JeJeTeJe: Janji-janji Tinggal Janji

Jejeteje. ungkapan ini kalau tidak salah berawal dari syair sebuah lantunan lagu: “Janji-janji tinggal janji, bulan madu hanya mimpi...”

Entah siapa yang mempopulerkan istilah ini, tapi kemudian secara cepat menjamur ke seluruh segmentasi masyarakat. Ya, coba saja kita lihat, di kalangan remaja masalah yang paling klise, bahwa kata ini erat hubungannya dengan asmara. Cara jitu menggaet pasangan memang dengan mengumbar janji, salah satunya.
Jika di kalangan para pedagang, janji promosi produk dengan iklan yang aduhai serta janji hadiah dan bonus sangat menggoda konsumen. Di kalangan politisi ini lebih rame, para calon pemimpin pun umbar janji untuk mendapatkan simpatisan pemilih. Memang konon janji merupakan senjata ampuh untuk keberpihakan. Dengan janji, mimpi seakan-  akan berlandaskan realita, harapan seakan terbuka, kehidupan seakan lebih mantap, dan masa depan tampak lebih cerah.

Definisi janji dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah perkataan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat sesuatu.

Hidup manusia memang tidak pernah lepas dari janji sejak dari mulai Alam ruh, dimana manusia mengikat “perjanjian” dengan Allah SWT. “Dan (ingatlah),  ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak  Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berFirman) ; “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab, “betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar pada hari kiamat kamu tidak mengatakan : Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keEsaan Tuhan)”. (QS. Al A’raaf, 7 : 172)

Dari Ubay bin ka’ab, Rasullulah SAW bersabda, “Mereka (ruh tersebut) dikumpulkan, lalu dijadikan berpasang-pasangan, baru kemudian dibentuk. Setelah itu mereka pun diajak berbicara, lalu diambil dari mereka janji dan kesaksian. “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”, mereka menjawab, “Benar”. Sesungguhnya Aku mempersaksikan langit tujuh tingkat dan bumi tujuh tingkat untuk menjadi saksi terhadap kalian, serta menjadikan nenek moyang kalian Adam sebagai saksi, agar kalian tidak mengatakan pada hari kiamat kelak. “Kami tidak pernah berjanji mengenai hal itu”. (HR. Ahmad)

Tidak ada perjanjian yang lebih besar dari perjanjian di atas. Dan kita akan diminta pertanggungjawabannya oleh Allah atas apa yang kita ucapkan dulu. Begitu pula dengan bentuk-bentuk perjanjian lainnya.Janji kita terhadap teman, sahabat, orang tua, istri, anak, pimpinan, pekerjaan dan lain sebagainya. Dalam hal yang biasanya dianggap sederhanapun semisal dalam pergaulan seperti berjanji akan datang ke rumah sahabat, atau janji akan dating tepat pada waktu atau jam yang ditentukan, itupun harus kita tepati dan akan diminta pertanggung jawabannya.

Dan bila janji keseharianpun sudah dipertanyakan tanggung jawabnya apalagi janji dalam bentuk pengembanan amanah yang lebih luas, misalnya janji sebuah produk terhadap konsumennya seperti iklan-iklan yang mengumbar janji, atau lebih jauh lagi janji mengemban jabatan, janji pernikahan, atau janji-janji kampanye para pemimpin. Semua ucapan itu menuntut sebuah pembuktian. Lisan memang menjadi godaan yang sangat berat. Karena bukankah semua hal yang kita ucapkan akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah?

Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak memegang janji.” Disebutkan dalam hadits shahih lainnya bahwa “Ciri-ciri orang munafik ada tiga: pertama, apabila ia berbicara ia berdusta; kedua, apabila ia berjanji ia mengingkari; ketiga, apabila diberi amanah ia berkhianat. (HR. Muslim)

Dari hadis tersebut dapat dilihat bahwa janji bukanlah suatu perkara biasa. Tetapi saying seribu saying pada kenyataannya janji sering muncul sebatas ucapan yang begitu saja mudah dilupakan, seolah debu yang tertiup angin atau terhisap vacuum cleaner, hilang lenyap dari pandangan mata, tidak berbekas sama sekali. Padahal kedudukan janji sangat tinggi pertanggung jawabannya di sisi Allah. Dalamhaditspun, orang-orang yang senang mengingkari janji dikategorikan sebagai orang-orang munafik.

Seperti disebutkan dalam ayat, “Orang-orang munafik mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak ada terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.” (QS. Ali Imran, 3 : 167)

Dalam ayat lain Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka. (QS. An Nisaa’, 4 : 145) Na’udzubillah.

Oleh karena itu, mungkin kata-kata “JeJeTeJe” atau janji-janji tinggal janji, adalah sebuah kata pergaulan yang mudah untuk diucapkan ketika seseorang mengingkarinya. Namun konsekwensinya sangatlah berat. Perlulah kiranya kita melatih diri agar tidak senantiasa mengumbar janji, dan simultan dengan selalu melatih diri untuk menepati janji yang kita ikrarkan. Dari hal yang kecil, mulai dari pergaulan sehari-hari, bentuk perjanjian pernikahan, sampai bentuk pengembanan amanah jabatan, apapun itu perlulah kita telaah lebih lanjut, sudahkah janji itu kita penuhi?

Tidaklah lebih baik dari yang menulis ataupun yang membaca, karena yang lebih baik di sisi ALLAH adalah yang mengamalkannya.

Ustaz Erick Yusuf: Pemrakarsa Training iHAQi (Integrated Human Quotient)

Twitter: @erickyusuf

Komentar

Postingan Populer