Siapa Pantas Pimpin Indonesia di Perang Dunia V?

Perang besar yang melibatkan para negara raksasa diprediksi akan kembali terjadi, Perang Dunia V. Saya lebih suka menyebutnya Perang Dunia V, bukan Perang Dunia III seperti yang sering disebut. Pertanyaan besarnya, siapa yang layak memimpin Indonesia di tengah potensi terjadinya Perang Dunia V? 

Sebelum masuk lebih jauh, saya akan paparkan lebih dahulu kenapa saya sebut Perang Dunia V. Untuk mempermudah membaca tulisan geopolitik ini, jika bingung langsung lihat kembali peta di bawah ini.

Perang Dunia I
Penyebutan Perang Dunia sebetulnya mengacu pada perang besar yang terjadi mulai tahun 1.900 (Abad 20). Saya sangat setuju dengan PK Ojong yang menyebut Perang Dunia I sebagai Perang Eropa. Faktanya, Perang Dunia I terpusat di negara-negara Eropa. Hanya saja, saat itu koloni Eropa tersebar di seluruh pelosok dunia, sehingga Perang Eropa lalu disebut sebagai Perang Dunia.
Perang Eropa atau Perang Dunia I bermula pada 28 Juni 1914 dan berakhir pada 11 November 1918. Secara sederhana, 5 dampak dari terjadinya Perang Eropa adalah

1. Kehancuran sistem ekonomi, politik dan industri Eropa (Poros Monarki).

2. Kemenangan 3 basis kekuatan utama Yahudi Eropa ada di Inggris dan Perancis terhadap Eropa (Poros Kapitalisme)

3. Revolusi Komunis oleh kelompok Yahudi Rusia (Poros Komunisme).

4. Benih kelahiran Fasis di Jerman, Italia dan Kekaisaran Jepang (Poros Fasisme).

5. Benih kelahiran Pan Islamisme di negara-negara Islam dari Pantai Utara Afrika, Timur Tengah hingga Hindia Belanda (Poros Islamisme).

Singkatnya, Perang Eropa atau Perang Dunia I menggantikan Kedigdayaan Monarki Eropa dengan Kapitalisme, Komunisme, Fasisme dan Islamisme.

Kelahiran 4 kekuatan baru itu sangat patut dipahami. Sebelum Perang Eropa (Perang Dunia I), seluruh dunia berada dalam naungan Kolonialisme Eropa. Perang Eropa (Perang Dunia I) memberikan kesempatan terjadinya kebangkitan kelompok-kelompok di luar Eropa.

Perang Dunia II
Tak sampai 20 tahun sejak berakhirnya Perang Eropa (Perang Dunia I), 4 kekuatan telah mencapai puncaknya.

Pada tahun 1928, Stalin memproklamirkan The Great Turn yang menyatukan seluruh komando Komunisme Uni Soviet. Pada tahun 1933, Yahudi bersatu mendeklarasikan Kapitalisme Sentralistik dengan ajaran Keynesiannya. Kapitalisme Sentralistik ala Keynesian yang diusung Yahudi melahirkan Sistem Perbankan Terpusat (Bank Sentral).

Pada tahun yang sama, 1933, kekuatan Fasisme Jerman mengalami kebangkitan yang kemudian diikuti dengan Italia dan Jepang. Lalu pada tahun 1936, Pan Islamisme juga memasuki tahap penyatuan.

Dari 4 kekuatan itu, Kapitalisme, Komunisme dan Fasisme telah mencapai puncak menjelang 1939, sedangkan Islamisme belum. Ketegangan meningkat di Eropa dan Asia. Komunisme mulai merasuk negara-negara Eropa Timur. Fasisme memiliki sejumlah basis di Eropa seperti Jerman, Italia, Hungaria ditambah Jepang yang mulai mendominasi Asia Timur dan Asia Tenggara. Markas utama Kapitalisme di Eropa dan daerah-daerah koloni di Asia dan Afrika diganggu oleh ekspansi Komunisme dan Fasisme.

Pada 1939, dimulai Perang Dunia II antara Kapitalisme dengan Fasisme. Semula, Komunisme di bawah Stalin tak ingin ikut serta dalam perang tersebut. Namun terbentuknya Poros Axis (Jerman, Italia, Jepang) mengganggu kekuatan Komunisme Uni Soviet di Asia. Dominasi Yahudi di pemerintahan Uni Soviet juga memberi desakan internal agar Uni Soviet berkoalisi dengan Yahudi Eropa (Kapitalisme). Lalu Uni Soviet bergabung dengan kelompok Kapitalisme untuk melawan Fasisme dan Poros Axis.

Koalisi Kapitalisme dan Komunisme mengalahkan Fasisme yang sekaligus menjadi akhir Perang Dunia II di tahun 1945. Berakhirnya Perang Dunia II mempertajam ketegangan antara Kapitalisme dengan Komunisme. Sementara Islamisme berkembang secara paralel membentuk Liga Arab pada 1945.

Perang Dunia II telah membuat organisasi Komintern (Komunis Internasional) dibubarkan oleh Uni Soviet pada 1943. Kelompok Kapitalisme melihat pembubaran Komintern sebagai degradasi kekuatan Komunisme Uni Soviet di bawah Stalin. Komintern adalah organisasi yang mewadahi seluruh negara-negara Komunis se-Dunia. Sementara Uni Soviet (Komunis) dan AS (Kapitalis) adalah pemenang Perang Dunia II. Degradasi Komunisme Uni Soviet dengan pembubaran Komintern disambut AS dengan membentuk NATO bersama Eropa pada 1949.

Secara sederhana, 5 dampak dari terjadinya Perang Dunia II adalah

1. Kekalahan Poros Fasisme.

2. Pembubaran Komintern dan Ekspansi Uni Soviet ke Eropa Timur, Afrika, Asia, Amerika Latin (Poros Komunisme).

3. Penyatuan Poros Yahudi Kapitalis lintas Atlantik Utara membentuk NATO (Poros Kapitalisme).

4. Berdirinya Liga Arab (Poros Islamisme).

5. Kelahiran negara-negara eks koloni Eropa di Asia, Afrika, Amerika Latin (Poros Eks Kolonial).

Singkatnya, kekalahan Poros Fasisme di Perang Dunia II melahirkan 4 Kekuatan, yaitu Komunisme, Kapitalisme, Islamisme dan Eks Kolonial.

Perang Dunia III (Perang Dingin)
Berakhirnya Perang Dunia II dengan pemenang AS dan Uni Soviet menciptakan ketegangan antara keduanya. Pemicu utamanya adalah pembagian Jerman Barat dan Jerman Timur. Dampak dari pembagian Jerman Barat dan Jerman Timur adalah pembagian wilayah Eropa Barat dan Eropa Timur. Sementara di sisi lain, muncul 2 poros baru, yaitu Liga Arab (Islamisme) dan negara-negara eks kolonial.

Sebetulnya, pasca Perang Dunia II, Uni Soviet dan AS bisa saja melakukan perang terbuka untuk menentukan pemenang atas dunia. Namun hal itu tidak dilakukan, karena akan sangat menguntungkan 2 poros baru yang baru lahir, Poros Islamisme (Liga Arab) dan Poros Eks Kolonial.

Pertarungan 2 Raksasa hanya akan menghasilkan 2 Raksasa yang rapuh, sehingga menguntungkan Calon Raksasa yang masih muda untuk mengambil tahta Dunia.

Itulah kenapa apa yang disebut Perang Dingin tidak dilakukan secara terbuka oleh Uni Soviet dan AS. Pada intinya, Perang Dingin adalah perang Uni Soviet dan AS di negara-negara Poros Islamisme dan Poros Eks Kolonial. Tujuannya jelas untuk menghancurkan potensi berkembangnya Poros Islamisme dan Poros Eks Kolonial menjadi Raksasa.

Untuk menghancurkan keutuhan Liga Arab, Poros Kapitalisme (Yahudi Eropa dan AS) mendukung berdirinya Israel di Timur Tengah. Kehadiran Israel di tengah-tengah area Liga Arab menimbulkan konflik berkepanjangan. Konflik Israel dan Liga Arab memuncak pada 1948, saat kemerdekaan Israel dan memicu berdirinya NATO pada 1949. NATO dibentuk untuk menyatukan kekuatan Yahudi AS dan Eropa sekaligus untuk melindungi Israel dalam konflik dengan Liga Arab. Dukungan NATO pada Israel mempertajam konflik dengan Liga Arab dan memicu Krisis Terusan Suez pada 1956. Pada Krisis Suez, Mesir memimpin konflik dengan dukungan dari Uni Soviet, sedangkan Israel didukung NATO (Yahudi AS dan Eropa).

Bermula dari kehadiran Israel yang dibacking NATO, menghasilkan Krisis Suez, Perang 6 Hari, Perang Yom Kippur dan sebagainya. Hasil dari mendirikan negara Israel ke tengah-tengah wilayah Liga Arab, memporak-porandakan keutuhan Liga Arab. Untuk menghancurkan Liga Arab, AS melalui NATO membacking Israel, Uni Soviet membacking negara-negara Liga Arab.

Sekarang kita bahas pola yang dipakai AS dan Uni Soviet untuk menghancurkan Poros Eks Kolonial. Negara-negara Eks Kolonial Eropa terbentang dari Afrika, Asia hingga Amerika Latin. Afrika tidak menjadi fokus AS dan Uni Soviet karena konflik Liga Arab dan Israel otomatis juga mematikan Afrika. Perlu diketahui, negara-negara kuat di Afrika terletak di bagian Utara Afrika yang memang dominan Islam dan tergabung dalam Liga Arab. Perang Uni Soviet dan AS di konflik Liga Arab dan Israel pada akhirnya juga menghancurkan Afrika.

Dalam menghancurkan Eks Kolonial di Asia, Uni Soviet dan AS memecah Asia menjadi 2 area, Asia Timur dan Asia Tenggara. Asia Timur meliputi Jepang, Korea, Taiwan. Sebetulnya fokus utama perang Uni Soviet dan AS untuk Asia adalah pada area Asia Timur. Perang Uni Soviet dengan AS di Asia Timur bermula dari Perang Korea Utara dan Selatan pada 1950 – 1953. Perang Korea Utara dan Korea Selatan lalu memicu konflik berantai di China, Taiwan dan Jepang yang pada akhirnya menghancurkan potensi Poros Asia Timur.

Faktor yang membuat Uni Soviet dan AS lalu melirik perang di Asia Tenggara adalah terbentuknya Konferensi Asia Afrika (KAA) I pada 1955. KAA yang menyatukan sejumlah negara eks kolonial Asia dan Afrika berpotensi menjadi poros baru jika tidak dihadang. Maka dimulailah Perang Vietnam pada 1959 untuk menciptakan situasi konflik berkepanjangan di Asia Tenggara untuk menghancurkan Poros KAA.

Patut dimaklumi, Liga Arab hancur lebur akibat konflik dengan Israel yang dibacking NATO. Munculnya KAA dari sejumlah negara di Asia Tenggara membuat sebagian besar negara Liga Arab bergabung ke KAA. Uni Soviet dan AS melihat kemunculan KAA berbahaya dan harus dibuat Layu Sebelum Berkembang. Perang Vietnam yang berlangsung dari 1959 hingga 1975 berhasil menghancurkan kebangkitan Poros Eks Kolonial di Asia dan Afrika. Bahkan Gerakan Non Blok (kelanjutan KAA) yang muncul pada 1961 pun, saat itu juga dapat dikatakan mandul akibat Perang Vietnam. Perang Uni Sovet dan AS di Asia Tenggara berhasil menghancurkan potensi Poros Eks Kolonial Asia Tenggara (dan Afrika eks Liga Arab).

Selain itu, Uni Soviet dan AS juga menghancurkan potensi munculnya negara-negara eks kolonial di Amerika Latin (Poros Amerika Latin). Pintu masuknya adalah dibukanya Krisis Kuba pada 1961 melalui Invasi Teluk Babi oleh AS. Perang AS melawan Kuba yang dibacking Uni Soviet meluas hingga ke negara-negara Amerika Latin. Hasil dari perang AS dan Uni Soviet di Kuba menghancurkan potensi Poros Amerika Latin.

Perang Dingin berlangsung sejak 1948 hingga 1991 (kurang lebih 45 tahun). Perang Dingin sebetulnya nama yang kurang tepat, karena sejatinya Perang Dingin adalah Perang Dunia III. Perang Dingin atau Perang Dunia III berlangsung selama 45 tahun dengan cakupan wilayah yang jauh lebih luas dari Perang Dunia II. Perang Dingin atau Perang Dunia III terjadi mulai dari wilayah Liga Arab (Utara Afrika hingga Timur Tengah), Asia Timur, Asia Tenggara dan Amerika Latin.

Tak hanya itu, Perang Dingin atau Perang Dunia III juga telah menghabiskan kekuatan Uni Soviet. Pola sentralistik yang dipakai Uni Soviet dalam mengelola negara-negara komunis pada akhirnya menghancurkan ekonomi dan politik Uni Soviet. Dalam Perang Dingin atau Perang Dunia III, Uni Soviet juga mencaplok negara-negara sasaran menjadi satelit Uni Soviet, sehingga menggerogoti ekonomi. Berbeda dengan koalisi AS dan Eropa (NATO) yang tidak mencaplok negara sasaran, sehingga tidak menghancurkan ekonomi. Hasil dari Perang Dingin atau Perang Dunia III juga menghancurkan Poros Komunisme (Uni Soviet).

Secara sederhana, 6 dampak dari terjadinya Perang Dunia III adalah
1. Kemenangan Yahudi AS dan Eropa (Poros Kapitalisme).
2. Runtuhnya Uni Soviet (Poros Komunisme).
3. Runtuhnya Liga Arab (Poros Islamisme).
4. Hancurnya potensi terbentuknya Poros Asia Tenggara (Poros Eks Kolonial).
5. Hancurnya potensi terbentuknya Poros Asia Timur (Poros Eks Kolonial).
6. Hancurnya potensi terbentuknya Poros Amerika Latin (Poros Eks Kolonial).

Perang Dunia IV
Runtuhnya Liga Arab pada Perang Dingin atau Perang Dunia III, tidak serta merta menghancurkan kekuatan negara-negara Islam (Poros Islamisme). Perang Dingin atau Perang Dunia III menghancurkan kesatuan dan keutuhan organisasi negara-negara Islam (Liga Arab). Pasca runtuhnya Liga Arab, masih menyisakan negara-negara Islam kuat seperti Irak, Iran, Libya dan Mesir.

Perang Dingin atau Perang Dunia III telah mengabsahkan kemenangan Yahudi As dan Eropa (Poros Kapitalisme). Kemenangan Kapitalisme berarti tiba saatnya memacu industrialisasi, liberalisasi dan kapitalisasi. Sayangnya, kemenangan Kapitalisme atas Planet Bumi tidak diiringi dengan penguasaan sumber daya alam yang otonom.

Yahudi AS dan Eropa menyadari bahwa sumber daya alam yang dibutuhkan Kapitalisme terbentang dari Afrika Utara hingga Indonesia. Dan entah kebetulan atau tidak, dominasi ideologi yang dianut masyarakat Afrika Utara, Timur Tengah hingga Indonesia adalah Islam. Sistem pemerintahan yang digunakan masyarakat Afrika Utara, Timur Tengah hingga Indonesia bukan sistem Demokrasi. Seperti kita ketahui, sistem Demokrasi adalah sistem yang paling menyuburkan industrialisasi, liberalisasi dan kapitalisasi.

Oleh sebab itu, Yahudi AS dan Eropa (Poros Kapitalisme) melanjutkan perang baru untuk membebaskan tanah Sumber Daya Alam. Saya sebut sebagai Perang Dunia IV atau lebih tepatnya, Perang ke Dunia Islam. Benih Perang Dunia IV sudah terlihat dari perang Afghanistan pada 1979, ketika itu masih kompetisi antara AS dan Uni Soviet. Perang Irak dan Iran pada 1980 juga menjadi pintu masuk AS untuk memerangi Dunia Islam (Poros Islamisme).

Namun campur tangan nyata AS dalam Perang Dunia IV dimulai pada Perang Irak dan Kuwait tahun 1990 (Perang Teluk II). Perang Irak dan Iran pada tahun 1980 sering disebut Perang Teluk I. George Bush adalah sosok yang merancang Perang Dunia IV untuk memerangi Dunia Islam (merebut tanah Sumber Daya Alam).

George Bush telah menjabat sebagai Wakil Presiden AS pada 1981 – 1989 (2 Periode), lalu lanjut menjadi Presiden AS pada 1989 – 1993 (1 Periode). Sejak menjabat Wakil Presiden AS, George Bush aktif mendukung keterlibatan AS pada Perang Irak – Iran. Dan ketika menjabat Presiden AS, George Bush memulai Perang Dunia IV pada Perang Irak – Kuwait (Perang Teluk II) tahun 1990.

Sayangnya, George Bush tidak berhasil lanjut menjabat Presiden AS di periode 2. Perang Dunia IV pun bergerak lebih lambat. Pada masa Presiden Clinton 1993 – 2001, AS lebih banyak mendanai Demokratisasi ketimbang Invasi. Keterlibatan AS pada masa Bill Clinton hanya terjadi di Afghanistan dan Sudan. Patut dipahami mengingat Bill Clinton berasal dari Partai Demokrat yang cenderung melakukan ekspansi secara damai.

Namun demikian, cara damai masa Clinton bukan berarti tidak ada kepentingan Yahudi AS dan Eropa di belakangnya. Bill Clinton mendapat sokongan dana dari Lynn Forester de Rothschild. Semasa menjabat Presiden AS, terlihat kebijakan ekonomi AS yang mencoba merangkul Asia. Salah satunya dengan menggandeng James Riyadi yang juga menjadi pendukung Bill Clinton pada masa kampanye 1992 dan 1996. Pada tahun 1997, cukup ramai disorot soal Lippo Gate di AS. Lippo Gate adalah skandal sokongan dana dari kelompok Riyadi kepada Bill Clinton yang melanggar batas maksimum donasi kampanye AS. Penyokong utama keluarga Clinton (Bill dan Hillary) adalah keluarga Rothschild dan keluarga Riyadi.

Dari kedekatan Clinton dengan James Riyadi ini, lalu keduanya aktif menyokong gerakan Demokratisasi Indonesia. Rothschild, AS, Clinton dan keluarga Riyadi berperan aktif menjatuhkan Orde Baru untuk kepentingan penguasaan sumber daya alam.

Pemerintahan Clinton lebih fokus mendorong demokratisasi Asia ketimbang melanjutkan Perang Bush di Timur Tengah. Tujuannya sama, demokratisasi sistem dan de-Islamisasi area pantai Utara Afrika hingga Indonesia.

Ketika George W Bush menjadi Presiden AS tahun 2001, Perang Dunia IV dilanjutkan. Tragedi WTC 11 September 2001 menjadi pintu masuk Bush menyerang Afghanistan melalui AS dan NATO. Setelah Afghanistan, AS dan Inggris melanjutkan invasi ke Irak pada 2003, berlangsung hingga 2011 (Perang Teluk III). Perang berlarut-larut di kawasan Timur Tengah lalu memicu apa yang disebut Arab Spring. Arab Spring adalah gelombang protes di negara-negara Arab. Arab tidak memiliki musim semi (Spring). Istilah Arab Spring digunakan sebagai bahasa komunikasi Yahudi untuk mendorong harapan akan kebebasan Arab.

Arab Spring dimulai pada masa pemerintahan Obama sekitar tahun 2010. Berasal dari Partai Demokrat, Obama tak bisa melanjutkan program Demokratisasi dan De-Islamisasi dengan cara invasi. Ketika diperlukan invasi, NATO yang turun tangan, seperti ketika menyerang Libya, AS tidak ikut campur, tapi NATO turun tangan. Obama menghentikan Perang Irak pada 2011 setelah sebelumnya memulai program baru, yaitu Arab Spring.

Gelombang protes sipil di wilayah Arab atau Arab Spring terjadi secara cepat. Arab Spring dimulai pada tahun 2010. Dalam beberapa tahun, Arab Spring menggoyang 18 negara Islam seperti Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, Suriah, Bahrain dan sebagainya. Arab Spring berhasil menggoyang dan mendemokratsasi sejumlah negara Islam. Mulai dari Perang Teluk (I, II, III), Perang Afghanistan, Arab Spring di 18 Negara Islam, Invasi Libya, krisis Mesir, krisis Suriah dan sebagainya, Timur Tengah luluh lantak.

Sejak dimulai oleh Bush, Islam di Timur Tengah kini tidak lagi mendominasi sistem politik dan ekonomi, melainkan menjadi kepercayaan saja. Perang Dunia IV dapat dikatakan berhasil mencapai target, yaitu demokratisasi dan de-Islamisasi negara-negara Islam. Kini hanya tersisa sejumlah negara Islam saja yang masih menjadi ganjalan Yahudi AS dan Eropa, seperti Iran dan Pakistan.

Di sisi lain, fokus Yahudi AS dan Eropa (Poros Kapitalisme) memerangi Dunia Islam pada Perang Dunia IV, telah melahirkan potensi poros baru. Negara-negara yang memiliki kekuatan ekonomi kokoh namun telah dikalahkan oleh serangkaian Perang Dunia I hingga IV membentuk poros baru. Negara-negara itu adalah China dan Rusia yang kini membentuk poros Asia Utara. Poros Asia Utara kini menggandeng Iran sebagai benteng pagar Barat dan Korea Utara sebagai benteng pagar Timur. Poros Asia Utara juga tengah melobi Asia Tenggara, khususnya Indonesia untuk menjadi benteng pagar Selatan.

Secara sederhana, 3 dampak Perang Dunia IV (Perang ke Dunia Islam) adalah
1. Kemenangan Yahudi AS dan Eropa (Poros Kapitalisme) terhadap Poros Islamisme.
2. Kelahiran koalisi China, Rusia, Iran dan Korea Utara (Poros Asia Utara).
3. Potensi bergabungnya Indonesia dan Asia Tenggara ke Poros Asia Utara.

Perang Dunia V
Terbentuknya koalisi China dan Rusia membentuk Poros Asia Utara sangat mengkhawatirkan Poros Kapitalisme (Yahudi AS dan Eropa). Apalagi, Poros Asia Utara berhasil menggandeng Iran untuk mejaga pagar Barat dan Korea Utara untuk menjaga pagar Timur.

Untuk memperkuat pagar Timur, China kini tengah menawarkan Korea Utara dan Taiwan kembali masuk menjadi provinsi China. Baik Korea Utara maupun Taiwan tengah mempertimbangkan tawaran China tersebut.

Untuk memperkuat pagar Selatan, China saat ini tengah menggandeng Asia Tenggara. Terbentuknya CAFTA (China ASEAN Free Trade Area) merupakan titik awal upaya Poros Asia Utara menggandeng Asia Tenggara.

China juga telah membangun hubungan dengan Thailand, Kamboja dan Laos untuk memperkuat aliansi pagar Selatan. Kudeta militer Thailand baru-baru ini mendapat dukungan kuat dari China. China mendukung kudeta militer Thailand karena Myanmar dan Vietnam berpotensi direbut oleh Poros Kapitalisme (Yahudi Eropa dan AS).

Myanmar tadinya relasi dekat China mengingat China adalah investor terbesar di Myanmar. Namun demokratisasi Myanmar yang disokong Aung San Suu Kyi telah mengubah politik Myanmar. Kekuatan militer Myanmar yang semula dekat dengan China, kini berpaling ke AS dan Eropa. Myanmar baru saja memutus sepihak sejumlah proyek dan investasi dengan China.

Vietnam baru-baru ini mengadakan kerjasama strategis dengan AS. Thailand yang berada di antara Myanmar dan Vietnam dinilai China dapat mengganggu upaya AS merebut Myanmar dan Vietnam. China bersama Kamboja dan Laos mendukung kudeta militer Thailand guna mengamankan pagar Selatan dari Myanmar dan Vietnam yang mulai pro AS. Thailand memegang peranan penting bagi perbatasan China di pagar Selatan, karena Myanmar dan Vietnam berbatasan langsung dengan China. Dengan menggandeng Thailand, upaya AS menggoyang pagar Selatan China melalui Myanmar dan China dapat dihadang.

Aliansi China dengan Thailand, Kamboja dan Laos telah berhasil mengamankan sisi Timur Laut China Selatan dari ancaman Myanmar dan Vietnam. Namun sisi Barat Laut China Selatan masih belum diamankan. Filipina dan Malaysia Timur (Sabah dan Sarawak) sulit dijadikan aliansi China. Filipina adalah aliansi AS sejak dahulu dan menjadi pangkalan militer AS. Malaysia juga memiliki hubungan dekat dengan AS. Presiden AS, Obama baru-baru ini mengunjungi Malaysia untuk memperkuat aliansi dengan AS. China juga tengah mendekati Malaysia secara serius. Namun secara historis, sosial maupun budaya, China memang sulit membangun aliansi dengan Filipina dan Malaysia.

Oleh karena itu, strategi yang dipakai China untuk menjaga Laut China Selatan dari AS adalah dengan menciptakan konflik Laut China Selatan. China mengklaim seluruh perairan Laut China Selatan adalah milik China. Klaim China atas Laut China Selatan menimbulkan konflik yang melibatkan Vietnam, Filipina, Malaysia, Taiwan, Brunei dan Indonesia. Konflik perbatasan di Laut China Selatan akibat klaim China berpotensi memicu perang fisik. Keberadaan Perang Laut China Selatan akan sangat menguntungkan China. Perang Laut China Selatan akan menyibukkan negara-negara di Laut China Selatan dalam perang, sehingga AS tak bisa manfaatkan jadi pangkalan militer.

Menjaga Laut China Selatan agar tidak jadi pintu masuk AS menyerang China dari Selatan sangat penting. Laut China Selatan adalah pintu masuk menyerang Hong Kong, salah satu basis ekonomi terkuat China saat ini. Mengingat China sulit membangun aliansi di Laut China Selatan, solusi bagi China adalah menciptakan konflik.

Untuk memperkuat pagar Barat Daya, China telah memperkuat hubungan dengan India. India yang tengah berseteru dengan AS akibat penelanjangan diplomat perempuan India oleh AS tengah dimanfaatkan China memperkuat aliansi. Namun demikian, India kelihatannya tidak mungkin masuk dalam Poros Asia Utara karena India adalah anak dari Inggris. Kenapa India saat ini membantu memperkuat hubungan dengan China karena India belum bisa berkutik sebelum Pakistan dan Iran jatuh. India tidak ingin Pakistan mengambil kesempatan menyerang India jika India berkonflik dengan China. Lagipula, Pakistan juga mendapat backing dari China dan Iran, sehingga mustahil bagi India berkonflik dengan China sebelum Pakistan dan Iran jatuh.

Untuk memperkuat pagar Barat Laut, Rusia tengah mengajak Belarusia bergabung kembali menjadi provinsi Rusia. Rusia juga tampak mendukung kudeta militer di Ukraina. Belarusia dan Ukraina, keduanya berbatasan langsung dengan ujung barat Rusia.

Poros Kapitalisme melihat adanya pergerakan cepat dari Poros Asia Utara membangun koalisi baru. Poros Kapitalisme pun melakukan serangkaian upaya untuk mengganggu proses pembentukan Poros Asia Utara.

Untuk mengganggu pagar Barat Laut, Poros Kapitalisme tengah mengganggu Ukraina melalui PBB yang mengecam kudeta militer Ukraina. Potensi yang dapat terjadi adalah adanya operasi menegakkan Demokrasi gaya Poros Kapitalisme oleh AS dan NATO di Ukraina. Namun tentunya, apabila Belarusia berhasil digandeng Rusia, akan dijadikan basis pendukung perang NATO di Ukraina.

Untuk mengganggu pagar Barat, Poros Kapitalisme tengah berupaya keras memicu perang Israel dengan Iran. Namun langkah itu tidak akan dilakukan sebelum Suriah jatuh ke tangan Poros Kapitalisme. Suriah berbatasan langsung dengan Irak, sedangkan Irak berbatasan langsung dengan Iran. Irak telah jatuh ke tangan Poros Kapitalisme hasil perang Irak 2003 – 2011 oleh AS. Tentu saja, Irak akan dijadikan pangkalan militer AS. Untuk mengantisipasi Irak jadi pangkalan militer AS, Iran telah menggandeng Suriah untuk menjadi pemecah pangkalan militer AS dan NATO di Irak.

Semula, NATO hendak melakukan invasi Suriah, namun Rusia mengganjalnya dengan Veto. Adanya kesamaan etnis Rusia pada sebagian penduduk Suriah menjadi alasan kuat Veto Rusia agar NATO tidak invasi Suriah. Gagal melakukan invasi, Poros Kapitalisme kini menggoyang Suriah dengan perang sipil atau perang saudara untuk mengganti pemerintahan Suriah. Jika pemerintahan Suriah jatuh, maka pemerintahan baru akan memutus hubungan dengan Iran. Oleh sebab itu, kunci perang Israel dan Iran terletak pada nasib Suriah. Israel, AS dan NATO baru akan menyerang Iran jika Suriah sudah jatuh ke Poros Kapitalisme (ganti pemerintahan).

Perang Iran – Israel merupakan kunci menghancurkan Pagar Barat Poros Asia Utara. Iran merupakan negara terkuat di bagian barat Poros Asia Utara. Apabila Suriah jatuh, maka Iran akan kalah. Apabila Iran kalah, maka Pakistan juga akan kalah. Kalau Suriah, Iran dan Pakistan sudah jatuh, maka Israel, AS, NATO dan India akan mudah menyerbu China dari sisi Barat dan Barat Daya. Dan India bersama Myanmar akan mampu mengganggu pertahanan China di Thailand.

Untuk memperoleh dukungan masyarakat dunia, Poros Kapitalisme juga telah mengampanyekan Iran dan Pakistan dalam film. Masih ingat film Argo (mengenai Iran) dan Zero Dark Thirty (mengenai Pakistan)? Kedua film ini menceritakan ‘kejahatan’ Iran dan ‘kejahatan’ Pakistan, dimana AS turun tangan memberantas ‘kejahatan’ itu.

Baik Argo maupun Zero Dark Thirty, keduanya masuk nominasi Oscar. Argo malah memenangkan salah satu kategori Oscar. Penyerahan Piala Oscar untuk film Argo dilakukan oleh Michelle Obama (istri Presiden AS). Apakah se-kebetulan itu, Iran saat itu menjadi musuh terbesar AS, lalu film Argo menang Oscar dan istri Presiden AS yang serahkan Piala Oscar?

Tentu saja tidak. Film Argo dan Zero Dark Thirty adalah sebuah bentuk kampanye mencari dukungan masyarakat AS agar AS turun tangan ke Iran dan Pakistan.

Untuk mengganggu pagar Timur, Poros Kapitalisme telah melakukan berbagai upaya. AS telah melakukan transaksi jual beli senjata dengan Taiwan US$ 51 miliar untuk mencegah Taiwan kembali jadi Provinsi China.

Lalu selama 1 dekade terakhir, Hollywood dan Eropa mempromosikan K-Pop (Korean Pop) asal Korea Selatan ke seluruh dunia. Pertukaran pelajar Korea Selatan dengan sejumlah negara di dunia, khususnya Asia Tenggara, juga terjadi secara massal. Tujuannya, mempererat hubungan sosial budaya antara masyarakat Korea Selatan dengan seluruh dunia. Wajar, Korea Selatan kurang disorot dunia selama 20 tahun terakhir. Apabila ada serangan Korea Utara ke Korea Selatan, tentunya masyarakat dunia tidak terlalu ambil pusing. Padahal salah satu syarat Poros Kapitalisme (AS, Eropa, NATO) campuri perang negara lain adalah dengan dukungan masyarakat dunia. Untuk itulah K-Pop dikampanyekan ke seluruh dunia, agar ketika terjadi serangan ke Korea Selatan, dunia mendukung AS bantu Korea Selatan.

Hal yang sama terjadi dengan Jepang dengan kampanye J-Rock (Japanesse Rock) yang sudah dikampanyekan sebelum K-Pop. Sasarannya adalah menjadikan budaya Jepang dan Korea dikenal dan menjadi bagian dari masyarakat dunia. Dengan kampanye besar-besaran J-Rock dan K-Pop, jika terjadi perang di Timur Jauh, dunia akan mendukung AS bantu Korea Selatan dan Jepang.

Tak hanya itu, ingat film terbaru Hollywood berjudul Olympus Has Fallen? Film Olympus Has Fallen mengisahkan soal penyerbuan Korea Utara ke Gedung Putih. Sasarannya jelas, memperkuat asumsi yang telah dibentuk media-media Yahudi bahwa Korea Utara agresif dan ingin menyerang AS. Film Olympus Has Fallen bertujuan mempersiapkan dukungan bahwa AS harus terlibat di perang Korea Utara dan Korea Selatan.

Korea Utara dan Korea Selatan merupakan titik penting untuk masuk ke China. Perang Korea Selatan dengan Korea Utara niscaya terjadi, cepat atau lambat. Sasaran utama Poros Kapitalisme adalah menduduki Korea Utara yang berbatasan langsung dengan China. Tanpa menduduki Korea Utara, pangkalan militer AS di Korea Selatan akan sulit menyerbu China. Sementara Jepang akan ditempatkan AS sebagai basis pendukung Korea Selatan.

Untuk mengganggu pagar Selatan, Poros Kapitalisme terus mendekati Myanmar, Vietnam, Malaysia dan Filipina. AS dan Eropa telah mempererat hubungan dengan Myanmar. AS dan Eropa mengincar proyek gas dan kerjasama pertahanan dengan Myanmar. Myanmar memiliki sejumlah lahan gas yang belum dieksplorasi yang menjadi incaran AS dan Eropa. Itulah kenapa gerakan demokratisasi Aung San Suu Kyi mendapat dukungan kuat dari Hillary Clinton dan McCain, perwakilan-perwakilan Rothschild. Demokratisasi Myanmar pada intinya adalah mengincar proyek gas dan kerjasama menjadikan Myanmar pangkalan militer. India dan Myanmar memiliki proyek pipa gas antar negara yang sedang diincar AS dan Eropa sejak 1980-an. Sementara pemerintahan militer Myanmar sejak dulu dekat dengan China. Sejak muncul gerakan Aung San Suu Kyi yang disokong AS, Eropa dan Rothschild, perlahan-lahan Myanmar beralih dari China.

Poros Kapitalisme juga telah menjalin kerjasama dengan Vietnam untuk melemahkan aliansi China dengan Thailand, Kamboja dan Laos. Dengan menggandeng Myanmar dan Vietnam, Poros Kapitalisme dapat menghambat pagar Selatan Poros Asia Utara (Kamboja, Thailand, Laos).

Posisi India sedang sulit didekati AS karena ada seteru akibat penelanjagnan diplomat perempuan India oleh AS. Namun India yang memiliki proyek pipa gas dengan Myanmar, otomatis bisa dikendalikan AS melalui Myanmar. Apabila terjadi perang di perairan Laut Andaman, India berpotensi mendukung Myanmar dan Poros Kapitalisme. Peperangan Laut Andaman kemungkinan akan melibatkan India, PBB, Vietnam versus China, Thailand, Kamboja, Laos.

Tentu saja, Myanmar akan menjadi pangkalan tentara PBB mengingat ada persoalan etnis Rohingya – Arakan di Myanmar. Perlu diingat juga, Hollywood telah mengampanyekan Myanmar dalam sebuah Film berjudul The Lady. Film The Lady mengisahkan tentang Aung San Suu Kyi, perempuan pejuang Demokrasi Myanmar. Tentu saja, sasaran Hollywood dengan film The Lady adalah merebut simpati dunia terhadap Myanmar. Apabila Myanmar diserang oleh Thailand ataupun China, dunia akan mengutuk serangan itu dan mendukung tentara PBB membantu Myanmar.

Di sisi lain, China cukup lemah di perairan Laut China Selatan. Secara historis, sosial dan budaya, China sulit beraliansi dengan Malaysia Timur (Sabah, Sarawak) dan Filipina. Sementara, Laut China Selatan adalah pintu masuk menyerang Hong Kong, salah satu basis ekonomi terkuat China. Solusi yang dipakai China adalah menciptakan konflik perbatasan di Laut China Selatan. China mengklaim seluruh perairan Laut China Selatan adalah bagian dari China. Konflik Laut China Selatan melibatkan China, Vietnam, Malaysia, Filipina, Indonesia dan Taiwan. Harapan China, tentu saja terjadi Perang Laut China Selatan agar Laut China Selatan gagal jadi pintu masuk AS menyerang dari selatan. AS saat ini tengah melobi keras Vietnam, Malaysia dan Filipina agar tidak terpancing memasuki Perang Laut China Selatan. AS sudah memiliki kedekatan hubungan dengan Vietnam, Malaysia dan Filipina. Filipina telah menjadi pangkalan militer AS sejak dulu. AS mengharapkan tidak terjadi perang Laut China Selatan agar AS bisa menyerang Hong Kong dari Filipina.

Penting diperhatikan disini bahwa soal Laut China Selatan, China mengharapkan terjadi perang, sementara AS tidak mengharapkan perang.

Dari pemetaan di atas, terlihat bahwa potensi terjadinya peperangan ada di wilayah-wilayah berikut ini :
1. Teluk Persia (Perang Teluk IV) : Israel, NATO, Turki versus Iran, China, Rusia.
2. Laut Kuning : Korea Selatan, Jepang, AS versus Korea Utara, China, Rusia.
3. Laut Andaman : Australia, PBB, Myanmar, India, Vietnam versus Thailand, Kamboja, Laos, China.
4. Laut China Selatan : Australia, Filipina, AS, Vietnam, Malaysia versus China.
5. Laut Hitam : Turki, NATO, PBB versus Ukraina, Rusia, Belarusia.

Apabila melihat usaha lebih keras yang dilakukan Poros Kapitalisme untuk mengganggu 5 titik perang itu, perang Major akan terjadi pada 3 titik :
1. Teluk Persia (Perang Teluk IV) : Israel, NATO, Turki versus Iran, China, Rusia.
2. Laut Kuning : Korea Selatan, Jepang, AS versus Korea Utara, China, Rusia.
3. Laut Andaman : Australia, PBB, Myanmar, India, Vietnam versus Thailand, Kamboja, Laos, China.

Lokasi perang di 3 titik tersebut sejalan dengan kampanye yang dilakukan besar-besaran melalui Hollywood. Untuk mencari dukungan perang Teluk Persia, telah diluncurkan 2 film berjudul Argo dan Zero Dark Thirty. Untuk perang laut Andaman, telah diluncurkan film The Lady. Untuk perang Laut Kuning, telah dikampanyekan budaya J-Rock dan K-Pop secara besar-besaran.

Sorotan media massa dan pembicaraan masyarakat dunia juga terkonsentrasi pada 3 lokasi perang tersebut. Sisanya, 2 titik perang akan menjadi lokasi perang Minor yaitu :

1. Laut China Selatan : Australia, Filipina, AS, Vietnam, Malaysia versus China.
2. Laut Hitam : Turki, NATO, PBB versus Ukraina, Rusia, Belarusia.

Perang Laut China Selatan bertujuan untuk memecah konsentrasi Asia Tenggara dari upaya AS menjadikan basis militer. Sementara Perang Laut Hitam bertujuan untuk memecah konsentrasi Rusia pada perang Teluk Persia.

Diperkirakan, 3 Perang Major dan 2 Perang Minor ini akan dilakukan secara bersamaan, menunggu waktu yang tepat untuk dimulai.

Kenapa harus bersamaan?
Target Poros Kapitalisme kali ini adalah negara-negara dengan kekuatan yang besar. China, Rusia, Iran dan Korea Utara, keempatnya memiliki kekuatan militer yang besar dan bersenjatakan nuklir. Perlu diingat, sasaran utamanya adalah menjatuhkan China dan Rusia yang dibantu Iran dan Korea Utara.

Sementara dari Poros Kapitalisme, kekuatan yang setara hanya dimiliki AS, NATO dan Israel. Turki dan Jepang berada di level yang berbeda kekuatan militernya.

Iran didukung China dan Rusia, kita anggap memiliki 3 kekuatan.
Korea Utara didukung China dan Rusia, kita anggap memiliki 3 kekuatan.

Israel didukung NATO, kita anggap memiliki 2 kekuatan.
Korea Selatan didukung AS, kita anggap memiliki 2 kekuatan.

AS tidak mungkin bantu NATO backing Israel karena jarak terlalu jauh. Begitu pula, NATO tidak mungkin bantu AS backing Korea Selatan karena jarak terlalu jauh.

Artinya, jika Perang Teluk Persia dilakukan secara terpisah, akan menjadi 3 (China, Rusia, Iran) lawan 2 (Israel, NATO). Begitu pula, jika Perang Laut Kuning dilakukan terpisah, akan menjadi 3 (China, Rusia, Korea Utara) lawan 2 (AS, Korea Selatan).

Poros Kapitalisme akan kalah pada 2 perang itu apabila Perang Teluk Persia dan Perang Laut Kuning dilakukan terpisah. Lain halnya apabila Perang Teluk Persia dan Perang Laut Kuning dilakukan bersamaan.

Jika Perang Teluk Persia dan Laut Kuning dilakukan bersamaan, peta kekuatan menjadi 3 (AS, NATO, Israel) lawan 4 (China, Rusia, Iran, Korea Utara). Mengingat NATO juga mencakup Inggris dan Perancis, keduanya memiliki Nuklir, maka kekuatan menjadi lebih berimbang.

Meski lebih berimbang, tapi peta kekuatan masih kalah 1 poin, karena itu Poros Kapitalisme memecah perang menjadi 5 titik perang. Perang Major di 3 titik, Perang Minor di 2 titik.

Pertanyaannya kemudian adalah dimana posisi Indonesia dalam Perang Dunia V?
Indonesia memiliki peranan penting dalam situasi Perang Dunia V. Aspek yang membuat Indonesia penting adalah Penduduk Muslim, Sumber Daya Alam dan Wilayah.

Faktor 1 : Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, tentu saja Indonesia akan terseret wacana Perang Teluk Persia. Mulai dari isu solidaritas Suriah hingga Iran akan mengambil peranan pada masyarakat Indonesia. Pada debat Capres kemarin, Jokowi masih menjual isu Palestina, itu menunjukkan Jokowi tak paham isu global. Wacana dunia Islam saat ini tengah menyoroti Suriah dan Iran, bukan Palestina. Tentu saja, kebijakan Indonesia terkait hubungan solidaritas Muslim ke Suriah maupun Iran (yang pasti terjadi) harus menjadi sikap yang tepat secara politik internasional. Salah menyikapi kebijakan Luar Negeri terhadap wacana solidaritas Muslim akan berakibat fatal bagi kestabilan pemerintahan Indonesia. Kenapa? Sederhana, karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim.

Faktor 2 : Sebagai negara dengan Sumber Daya Alam melimpah, Indonesia tentu akan menjadi sasaran utama pasca Perang. Perang mana pun, akan menghabiskan sumber daya yang dimiliki negara peserta perang. Maka pasca perang berakhir, baik Poros Asia Utara maupun Poros Kapitalisme akan membutuhkan Indonesia untuk pemulihan. Maka itu, sangat wajar melihat upaya China, Rusia, Iran, Korea Selatan, AS, Jepang juga Eropa, berupaya keras membangun hubungan ekonomi dengan RI. Karena siapapun yang menang di Perang Dunia V, membutuhkan sumber daya alam Indonesia untuk memulihkan ekonominya. Ada 3 pilihan bagi siapa pun yang memimpin Indonesia nantinya, Pro China, Pro AS atau Pro Indonesia? Apa yang dimaksud Pro Indonesia adalah, peluang Perang Dunia V disikapi Indonesia dengan tidak memihak China maupun AS. Sasarannya adalah, pasca Perang Dunia V, Indonesia akan berdiri setara dengan China atau AS ketika mereka membutuhkan sumber daya alam Indonesia. Akan lebih bagus jika memilih kebijakan yang Pro Indonesia, sehingga Indonesia berpeluang menjadi negara dengan ekonomi terkuat pasca Perang Dunia V.

Faktor 3 : Sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara, tentunya potensi perang di Laut Andaman dan Laut China Selatan akan bersentuhan dengan Indonesia. Indonesia tidak perlu ikut dalam perang itu, tapi dipastikan akan terkena dampak peperangan di Laut Andaman dan Laut China Selatan. Perang Laut Andaman dan Laut China Selatan otomatis akan memasuki wilayah Indonesia. Tentu saja, kebijakan pemerintah Indonesia nantinya dalam menyikapi 2 peperangan di wilayah Indonesia ini sangat penting. Terlalu banyak diam menyikapi peperangan negara lain yang masuk ke area Indonesia akan membuat Indonesia lemah dan mudah diobok-obok. Terlalu aktif menyikapi peperangan negara lain yang masuk ke area Indonesia juga berbahaya, bisa menyeret Indonesia dalam perang. Kemampuan tarik ulur dan kesetaraan diplomasi akan menentukan posisi Indonesia di mata dunia ke depannya, khususnya pasca Perang. Siapa pun pemimpinnya, harus mampu menyikapi Perang Dunia V dengan baik.

Lalu pertanyaan pentingnya adalah, kapan Perang Dunia V itu akan terjadi?
Ada 5 faktor penting :

1. Perang Teluk Persia : Kejatuhan Suriah.
2. Perang Laut Kuning : Korea Selatan Diserang.
3. Perang Laut Andaman : Memanasnya situasi Myanmar dan Thailand.
4. Perang Laut China Selatan : Memanasnya perebutan pulau-pulau di Laut China Selatan.
5. Perang Laut Hitam : Memanasnya eksistensi Kudeta Militer Ukraina dengan PBB.

Beberapa analisa dan spekulasi mengatakan :
1. Kejatuhan Suriah akan terjadi pada 2015
2. Konflik soal Suriah melibatkan Iran, Pakistan, Turki, Israel, Irak berlangsung antara 2015 – 2016.
3. Perang Iran – Israel pecah pada paruh kedua tahun 2016 dipicu serangan Iran kepada Israel.
4. Uni Eropa dan NATO kecam serangan Iran kepada Israel, NATO bersiap bantu Israel melawan Iran.
5. China dan Rusia memanas, mempersiapkan bantuan kepada Iran melawan NATO – Israel.
6. Partai Republik menang di AS dan Presiden AS tahun 2017 – 2021 berasal dari Partai Republik.
7. Korea Selatan diserang oleh Korea Utara di 2017.
8. AS turun tangan bantu Perang Iran – Israel dan Perang Korea Utara – Korea Selatan antara 2017 – 2018.

Demikian gambaran alur yang akan terjadi menurut sejumlah analisa dan spekulasi para pengamat global. Perang Dunia V, atau yang orang umumnya sebut Perang Dunia III akan segera terjadi, sekitar 2017 – 2018.

Artinya, potensi pecah Perang Dunia V akan terjadi pada masa pemerintahan Indonesia 2014 – 2019. Saya sudah paparkan 3 faktor penting yang dimiliki Indonesia terkait Perang Dunia V.

Siapapun pemimpinnya, siapapun yang menang, harus memahami potensi terjadinya Perang Dunia V pada 2017 – 2018. Masyarakat juga harus mengetahui hal ini sebelum menentukan pilihan pada 9 Juli 2014. Perang besar di depan mata. Indonesia akan berada di 2 titik perang dari segi perairan. Indonesia akan berada di 3 titik perang jika dihitung dengan potensi adanya solidaritas Muslim ke Suriah atau Iran. Dan yang terpenting, Sumber Daya Alam Indonesia akan menjadi kebutuhan utama para pemenang Perang.

Kepada siapa Indonesia mau berpihak? Poros Asia Utara (China, Rusia)? Atau Poros Kapitalisme (Israel, AS, NATO)?

Saya lebih suka jika Indonesia memilih tidak memilih salah satu dari 2 poros itu. Saya lebih suka jika Indonesia memilih Poros Indonesia.

Komentar

Postingan Populer