin tidak menerimanya, ia lebih memilih untuk mendukung dan membantu khalifah muda itu saja.
Khalifah Ismail yang masih muda, ternyata tidaklah lama memangku jabatannya. Ia wafat dan tampuk kekuasaan beralih pada Shalahuddin Al Ayyubi. Pada masa pemerintahannya inilah Islam benar-benar mengalami masa kejayaan. Pasukan salib yang semula sangat berbangga diri, kini mulai mengukur-ukur kekuatan untuk menghadapi Shalahuddin. Mau tidak mau pasukan salib merasa gentar juga, karena kekuatan Islam di jazirah Arab dapat dipersatukan oleh Shalahuddin. An Nubah, Sudan, Yaman, Hijaz bahkan sampai Afrika pun telah bersatu.
Dengan kekuatan yang telah dihimpunnya, dan setelah melakukan beberapa perundingan, Shalahuddin memutuskan untuk merebut kembali kota suci Baitul Maqdis.
Strategi awal yang diterapkan oleh Shalahuddin adalah mengajak pasukan salib untuk berdamai. Tapi dasar pasukan salib, bak pepatah dikasih hati meminta jantung. Tawaran damai yang diulurkan Shalahuddin dianggap sebagai tanda kekalahan pasukan Islam.
Mereka akan melakukan pengkhianatan perjanjian damai yang telah disepakati.
Ternyata, Shalahuddin telah mencium isyarat-isyarat pengkhiatan mereka. Justru itulah langkah kedua yang sudah direncanakan, ketika pasukan salib mengkhianati perjanjian, maka Shalahuddin punya alasan untuk memerangi mereka. Dan betul saja, tak menunggu waktu lama kaum salib melakukan pelanggaran.
Dengan kekuatan penuh Shalahuddin mencoba mengancam pasukan salib yang melanggar. Tapi dengan kekuatan penuh pula pasukan salib menantang. Peperangan terbuka tak bisa dihindari, pedang lawan pedang, darah bercucuran.
Shalahuddin Al Ayyubi turun ke medan laga dengan gagah berani menerjang lawan. Tapi sayang pasukan Shalahuddin kocar-kacir berantakan. Ia kalah, serangan pertamanya ke Baitul Maqdis mengalami kegagalan. Bahkan Shalahuddin sendiri nyaris tertawan musuh karena kekalahan itu.
Di saat yang seperti itu, ada sebuah peristiwa yang sangat mengejutkan. Di tengah terjadinya kancah peperangan antara pasukan salib dan tentara Shalahuddin, seorang panglima pasukan salib Count Rainald de Chatillon dengan membawa pasukan besar menuju Makkah dan Madinah. Dengan pasukan yang lengkap persenjataannya dan gegap gempita pasukannya ia hendak meluluhkan dua kota suci, Makkah dan Madinah.
Tak ubahnya pasukan gajah yang dulu hendak menghancurkan Ka'bah, pasukan Count Rainald de Catillon pun membawa niat yang sama. Tapi nasibnya memang tak lebih dari pasukan gajah pimpinan raja Abraha, pasukan salib pun dapat dihancurkan oleh kekuatan Islam di laut merah. Dengan sisa-sisa pasukannya Count Rainald de Catillon kembali lagi ke Jerussalem dengan tangan hampa.
Dalam perjalanan pulangnya ia melakukan perusakan dan pembantaian penduduk sipil yang tak berdaya. Sisa pasukannya melampias-kan kekalahan dengan biadab dan manusiawi. Di tengah perjalanan itu pula ia dan pasukannya bertemu dengan rombongan kabilah. Dalam rombongan kabilah itu kebetulan sekali terdapat salah seorang saudara perempuan Shalahuddin Al Ayyubi.
Bak singa menemukan mangsa, tanpa pikir panjang lagi kabilah kecil itu di hancur lumatkan pula. Ia menawan saudara perempuan Shalahuddin dan sesumbar pada orang-orang tentang kemenangan kecilnya. Dengan angkuh ia berkata, "Apakah Muhammad, nabi mereka itu, mampu datang dan menyelamatkan pengikutnya?"
Menggenggam Kemenangan
Ekspedisi penyerangan pertama Shalahuddin, sebenarnya tak gagal total seperti yang banyak dituliskan dalam sejarah. Kegagalan itu lebih sebagai, test case, uji kekuatan. Sejauh mana power lawan.
Perjanjian damai yang dilanggar oleh pasukan salib seakan-akan memberi izin pada Shalahuddin untuk melakukan penyerangan yang kedua kali. Peristiwa penyanderaan saudara perempuan Shalahuddin adalah pemicu peperangan yang lebih besar lagi. Salah seorang anggota kabilah yang luput dari maut berhasil meloloskan diri. Ia melaporkan kejadian tersebut pada Shalahuddin. Demi mendengar perjanjian damai yang dibuat dikoyak-koyak dengan biadab, amarah Shalahuddin langsung memuncak.
Shalahuddin segera mengirim utusan, meminta pihak pasukan salib segera membebaskan tawanan seperti yang tertulis dalam perjanjian. Tak hanya saudara perempuan Shalahuddin yang diminta pembebasanya, semua tawanan Jerussalem, harus segera dibebaskan. Tapi permintaan itu tak mendapat jawaban. Pasukan salib acuh, bahkan menganggap utusan Shalahuddin seperti angin lalu.
Diperlakukan demikian, untuk menjaga wibawa, segera Shalahuddin mengumpulkan kekuatan perang. Pasukan salib pun tak tinggal diam, dengan kekuatan yang besar pula mereka menantang. Dan, perangpun tak dapat dihindarkan.
Gunung Hittin adalah tempat pertemuan kedua tentara raksasa tersebut. Maka, pertempuran dahsyat Shalahuddin versus pasukan salib juga disebut dengan perang Hittin.
Berhari-hari kedua pasukan beradu laga. Kekuatan tak tanggung-tanggung dikerahkan. Dengan izin Allah, pasukan Shalahuddin dapat meraih kemenangan. Tentara musuh yang berjumlah lebih dari 45.000 orang hancur berantakan. Hanya ribuan saja yang tersisa dan segera lari tunggang langgang. Sebagian lagi berhasil tertawan.
Salah seorang yang berhasil ditawan adalah seorang bangsawan, Count Rainald de Chatillon. Semua tawanan diangkut ke Damaskus, dengan perlakuan manusiawi tanpa penyiksaan. Count Rainald yang sebelumnya telah menawan saudara perempuan Shalahuddin dan melecehkan Rasulullah pun mendapat perlakuan baik pula.
"Sekarang bagaimana, apakah telah nampak olehmu, bahwa aku saja cukup untuk mewakili Nabi Muhammad saw? Apakah aku tidak cukup menjadi pengganti dan melakukan pembalasan pada penghinaan yang sudah kau berikan?" Tanya Shalahuddin pada Count Rainald saat ia dibawa kehadapan mahkamah agung.
Dengan kepala tertunduk dan muka merah karena malu Count Rainald de Catillon tak bisa berkata-kata. Shalahuddin mengajak Count Rainald untuk memeluk Islam dan melakukan taubat. Tapi ternyata ia tetap diam saja laksana batu. Maka hukuman pun dijatuhkan, Count Rainald de Catillon dijatuhi hukuman mati karena sudah berani menghina dan melecehkan Rasulullah.
Setelah perang Hittin, kemenangan-kemenangan lain berturut-turut diraih pasukan Shalahuddin Al Ayyubi.
Akhirnya, rencana yang sudah lama dinanti-nanti datang juga masanya. Tujuan besar yang sejak awal memang jadi impian Shalahuddin dan pasukan Islam, yakni membebaskan tanah suci Baitul Maqdis datang juga kesempatannya.
Berbekal segala kebutuhan dan perlengkapan perang, Shalahuddin berangkat menyongsong kemenangan. Kala itu kota Jerussalem dipenuhi oleh banyak pelarian dari perang Hittin. Tak kurang jumlah 60.000 pasukan berkumpul di dalam kota Jerussalem. Mereka siap menanti kedatangan pasukan Shalahuddin yang gagah berani.
Sesampainya Shalahuddin diperbatasan segera ia memerintahkan anak buahnya untuk mengepung dari segala penjuru mata angin. Empat puluh hari empat puluh malam Shalahuddin mengepung Jerussalem dengan pasukan penuh. Dan selama itu pula pasukan musuh hanya berani berdiam diri saja di dalam kota pertahanan.
Setelah empat puluh hari berlalu, Shalahuddin kemudian mengumumkan dan meminta kota suci Baitul Maqdis diserahkan. Dengan mematuhi adab-adab berperang dalam Islam, Shalahuddin berjanji tidak akan berlaku kasar apalagi melukai. Ia tidak akan berbuat sama dengan yang dilakukan Godfrey dan orang-orangnya pada tahun 1909. Shalahuddin berjanji tidak akan ada setetespun darah menceceri tanah jika kota Jerussalem diserahkan dengan damai pada pasukannya.
Tapi seperti yang telah diduga, pasukan salib menolak dan mencaci tawaran Shalahuddin. Bahkan mereka menyerukan komando untuk berperang habis-habisan melawan Shalahuddin. Gayungpun bersambut, kaum Kristen menjual, pasukan Shalahuddin membeli. Seruan perang pasukan Kristen dibalas dengan janji Shalahuddin yang akan menghabiskan seluruh kaum Kristen di dalam kota yang melawan. Dan seranganpun dilancarkan.
Anak panah api dan tombak dilontarkan. Seruan-seruan perang seakan-akan hendak meruntuhkan langit kota Jerussalem. Gegap gempita peperangan melambung tinggi ke angkasa. Debu-debu peperangan mengepul menjulang ke awan. Hari itu benar-benar hari pembalasan terhadap pembantaian yang dilakukan pasukan salib 90 tahun silam.
Kaum salib bertahan di dalam benteng dengan seluruh kekuatan. Peperangan tergelar selama empat belas hari tanpa henti. Sedikit demi sedikit pasukan salib menyaksikan kekalahannya. Pintu-pintu benteng pelan-pelan hancur dan roboh oleh tentara muslim. Pasukan demi pasukan Islam berhasil masuk ke jantung pertahanan kaum salib. Suasana benar-benar mencekam bagi orang-orang salib.
Kekalahan yang di ambang mata itu membuat beberapa pimpinan pasukan salib menyelinap dan menemui Shalahuddin. Pada Shalahuddin mereka tanpa malu meminta perlindungan dan akan menyerahkan kota dengan damai dan tenang.
"Aku tak akan menaklukkan kota ini kecuali dengan kekerasan sebagaimana kamu dulu melakukannya. Aku tidak akan membiarkan seorangpun di antara kalian melainkan akan kubunuh seperti kalian telah membunuh seluruh saudara-saudaraku seiman dulu," demikian Shalahudin menjawab bujuk rayu para bangsawan pasukan salib itu.
Delegasi perayu pertama telah gagal. Delegasi keduapun dikirim maju. Kali ini yang datang adalah kepala pelabuhan kota Jerussalem sendiri. Dengan kata-kata manis bak bulu perindu ia merayu Shalahuddin, tapi tetap gagal juga. Lalu mereka mengeluarkan ancaman. "Jika tuan tak hendak berdamai dengan kami, kami akan kembali dan membunuh semua tawanan yang ada pada kami. Setelah itu kami akan membunuh anak, cucu dan wanita kami sendiri, kemudian kami akan membumihanguskan seluruh kota. Baru kami akan maju lagi untuk berperang dengan Anda," kata sang kepala pelabuhan.
Ancaman itu membuat hati Shalahuddin melemah. Bagaimana tidak, tawanan kaum muslim yang ada pada mereka sebanyak 4000 orang bukan jumlah yang kecil. Akhirnya Shalahuddin mengumpulkan semua alim ulama untuk meminta pendapatnya. Pendapat mereka tentang sumpah keras yang sudah dikeluarkan. Fatwapun turun, Shalahuddin boleh membatalkan sumpahnya yang akan menumpas habis kaum salib dengan membayar kifarat atau denda seperti yang sudah ditentukan.
Setelah itu berlangsunglah penyerahan kota secara aman dan damai. Hampir-hampir tak ada pembalasan dendam. Tuntunan perang yang mulia dalam Islam sekali lagi dibuktikan oleh Shalahuddin Al Ayyubi. Penduduk Jerussalem dibebaskan dengan syarat. Mereka harus membayar tebusan, sepuluh dinar untuk laki-laki dan dua diar untuk anak-anak dan perempuan. Dan untuk yang tak sanggup membayar tebusan akan tetap dijadikan sebagai tawanan.
Mesjid Qal'a Shalahuddin Al-Ayyubi
Semua senjata dan rumah harus mereka tinggalkan. Mereka boleh kemana saja mereka suka dengan aman. Jaminan diberikan, bahwa mereka tak akan mendapat gangguan dari pasukan Islam.
Hari Jum'at 27 Rajab 583 Hijriah, dengan suara takbir menggema kaum muslimin memasuki kota suci Baitul Maqdis dengan gegap gempita. Air mata menetes membasahi pipi Shalahuddin Al Ayyubi. "Allahu Akbar," gumamnya pelan dengan nada haru yang luarbiasa.
Kayu-kayu salib dan gambar-gambar rahib diturunkan dari tembok dan tiang-tiang pancang. Hari itu adalah hari kemenangan Islam.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar