Menatap Lepasnya Kekuatan Bangsa

Entah disadari atau tidak oleh para elit dan pemimpin nasional, berbagai kekuatan dan aset bangsa Indonesia, satu per satu lepas ke negara lain.
Headline
Selain lepas, ada aset dan kekuatan yang sengaja dipreteli negara asing, negara sahabat ataupun negara pesaing. Sementara usaha mencegahnya, tidak terlihat sama sekali.

Kekuatan dan aset itu tidak dalam bentuk materi. Lebih berbentuk simbol dan identitas. Namun justru disanalah letak mahalnya. Simbol dan indentitas sebuah negara tidak bisa ditakar dan ditukar dengan uang, seberapapun banyaknya.
Gerakan Non-Blok (GNB) atau NAM (Non-Aligned Movement), sebuah perkumpulan internasional yang beranggotakan lebih dari 100 negara, adalah contohnya. Pengaruh Indonesia di gerakan ini relatif sudah susut sampai ke tingkat bawah. Padahal yang melahirkan dan membesarkannya, Indonesia.

Pasca-KTT GNB 1992 di Jakarta, Indonesia mendirikan NAM Center. Letaknya di Jl.Patrice Lumumba, Kemayoran, Jakarta Pusat. Tapi coba lihat apa yang ada dan terjadi di sana. Selain tanpa kegiatan GNB, tidak banyak yang tahu bahwa gerakan ini memiliki semacam Pusat Kajian di Indonesia.

GNB yang lahir atas modal semangat dan idealisme, dideklarasikan pada 1961 di Beograd, ibukota Yugoslavia (kini Serbia). Pemrakarsa utamanya adalah Presiden Republik Indonesia pertama, Ir.Soekarno.

Proklamator itulah yang menggagas pentingnya bangsa-bangsa yang masih dijajah memperoleh kemerdekaan dan kedaulatan. Soekarno membuat garis tegas antara negara terjajah dengan negara yang berdiri berdasarkan blok: Blok Barat dan Blok Timur. Negara terjajah lalu menjadi Non Blok.

Rata-rata bangsa terjajah itu berada di benua Asia dan Afrika. Maka, lewat Konferensi Asia Afrika April 1955 di Bandung, Indonesia menyemangati semua bangsa tertindas dan memberi ultimatum kepada negara-negara kolonialis.

Di tengah kobaran semangat Asia Afrika, pemimpin Indonesia menggagas persatuan lewat olahraga Ganefo (Games of The New Emerging Forces) di Jakarta. Dua isu itu menjadi topik yang paling mengganggu negara-negara kolonialis yang nota bene secara ekonomi dan kesejahteraan lebih maju.

Hasilnya antara lain, munculnya pejuang-pejuang kemerdekaan di dua benua yang kelak satu persatu menjadi negara merdeka. Mereka inilah yang mendominasi GNB, Blok Netral.

Di bidang olahraga, berkat Ganefo misalnya, Indonesia banyak melahirkan atlit-atlit berprestasi untuk tingkat dunia. Di cabang sepakbola saja, untuk kawasan Asia, Indonesia merupakan rajanya. Buka China, Jepang atau Korea Selatan, apalagi cuma Thailand, Malaysia dan Singapura, sebagaimana yang terjadi saat ini. Berkat proyek Ganefo juga maka Indonesia bisa punya komplek olahraga Hambalang, eh salah, Senayan.

Bahkan TVRI Pusat yang berdiri di sebelah kantor Kemenpora, berada di sana dalam rangka menyambut peliputan Ganefo. Sehingga Indonesia merupakan salah satu negara Asia yang pertama punya stasiun televisi.

Pendek kata Indonesia, berkat GNB menjadi salah satu negara yang disegani dunia. Sekalipun mengalami banyak hambatan dan tantangan, tetapi gagasan dari Bandung itu terus bergema ke seluruh pelosok dunia. Semangat dan idealisme GNB semakin memperoleh pengakuan dunia tatkala perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur berakhir pada 1989.

Pengakuan itu diikuti diterimanya Presiden RI, Soeharto selaku Ketua GNB oleh para pemimpin negara-negara eks Blok Barat dan Blok Timur di KTT G-8, tahun 1994 di Tokyo, Jepang. Blok Barat diwakili AS, Kanada, Jepang, Inggris, Jerman, Prancis dan Italy, sementara Blok Timur diwakili oleh Rusia, pecahan Uni Sovyet.

Di Tokyo, Ketua GNB (baca: Indonesia) menyampaikan konsep tentang penataan global oleh semua kekuatan agar di dunia terjadi keadilan dan kehidupan yang berkeseimbangan. KTT Tokyo menerima Ketua GNB karena Indonesia merupakan negara yang punya kekuatan. Indonesia simbol negara tanpa blok. Gaung kekuatan Indonesia berakhir di KTT 1995 di Cartagena, Kolombia.

Yang disayangkan ataupun boleh juga disebut patut disesalkan, begitu Iran menjadi Ketua GNB, Indonesia pun tidak tampil lagi sebagai negara yang punya pengaruh dan visi. Wapres Boediono yang hadir di KTT 2012 di Teheran, Iran tidak tampil dengan visi bagaimana membangkitkan dan memberdayakan GNB. Dan tidak ada yang bisa menjamin apakah GNB masih bisa dikembalikan ke "khitah"-nya selepas kepemimpinan Iran di 2015.

Kekuatan dan aset lain yang baru saja lepas dari Indonesia adalah status juru damai antara pemerintah Filipina dan Kelompok Islam di Filipina Selatan. Pertengahan Oktober 2012 ini, tiba-tiba saja keluar pengumuman di Kualalumpur dan Manila bahwa pemerintah Filipina dan Gerakan Perjuangan Islam di Filipina Selatan sudah berdamai. Penengahnya Malaysia.

Kesepakatan damai itu langsung dipuji Amerika Serikat negara Barat yang belakangan ini dikenal sangat alergi pada Islam. Yang menjadi sorotan sekaligus pertanyaan, mengapa peran Indonesia sebagai jurudamai di Asia Tenggara tiba-tiba sudah diambil alih Malayasia?

Pada 1989, atau sekitar 23 tahun lalu, setelah berhasil mendamaikan negara-negara Indochina melalui forum JIM (Jakarta Informal Meeting), Indonesia diminta mendamaikan sengketa di Filipina Selatan. Pemimpin Moro National Liberation Front (MNLF) Nur Misuari adalah pihak yang paling agresif mendesak Indonesia untuk berperan sebagai jurudamai.

Tidak terhitung berapa banyak waktu yang digunakan Nur Misuari dan Wiryono Sastrohandoyo, diplomat senior RI yang ditunjuk Pejambon untuk menyelesaikan konflik Filina Selatan. Keduanya punya ruang khusus untuk berunding di Hotel Indonesia, Jakarta, sekarang berubah menjadi Hotel Indonesia Kempinski.

Manila dan MNLF menanda tangani perjanjian damai. Sejak perdamaian itu, tidak pernah terdengar masih ada sengketa antara Manila dan kelompok Islam di Mindanao. Oleh sebab itu munculnya Malaysia sebagai juru damai dalam isu yang sama, cukup mengejutkan.

Peralihan peran itu, terkesan sebuah perampasan dan pemaksaan. Sebab dari unsur ke-Islaman, Indonesia tidaklah kalah dibanding Malaysia. Dari sudut ASEAN, jelas Indonesia jauh lebih diakui kekuatannya dibanding Malaysia.

Di luar hal itu, posisi Malaysia sebagai jurudamai, patut dipersoalkan. Sebab dalam konteks terorisme, Malaysia justru mencetak teroris yang mematikan. Bom Bali adalah buktinya. Ini dikuatkan oleh keterlibatan Dr.Azahari dan Noordin M Top yang kedua-duanya berkewarga negaraan Malaysia.

Sebelum dan sesudah terbunuh, Densus 88 meyakini, dua warga Malaysia itu merupakan pelatih anggota teroris Indonesia. Dan teroris Indonesia yang berkaitan dengan Azahari dan Noordin M Top, juga memperoleh latihan di Mindanao, Filipina Selatan. Kelompok teroris anak buah warga Malaysia ini hanya mengganggu Indonesia atau Filipina. Mereka tidak pernah mengganggu Malaysia.

Kini Malaysia muncul sebagai juru damai antara kelompok Islam di Filipina Selatan - tempat dimana para teroris asal Indonesia berlatih, dengan pemerintah Manila. Akibat terorisme, kekuatan Indonesia melorot. Indonesia berubah menjadi negara sarang teroris. Tidak lagi negara yang membangkitkan semangat kemerdekaan dan demokrasi. Citra Indonesia yang positif seketika berubah negatif.

Lepasnya pengaruh positif Indonesia juga terjadi atau sedang terjadi di ASEAN. Sekalipun Indonesia masih diakui sebagai negara terbesar di ASEAN, tetapi dalam praktek, Singapura, sudah berani menggembosi Indonesia.

Pada KTT ASEAN di Jakarta 2010, misalnya hanya Perdana Menteri Singapura satu-satunya Kepala Pemerintahan ASEAN yang tidak hadir. Alasannya, Singapura sedang menyelenggarakan Pemilu.

Walaupun kedudukan Sekretariat Jenderal ASEAN berada di Jakarta tetapi peranan dan pengaruh Indonesia, tidak sama dengan Amerika Serikat dalam konteks keberadaan Markas PBB di New York.

Siapa yang menjamin ke depan tak akan ada lagi kekuatan dan aset lepas dari genggaman Indonesia?

Sumber Inilah.com

Komentar

Postingan Populer