Setelah Suriah, Giliran Asia Tenggara
Perang itu berpindah-pindah. Seusai perang dunia kedua, meletus perang Korea, disusul perang Vietnam kemudian perang Irak-Iran dan seterusnya hingga serbuan militer AS dan sekutunya ke Afghanistan serta Irak.
Di antara perang-perang besar itu terjadi pemberontakan yang didukung Barat seperti yang berlangsung di Indonesia pada era 1950-an. Ada pula perang seperti di Ethiopia dan Yaman pada 1970-an yang lebih merupakan proxy wars antara negara-negara Barat dengan Uni Soviet.
Ketegangan permanen di Timur Tengah diwarnai dengan beberapa kali perang antara Israel dengan negara-negara Arab di 1948, 1956, 1967 dan 1973. Kecenderungan paling akhir menunjukkan penguasaan wilayah oleh Israel makin luas, negara-negara Arab terpecah-pecah dan rakyat Palestina sangat terpinggirkan.
Para pendiri Nonblok yang menentang kolonisasi dan keberpihakan dalam Perang Dingin, tersingkir dari panggung internasional secara alamiah atau dipaksa turun. Mereka umumnya digantikan oleh generasi baru yang lebih kompromistis terhadap bentuk-bentuk penjajahan baru.
Sulit disangkal bahwa perang atau bentuk tindak kekerasan lainnya, memang sengaja dilakukan negara-negara tertentu dengan tujuan menguasai sumber daya alam, mendominasi pasar, membuat koloni baru, menguasai jalur-jalur laut dan udara yang strategis.
Dulu, ketika berlangsung perlombaan peluru kendali antarbenua, timbul anggapan kolonisasi tidak diperlukan lagi. Tetapi untuk tujuan-tujuan ekonomis, kolonisasi masih dianggap penting dan juga ditilik dari strategi penyebaran kekuatan.
Perang, konflik bersenjata atau ketegangan permanen diperlukan pula oleh negara-negara yang memiliki industri militer yang besar. Ada ketergantungan negara supaya industry tersebut terus berjalan, seperti Malang atau Kediri tergantung pabrik rokok.
Perubahan strategi
Amerika Serikat menurunkan peralatan militer dan pasukan pada PD II, Perang Korea dan Perang Vietnam, namun strategi itu diubah setelah perang Vietnam. Hal ini disebabkan keterlibatan langsung mengakibatkan ratusan ribu tentara AS meninggal dunia atau cacat, serta memboroskan anggaran belanja. Tak hanya itu, kebijakan itu menimbulkan protes hebat di dalam negeri.
Ternyata industri militer tak pernah kehilangan kreativitas dalam menyokong peperangan. Mereka membuat peluru kendali jelajah Tomahawk, bom-bom penghancur bunker atau pesawat-pesawat terbang tanpa awak. Para pengendali cukup memencet tombol untuk melumatkan lawan dan membuat anak kehilangan orang tua ataupun orang tua kehilangan buah hatinya.
Dalam perkembangan berikutnya, penghancuran jarak jauh tidak cukup untuk memenangkan peperangan. Sejalan dengan itu masih juga diperlukan keterlibatan langsung pasukan darat , maka Pangeran Harry diterjunkan di Afghanistan.
Guna meminimalisir reaksi di dalam negeri, intervensi Barat di luar negeri kini cenderung menggunakan tentara sewaan seperti perusahaan Blackwater Worldwide, disamping pasukan khusus yang biasa bekerja dalam senyap serta agen-agen rahasia.
Bila kegiatan tentara sewaan berada di luar tanggung jawab pemerintah, kegiatan pasukan khusus dan agen rahasia secara resmi tidak pernah dinyatakan secara terbuka. Hanya saja sejumlah literature menyebut, Amerika Serikat menyebarkan pasukan khususnya di lebih dari 75 negara.
Freeport disebut-sebut menggunakan jasa Blackwater yang umumnya beranggotakan mantan tentara. Blackwater didirikan Erik Prince, mantan anggota SEAL, di North Carolina, Amerika Serikat pada 1997. Mereka dapat dimanfaatkan pemerintah maupun perusahaan-perusahaan multinasional.
Dunia kini sedang memperhatikan Suriah. Tampak jelas, penggulingan Presiden Bashar Al-Assad bukan perkara mudah. Padahal penaklukan Suriah akan membuat Iran terkucil.
Ada kecenderungan perhatian pemerintah Assad dipecah dengan membuka front baru, yakni konflik terbuka dengan Turki. Jika Turki berperang dengan Suriah maka ada alasan bagi Istanbul untuk mengundang NATO, secara terbuka maupun tertutup.
Berkaitan dengan Iran, sangat mustahil untuk menyerang secara langsung sebagaimana yang dilakukan terhadap Irak. Cara terbaik adalah dengan mengeksploitir perbedaan dan ketidakpuasan di dalam negeri.
Sumber diplomatik menyebut, keberanian Barat menyerang Irak juga lantaran diketahui Baghdad tidak mempunyai senjata nuklir. Modus serupa akan digunakan jika Teheran benar-benar tak memiliki senjata penghancur massal itu.
Lalu kemana perang, konflik atau ketegangan akan bergeser? Bila melihat potensi, maka Asia Tenggara bakal menjadi lahan berikutnya. Bibitnya sudah jelas yakni, saling mengklaim kawasan laut China Selatan dan prospek konflik di Myanmar di antara pendukung Aung San Suu Kyi dan pemerintah.
Suu Kyi telah digadang-gadang menjadi pemimpin di Myanmar dan ia diberi penghormatan luar biasa ketika melawat ke luar negeri baru-baru ini. Penghormatan yang nyaris seperti diperoleh seorang kepala negara.
Negara-negara Barat berkepentingan menanamkan pengaruh di Myanmar sebab kalau itu terjadi maka kompletlah pengepungan terhadap China. Dilain pihak, Beijing sangat berhasrat membuka pelabuhan di Teluk Benggala guna mempersingkat pengiriman minyak mentah dari Timur Tengah.
Indonesia sudah pasti dipengaruhi perkembangan di atas, minimal terkena dampak dari mengalirnya para pengungsi. Ketegangan regional bisa pula dimanfaatkan para pihak di dalam negeri yang ingin mengail di air keruh. Menimbulkan keriuhan lalu menginternasionalisasikan persoalan. Benih-benih keriuhan di antaranya adalah ketidakadilan, ketimpangan kesejahteraan, masalah agama, disparitas pusat dengan daerah , korupsi, salah tafsir tentang demokrasi dan lain-lain.
Perkembangan domestik pada 1950-an dapat menjadi acuan tentang kemungkinan yang bakal terjadi karena sejarah kerap berulang. Apalagi banyak negara asing yang masih mengincar Pulau Weh, Riau Kepulauan, Pulau Morotai, Pulau Biak dan Nusa Tenggara Timur. Di samping daerah-daerah lain yang kaya mineral.
Bangsa Indonesia bisa bersandar kepada Pancasila, bendera merah putih, Sumpah Pemuda, Undang-Undang Dasar 1945 sebagai unsur pemersatu. Namun harus diwaspadai usaha melakukan penjegalah sebab masih ada yang ingin menggantikan dengan kemanusian, demokrasi dan HAM.
Atas dasar itu amat penting jika pemerintah pusat maupun daerah menjalankan kebijaksanaan yang adil dan berdasarkan hukum, serta memperkuat sektor pendidikan sebagai instrumen nilai-nilai kejuangan. Bukankah ketimpangan seringkali terjadi karena perilaku pemimpin?
Dalam hubungan ini sangat relevan untuk mengingatkan bahwa perkiraan negara lain, Indonesia akan menjadi sumber ketidakstabilan karena kesejahteraan daerah yang tidak merata.
Pada hakekatnya, Indonesia sebenarnya sudah terjajah atau terkolonisasi dalam bentuk lain. Dolarisasi sudah merambah sampai ke kampung-kampung. Kenaikan harga kedelai di China atau terigu di Australia mempengaruhi harga tahu atau jipeng di Tuntang, Ambarawa.
Selain itu, perusahaan asing boleh memiliki saham dominan di perusahaan-perusahaan yang mengelola hajat hidup orang banyak, seperti air, pertambangan, perbankan, penerbangan dan lain-lain. Tak ada asas resiprokal sebab ketika UU Penanaman Modal dicanangkan, hal itu boleh jadi tak terpikir atau dikesampingkan.
Di antara perang-perang besar itu terjadi pemberontakan yang didukung Barat seperti yang berlangsung di Indonesia pada era 1950-an. Ada pula perang seperti di Ethiopia dan Yaman pada 1970-an yang lebih merupakan proxy wars antara negara-negara Barat dengan Uni Soviet.
Ketegangan permanen di Timur Tengah diwarnai dengan beberapa kali perang antara Israel dengan negara-negara Arab di 1948, 1956, 1967 dan 1973. Kecenderungan paling akhir menunjukkan penguasaan wilayah oleh Israel makin luas, negara-negara Arab terpecah-pecah dan rakyat Palestina sangat terpinggirkan.
Para pendiri Nonblok yang menentang kolonisasi dan keberpihakan dalam Perang Dingin, tersingkir dari panggung internasional secara alamiah atau dipaksa turun. Mereka umumnya digantikan oleh generasi baru yang lebih kompromistis terhadap bentuk-bentuk penjajahan baru.
Sulit disangkal bahwa perang atau bentuk tindak kekerasan lainnya, memang sengaja dilakukan negara-negara tertentu dengan tujuan menguasai sumber daya alam, mendominasi pasar, membuat koloni baru, menguasai jalur-jalur laut dan udara yang strategis.
Dulu, ketika berlangsung perlombaan peluru kendali antarbenua, timbul anggapan kolonisasi tidak diperlukan lagi. Tetapi untuk tujuan-tujuan ekonomis, kolonisasi masih dianggap penting dan juga ditilik dari strategi penyebaran kekuatan.
Perang, konflik bersenjata atau ketegangan permanen diperlukan pula oleh negara-negara yang memiliki industri militer yang besar. Ada ketergantungan negara supaya industry tersebut terus berjalan, seperti Malang atau Kediri tergantung pabrik rokok.
Perubahan strategi
Amerika Serikat menurunkan peralatan militer dan pasukan pada PD II, Perang Korea dan Perang Vietnam, namun strategi itu diubah setelah perang Vietnam. Hal ini disebabkan keterlibatan langsung mengakibatkan ratusan ribu tentara AS meninggal dunia atau cacat, serta memboroskan anggaran belanja. Tak hanya itu, kebijakan itu menimbulkan protes hebat di dalam negeri.
Ternyata industri militer tak pernah kehilangan kreativitas dalam menyokong peperangan. Mereka membuat peluru kendali jelajah Tomahawk, bom-bom penghancur bunker atau pesawat-pesawat terbang tanpa awak. Para pengendali cukup memencet tombol untuk melumatkan lawan dan membuat anak kehilangan orang tua ataupun orang tua kehilangan buah hatinya.
Dalam perkembangan berikutnya, penghancuran jarak jauh tidak cukup untuk memenangkan peperangan. Sejalan dengan itu masih juga diperlukan keterlibatan langsung pasukan darat , maka Pangeran Harry diterjunkan di Afghanistan.
Guna meminimalisir reaksi di dalam negeri, intervensi Barat di luar negeri kini cenderung menggunakan tentara sewaan seperti perusahaan Blackwater Worldwide, disamping pasukan khusus yang biasa bekerja dalam senyap serta agen-agen rahasia.
Bila kegiatan tentara sewaan berada di luar tanggung jawab pemerintah, kegiatan pasukan khusus dan agen rahasia secara resmi tidak pernah dinyatakan secara terbuka. Hanya saja sejumlah literature menyebut, Amerika Serikat menyebarkan pasukan khususnya di lebih dari 75 negara.
Freeport disebut-sebut menggunakan jasa Blackwater yang umumnya beranggotakan mantan tentara. Blackwater didirikan Erik Prince, mantan anggota SEAL, di North Carolina, Amerika Serikat pada 1997. Mereka dapat dimanfaatkan pemerintah maupun perusahaan-perusahaan multinasional.
Dunia kini sedang memperhatikan Suriah. Tampak jelas, penggulingan Presiden Bashar Al-Assad bukan perkara mudah. Padahal penaklukan Suriah akan membuat Iran terkucil.
Ada kecenderungan perhatian pemerintah Assad dipecah dengan membuka front baru, yakni konflik terbuka dengan Turki. Jika Turki berperang dengan Suriah maka ada alasan bagi Istanbul untuk mengundang NATO, secara terbuka maupun tertutup.
Berkaitan dengan Iran, sangat mustahil untuk menyerang secara langsung sebagaimana yang dilakukan terhadap Irak. Cara terbaik adalah dengan mengeksploitir perbedaan dan ketidakpuasan di dalam negeri.
Sumber diplomatik menyebut, keberanian Barat menyerang Irak juga lantaran diketahui Baghdad tidak mempunyai senjata nuklir. Modus serupa akan digunakan jika Teheran benar-benar tak memiliki senjata penghancur massal itu.
Lalu kemana perang, konflik atau ketegangan akan bergeser? Bila melihat potensi, maka Asia Tenggara bakal menjadi lahan berikutnya. Bibitnya sudah jelas yakni, saling mengklaim kawasan laut China Selatan dan prospek konflik di Myanmar di antara pendukung Aung San Suu Kyi dan pemerintah.
Suu Kyi telah digadang-gadang menjadi pemimpin di Myanmar dan ia diberi penghormatan luar biasa ketika melawat ke luar negeri baru-baru ini. Penghormatan yang nyaris seperti diperoleh seorang kepala negara.
Negara-negara Barat berkepentingan menanamkan pengaruh di Myanmar sebab kalau itu terjadi maka kompletlah pengepungan terhadap China. Dilain pihak, Beijing sangat berhasrat membuka pelabuhan di Teluk Benggala guna mempersingkat pengiriman minyak mentah dari Timur Tengah.
Indonesia sudah pasti dipengaruhi perkembangan di atas, minimal terkena dampak dari mengalirnya para pengungsi. Ketegangan regional bisa pula dimanfaatkan para pihak di dalam negeri yang ingin mengail di air keruh. Menimbulkan keriuhan lalu menginternasionalisasikan persoalan. Benih-benih keriuhan di antaranya adalah ketidakadilan, ketimpangan kesejahteraan, masalah agama, disparitas pusat dengan daerah , korupsi, salah tafsir tentang demokrasi dan lain-lain.
Perkembangan domestik pada 1950-an dapat menjadi acuan tentang kemungkinan yang bakal terjadi karena sejarah kerap berulang. Apalagi banyak negara asing yang masih mengincar Pulau Weh, Riau Kepulauan, Pulau Morotai, Pulau Biak dan Nusa Tenggara Timur. Di samping daerah-daerah lain yang kaya mineral.
Bangsa Indonesia bisa bersandar kepada Pancasila, bendera merah putih, Sumpah Pemuda, Undang-Undang Dasar 1945 sebagai unsur pemersatu. Namun harus diwaspadai usaha melakukan penjegalah sebab masih ada yang ingin menggantikan dengan kemanusian, demokrasi dan HAM.
Atas dasar itu amat penting jika pemerintah pusat maupun daerah menjalankan kebijaksanaan yang adil dan berdasarkan hukum, serta memperkuat sektor pendidikan sebagai instrumen nilai-nilai kejuangan. Bukankah ketimpangan seringkali terjadi karena perilaku pemimpin?
Dalam hubungan ini sangat relevan untuk mengingatkan bahwa perkiraan negara lain, Indonesia akan menjadi sumber ketidakstabilan karena kesejahteraan daerah yang tidak merata.
Pada hakekatnya, Indonesia sebenarnya sudah terjajah atau terkolonisasi dalam bentuk lain. Dolarisasi sudah merambah sampai ke kampung-kampung. Kenaikan harga kedelai di China atau terigu di Australia mempengaruhi harga tahu atau jipeng di Tuntang, Ambarawa.
Selain itu, perusahaan asing boleh memiliki saham dominan di perusahaan-perusahaan yang mengelola hajat hidup orang banyak, seperti air, pertambangan, perbankan, penerbangan dan lain-lain. Tak ada asas resiprokal sebab ketika UU Penanaman Modal dicanangkan, hal itu boleh jadi tak terpikir atau dikesampingkan.
Komentar
Posting Komentar