Lu Xun

Mata kanan sastra revolusioner

"SEBAGAI komandan tertinggi Revolusi Kebudayaan Cina, dia tidak hanya seorang sastrawan besar, tetapi juga seorang pemikir dan revolusioner yang besar. Pada medan kebudayaan, ia adalah pahlawan nasional yang paling berani, paling teguh, paling setia, paling bersemangat, pantang menyerah. Ia adalah seorang pahlawan tanpa tandingan dalam sejarah kita," puji Mao Zedong, pemimpin tertinggi Komunis Cina, pada tahun 1940.

Tahukah Anda siapa sosok yang mendapat pujian setinggi itu dari Mao? Dia adalah Lu Xun, sastrawan Cina yang sampai kini dianggap sebagai "representasi ideologi komunis dalam sastra".
Mao memang memuji Lu Xun. Tapi, sebenarnya, sastrawan ini tak lebih hanya alat yang dipakai untuk memopulerkan ideologi Komunis. Padahal, sewaktu namanya disebut-sebut sebagai sosok penting dalam partai, Lu Xun telah meninggal lebih dari 30 tahun. Dan tokoh yang sangat "berarti" mengangkat kembali namanya adalah Jiang Qing, istri Mao. Qing yang melihat begitu banyak lawan politik Mao sengaja menampilkan sosok Lu Xun sebagai alat mendobrak dan meruntuhkan mental dan jalan politik lawannya. Dan hal itu amat berhasil, karena sosok Lu Xun di masyarakat Cina memang memiliki kewibawaan dan akar yang kuat.

Tak heran jika kemudian Qing menerbitkan surat-surat Lu Xun yang berisi kecaman pada beberapa tokoh politik semacam Zhou Yang, Liu Shaoqi, bahkan Deng Xiaoping. Kata-kata Lu Xun yang penuh kharisma sengaja Qing semburkan untuk mengajak masyarakat ikut membenci tokoh-tokoh politik itu.
Hebatnya "sandiwara" Qing ini ialah dengan mengatakan betapa Lu Xun begitu menaati Mao, bagaikan "seorang tentara jalan kaki". Padahal, bagi yang mengetahui sejarah hidup Lu Xun akan tertawa, karena kedua tokoh ini tidak pernah bertemu, apalagi Lu Xun sampai mempelajari pemikiran Mao. Satu-satunya kontak Xun dan Mao adalah sebuah telegram dari pengarang itu ketika megnucapkan selamat kepada mereka yang berhasil melewati Long March.
Kiri dan takdir sejarah

Lu Xun sebenarnya adalah nama pena. Ia dilahirkan dengan nama Zhou Shuren, di desa Shaoxing, Provinsi Zhejiang, pada 1881. Sebagai orang muda yang bercita-cita tinggi, ia memutuskan belajar ilmu kedokteran di Jepang, di Universitas Sendai. Ia melihat begitu banyak orang setanah airnya yang sakit, dan begitu sedikit dokter. 1902, ia berangkat ke Jepang. Tapi, sebuah "insiden" kecil mengubah jalan hidupnya. 1906, ia melihat sebuah pertunjukan slide tentang perang Jepang-Rusia. Salah satu adegannya memperlihatkan bagaimana orang Cina dihukum mati oleh serdadu Jepang. Pemandangan ini menggoncangkan Lu Xun, tapi yang lebih menggoncangkannya adalah orang Cina yang menyaksikan pembantaian itu tak melakukan apa pun.
 
Aku kemudian teryakinkan, ilmu kedokteran tak punya arti apa pun. Orang yang lemah sekalipun sehat, hanya akan jadi saksi kekejaman itu. Yang terpenting adalah mengubah semangat mereka. Sejak saat itu aku merasa bahwa kesusasteraan adalah sarana terbaik untuk mencapai tujuan itu. Aku memutuskan mengadakan gerakan sastra!"
1909, ia kembali ke Cina, persis sebelum peristiwa besar melanda negaranya. Ia menyaksikan Revolusi Xinghai (1911) yang merobohkan dinasti Qing, Sun Yat-sen jadi presiden (1912), Gerakan Empat Mei (1919) yang menolak kebudayaan tradisional Konfusian, kemenangan Chiang Kai-sek di sebagian wilayah cina (1926), pembantaian kaum komunis di Shanghai (1927). Ia juga melihat bagaimana kota-kota besar di Cina dijarah dan dibagikan kepada kolonialis Barat, ia menyaksikan penganiayaan, pembantaian, pembakaran, pembunuhan dan keberutalan lain sepanjang masa suram itu, juga perdebatan ideologi antara sosialisme, liberalisme, pragmatisme, dan komunisme.

Lu Xun bertanya: apa yang melanda bangsanya ini? Tak ada jalan lain, ia bergerak melakukan penyadaran. Tiga cerpennya segera beredar, "Buku Harian Seorang Gila", "Obat" dan "Ah Q". Tiga cerpen in menjadi polemik di tahun 1920-an. Cerpen pertama berupa sindiran tentang betapa merosotnya moral masyarakat Cina, Cerpen kedua tentang masuknya mitologi dalam masyarakat cina sampai membuang akal sehat, dan cerpen ketiga, merupakan sindiran mentalitas bangsa Cina yang merasa hebat padahal berada dalam jajahan Barat.

Tulisan-tulisan Lu Xun yang jumlahnya ratusan memang sarat dengan kritik sosial. karyanya selalu mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap fenomena yang mengambrukkan bangsanya. Ia mengkritik habis "orang-orang biasa" sekaligus kaum intelektual yang apatis terhadap masalah besar bangsanya. Ia sekaligus antipenjajahan dan penindasan, dua hal yang dilakukan Barat dan Chiang Kai-sek.
Para peneliti Lu Xun bersetuju bahwa memasuki 1930-an, tulisan penyendiri ini benar-benar dapat digolongkan kiri.

Ia misalnya mulai mengenalkan perjuangan sastra proletar, argumen yang memakai nalar Marx. Ketika meresmikan Liga Penulis Kiri, ia menyatakan komitmennya kepada sastra revolusioner. Ini hal yang luar biasa, karena sebelumnya dia justru anti pada sastra revolusioner. Dalam tulisan, "Jalan Memisah antara Sastra dan Politik", misalnya, ia mengkritik politik. Dalam pandangan Lu Xun, politik itu konservatif karena tujuan politisi hanya mempertahankan status quo dan kepentingan sendiri.
"Ketika revolusi selesai, politisi yang dulunya revolusioner, berubah memakai metode-metode lama yang pernah mereka lawan," sindirnya.


Maka, pembelokan Lu Xun ke Marxisme banyak dikaitkan ahli sebagai kemarahan dan kekecewaan terhadap pembantaian kaum komunis oleh Ciang Kai-shek di kota Guangzhou (Canton).
Tapi, ketika Liga Penulis Kiri dibubarkan Zhou Yang, salah satu petinggi Partai Komunis, Lu Xun melawannya. Terutama ketika Yang mengeluarkan slogan "sastra pertahanan nasional", dan menganggap di luar tema itu adalah "sastra pengkhianat". Dua terminologi ini ditolak Lu Xun, yang tak pernah ingin memonopoli cara kerja sastra. Tapi, meski didukung banyak muridnya, dan mengeluarkan propaganda "sastra perang di masa revolusioner", Lu Xun tetap kalah, dan Liga dibubarkan.


Banyak yang mengatakan, konflik kedua pentolan tokoh sastra ini amat menguras energi. Terbukti, setelah Liga Penulis Kiri dibubarkan. kesehatan Lu Xun kian memburuk. TBC yang menyerangnya kian mengganas dan meminta nyawanya, 19 Oktober 1936.
Setahun kemudian, Jepang masuk. Zhou Yang dan seniman lain melarikan diri ke Shanghai. Tapi konflik kedua orang ini tak reda, karena murid Lu Xun masih terus memasalahkannya. Dan akhirnya Lu Xun menang, ketika surat-surat polemik dan kecamannya atas sikap politik bersastra Yang --semula ditahan dan tak diterbitkan Yang-- dimunculkan oleh Jiang Qing di tahun 1970-an.

Dan Zhou Yang, yang saat itu sangat berkuasa di Partai sebagai Direktur Departeman Propaganda, jatuh. Lu Xun pun kembali melegenda, sebagai "pengabdi" Mao. Padahal, tak ada kartu anggota Partai di tangannya, tak ada kepemihakannya atas Mao. Kesejalanan mereka semata hanya karena "takdir sejarah", yang meletakkan Lu Xun sebagai pemihak kaum proletar, kaum yang juga selalu menjadi "mata tombak" pemikiran Mao.

(Aulia A Muhammad)

Komentar

Postingan Populer