Ketika Pencuri Melahirkan Polisi yang Menangkapnya
Salah satu tanda bahwa kiamat sudah sangat dekat adalah seperti yang disabdakan Rasulullah saw. tentang adanya seorang budak yang melahirkan tuannya. Banyak ulama yang menafsirkan sebagian dari hadits ini. Di antaranya, adanya anak yang durhaka kepada orang tuanya, tidak jelas lagi antara budak dengan tuannya, dan lain-lain.
Tulisan ini tidak untuk menafsirkan hadits yang mulia seperti di atas. Tidak juga untuk mencandai maksud hadits yang serius ini. Dengan ungkapan yang hampir mirip dengan hadits di atas, saat ini ada fenomena besar di masyarakat , yaitu ketika seorang pencuri melahirkan polisi atau penangkapnya.
Orang tua mana pun, tentu menginginkan anaknya kelak akan berbakti kepadanya. Ia akan hormat kepada orang tuanya, membalas kebaikan sang orang tua sebisa mungkin dengan kemampuan yang dimiliki sang anak.
Tapi, bagaimana jika orang tua yang melahirkan dan membesarkan anak itu adalah seorang pencuri ulung. Dan anak yang dilahirkan dan dibesarkan itu sebagai seorang polisi yang akan menangkap si pencuri yang tidak lain orang tuanya sendiri.
Sang orang tua, mungkin secara spontan akan mengatakan kepada anaknya, “Anakku, kau lahir dari rahimku sendiri. Kau anak kandungku. Kini, kau mau menangkapku, menghukumku, untuk kemudian mempermalukan orang tuamu sendiri ini di tengah perhatian tetangga-tetangga kita. Kamu anak durhaka, anakku! Anak durhaka!”
Kalau sudah begitu, siapa pun sang anak, kemungkinan berada pada posisi sulit. Kalau ia tangkap, ia akan menyakiti hati orang tuanya sendiri, menghukum dan mempermalukan orang tuanya di depan orang banyak. Tapi kalau tidak ia tangkap, itu artinya ia telah berkhianat dengan nilai keadilan dan kebenaran yang universal. Ia juga tidak amanah dengan tugas yang diembannya sebagai aparat penegak hukum.
Jika sang anak menjadi sangat emosional, ia akan menjadi penurut, takut, dan tetap hormat kepada orang tuanya walaupun ia yakin orang tuanya itu memang pencuri kakap. Hatinya menjadi luluh, dan ia pun tergolong setan bisu yang mendiamkan kejahatan di depan matanya. Karena setelah begitu lama bergaul dengan orang tuanya, ia paham betul siapa sebenarnya sang orang tua.
Namun, jika sang anak cerdas, istiqamah dalam kebenaran dan keadilan; ia akan tetap menangkap orang tuanya. Walaupun, ia akan dihina, dicaci maki, bahkan diputuskan hubungan ‘darah’nya oleh orang tuanya. “Mulai saat ini, aku tidak ridha telah melahirkanmu!” ucap si orang tua begitu marah.
Segala cacian, bentakan, dan sumpah serapah dari orang tua yang memang bejat itu sudah pasti akan diterima sang anak. Cuma satu hal yang tidak bisa dilakukan si orang tua kepada anaknya, mengancam si anak dengan memasukkannya kembali ke rahim orang tuanya.
Kini, perkelahian anak dan orang tua akhirnya diketahui para tetangga. Para tetangga hanya bisa terperangah seraya berbisik pelan, “Oh ternyata orang tuanya maling ya. Kirain orang yang terhormat!”
**
Konflik KPK dengan DPR bisa diibaratkan seperti anak dengan orang tuanya. Disaksikan jutaan pemirsa televisi, DPR mengklaim, “KPK adalah anak kandung DPR!”
Tapi, publik hampir tidak ragu lagi untuk menyebut DPR sebagai salah satu sarang mafia. Khususnya di sektor yang paling dituju para mafia: anggaran. Di tempat inilah, sekitar 1.700 trilyun uang ditentukan nasibnya. Dan di sini pula, para mafia bisa saling memahami dan tolong menolong dalam kepentingan bersama mereka.
Jika bisa dikatakan KPK sebagai anak dan DPR sebagai orang tua kandungnya, kata ‘durhaka’ memang tidak lagi pas dialamatkan kepada si anak yang melawan orang tuanya. Atau boleh jadi, memang inilah tanda-tanda jelas kalau kiamat nggak lama lagi datang.
Eramuslim
Tulisan ini tidak untuk menafsirkan hadits yang mulia seperti di atas. Tidak juga untuk mencandai maksud hadits yang serius ini. Dengan ungkapan yang hampir mirip dengan hadits di atas, saat ini ada fenomena besar di masyarakat , yaitu ketika seorang pencuri melahirkan polisi atau penangkapnya.
Orang tua mana pun, tentu menginginkan anaknya kelak akan berbakti kepadanya. Ia akan hormat kepada orang tuanya, membalas kebaikan sang orang tua sebisa mungkin dengan kemampuan yang dimiliki sang anak.
Tapi, bagaimana jika orang tua yang melahirkan dan membesarkan anak itu adalah seorang pencuri ulung. Dan anak yang dilahirkan dan dibesarkan itu sebagai seorang polisi yang akan menangkap si pencuri yang tidak lain orang tuanya sendiri.
Sang orang tua, mungkin secara spontan akan mengatakan kepada anaknya, “Anakku, kau lahir dari rahimku sendiri. Kau anak kandungku. Kini, kau mau menangkapku, menghukumku, untuk kemudian mempermalukan orang tuamu sendiri ini di tengah perhatian tetangga-tetangga kita. Kamu anak durhaka, anakku! Anak durhaka!”
Kalau sudah begitu, siapa pun sang anak, kemungkinan berada pada posisi sulit. Kalau ia tangkap, ia akan menyakiti hati orang tuanya sendiri, menghukum dan mempermalukan orang tuanya di depan orang banyak. Tapi kalau tidak ia tangkap, itu artinya ia telah berkhianat dengan nilai keadilan dan kebenaran yang universal. Ia juga tidak amanah dengan tugas yang diembannya sebagai aparat penegak hukum.
Jika sang anak menjadi sangat emosional, ia akan menjadi penurut, takut, dan tetap hormat kepada orang tuanya walaupun ia yakin orang tuanya itu memang pencuri kakap. Hatinya menjadi luluh, dan ia pun tergolong setan bisu yang mendiamkan kejahatan di depan matanya. Karena setelah begitu lama bergaul dengan orang tuanya, ia paham betul siapa sebenarnya sang orang tua.
Namun, jika sang anak cerdas, istiqamah dalam kebenaran dan keadilan; ia akan tetap menangkap orang tuanya. Walaupun, ia akan dihina, dicaci maki, bahkan diputuskan hubungan ‘darah’nya oleh orang tuanya. “Mulai saat ini, aku tidak ridha telah melahirkanmu!” ucap si orang tua begitu marah.
Segala cacian, bentakan, dan sumpah serapah dari orang tua yang memang bejat itu sudah pasti akan diterima sang anak. Cuma satu hal yang tidak bisa dilakukan si orang tua kepada anaknya, mengancam si anak dengan memasukkannya kembali ke rahim orang tuanya.
Kini, perkelahian anak dan orang tua akhirnya diketahui para tetangga. Para tetangga hanya bisa terperangah seraya berbisik pelan, “Oh ternyata orang tuanya maling ya. Kirain orang yang terhormat!”
**
Konflik KPK dengan DPR bisa diibaratkan seperti anak dengan orang tuanya. Disaksikan jutaan pemirsa televisi, DPR mengklaim, “KPK adalah anak kandung DPR!”
Tapi, publik hampir tidak ragu lagi untuk menyebut DPR sebagai salah satu sarang mafia. Khususnya di sektor yang paling dituju para mafia: anggaran. Di tempat inilah, sekitar 1.700 trilyun uang ditentukan nasibnya. Dan di sini pula, para mafia bisa saling memahami dan tolong menolong dalam kepentingan bersama mereka.
Jika bisa dikatakan KPK sebagai anak dan DPR sebagai orang tua kandungnya, kata ‘durhaka’ memang tidak lagi pas dialamatkan kepada si anak yang melawan orang tuanya. Atau boleh jadi, memang inilah tanda-tanda jelas kalau kiamat nggak lama lagi datang.
Eramuslim
Komentar
Posting Komentar