Winston Churchill: Pahlawan, Pecundang, Pahlawan ...

Ini mungkin gambaran bagaimana di luar bangsa ini, peran pahlawan dipertanyakan. Winston Churchill, salah seorang yang disebut-sebut sebagai pahlawan Perang Dunia II, pernah dikutak-kutik citranya. Disebutkan bahwa dia sebetulnya lebih banyak mendapatkan kekalahan ketika memimpin Inggris pada masa Perang Dunia II. Ini tentu saja menggegerkan kalangan akademis. Mereka tidak suka pahlawan mereka dikorek boroknya, atau sebenarnya mereka tak siap menerima kenyataan?
Mitologi Churchill: Pahlawan, Pecundang, Pahlawan ...
Dr. John Charmley-lah, dosen Universitas East Anglia, yang memulai. Profesor ini menulis buku berjudul Churchill: The End of Glory (CEG). Di buku ini disebutkan, misalnya, betapa orang yang pernah menjadi perdana menteri Inggris itu sangat terobsesi mengalahkan Hitler. Inilah yang menyebabkannya mengabaikan kesempatan berdamai dengan Jerman.

Charmley berpendapat, kerasnya keinginan Churchill untuk menghancurkan Hitler justru melemahkan Inggris dalam perang. Ini harus ditebus dengan harga mahal: Kerajaan Inggris menjadi bergantung pada AS dan terpaksa menyerahkan Eropa Timur kepada diktator Uni Soviet, Josef Stalin. Ini dipuji sekaligus dicemooh Charmley. Kupasan Charmley membuat orang Inggris berang. Betapa tidak, bagi banyak orang, Churchill telah mewujudkan apa yang mereka anggap sebagai kebulatan tekad sehingga membuat mereka bertahan terus sepanjang tahun-tahun perang.

Terang saja jika kemudian muncul banyak reaksi dari masyarakat baik yang pro atau kontra. Yang kontra mengutuk CEG sebagai buku sensasional. Di pihak lain, orang menyebut analisis Charmley sebagai bukti kebenaran reputasi pemimpin legendaris itu --yang citranya dibentuk saat propaganda perang. Seorang cucu Churchill, yang namanya juga Winston Churchill (--seorang politisi Konservatif), berusaha mempertahankan nama baik Churchill dengan mengatakan, ''Jika saja para penulis sejarah hidup dalam masa pendudukan Nabi, barangkali mereka akan mempunyai apresiasi yang sedikit beda.''

Tapi orang konservatif lainnya --mantan Menhan alan Clark-- malah memuji dan menerima karya Charmley sebagai satu karya besar pasca perang. Clark juga seorang ahli sejarah. Ia dikenal sebagai orang sayap kanan yang tidak berpihak. Clark punya alasan untuk berpihak pada Charmley. Menurutnya, Churchill sebenarnya dapat merundingkan perdamaian pada 1941. Sayang, Churchill malah merampok status Inggris sebagai negara ''adidaya''. Karena itu, menurutnya, terlalu mahal jika harus memberi julukan Churchill sebagai ''seorang pemimpin yang lebih rasional''.

Bagi masyarakat Inggris, terutama bagi mereka yang hidup pada zaman perang, mengeritik Churchill masih merupakan hal tabu. Tak heran, kolom surat pembaca di berbagai media cetak mulai kebanjiran surat amarah dari masyarakat ketika buku Charmley muncul. Charmley sadar benar bahwa tindakannya menafsirkan kembali mitologi yang melingkari Churchill sama artinya dengan bermain api. Sebagai anggota generasi pasca perang Charmley, 37, menyatakan sebagai bagian dari sedikit ahli sejarah yang dapat melihat Churchill dengan netral, tanpa memihak pada siapa pun.

''Kamilah generasi pertama yang melihat Churchill murni sebagai sosok sejarah. Saya ingin menjernihkan kepura-puraan potret dirinya. Dengan kata lain, saya ingin melihat dia dari dekat secara rinci, borok-boroknya, dan sebagainya.'' Tak sepenuhnya buku CEG membongkar sisi buruk Churchill. Buku ini juga memujinya dalam konteks, ''bahwa tak diragukan lagi ia seorang tokoh yang besar. Tapi sebagai manusia biasa ia punya kekurangan sebagaimana ia punya kelebihan.''

Sebagai seorang dosen Charmley menyandang gelar profesor yang dipersembahkan kepada Churchill di Fulton, Missouri --tempat Churchill menyampaikan pidatonya yang terkenal ''Tirai Besi'', yang isinya mengingatkan bahayanya komunisme di tahun 1945. Charmley berpendapat bahwa Churchill sendiri pun mempertanyakan berapa banyak kemajuan yang dicapainya dalam perang yang pahit dan panjang. Ketika perang berakhir, Inggris menjadi sangat lemah karena besarnya utang perang, hancurnya industri tradisional dan kehilangan kerajaan. ''Sulit mengatakan Inggris menang dalam perang saat itu,'' tulisnya.

Menurutnya pula, Inggris butuh mitos Churchill. ''Ketika Inggris mengalami kemunduran kekuatan, kebutuhan terhadap Churchill tumbuh. Ketika ia hidup, Kerajaan Inggris patut dibanggakan dan penuh keagungan.'' Dapat dimengerti bila banyak orang Inggris yang tidak membiarkan siapa pun mengeritik Churchill. Pada saat meninggal, 24 Januari 1965, Times menyebutnya ''Orang Inggris Terbesar pada Abadnya.''

Sumber : Republika

Komentar

Postingan Populer