Wortel
Dua anak kelinci tampak berlari ceria. Mereka begitu gembira karena masing-masing berhasil membawa sebatang wortel segar dari ladang petani. Dalam kegembiraan itu, tiba-tiba seekor kelinci besar menghentikan tingkah riang mereka.
“Ayah?” ucap salah satu dari dua anak kelinci itu agak gugup. Mereka berusaha untuk menyembunyikan wortel yang mereka bawa, tapi tidak berhasil.
“Kamu mencuri lagi anak-anakku?” tanya kelinci besar yang ternyata ayah mereka. Sang ayah pun menggamit tangan-tangan anak kelinci itu. “Kamu harus dihukum!” ucap sang ayah kemudian.
“Tapi ayah, kami tidak mencuri!” ucap salah satu dari anak kelinci itu.
“Apa kamu sudah minta dengan baik-baik ke kakek petani?” tanya sang ayah kemudian.
“Belum!” jawab sang anak kelinci serempak. Dan, sang ayah kelinci pun memperlihatkan kebingungannya.
“Anakku, bagaimana mungkin kamu tidak mencuri sementara wortel yang kamu ambil tidak dengan izin kakek petani?” ucap sang ayah mengungkapkan kebingungannya.
“Begini ayah, kami sama sekali tidak bermaksud mencuri. Kami hanya ingin menyelamatkan wortel-wortel ini dari pencurian tikus-tikus di malam hari. Dan biasanya, tikus-tikus hanya menjadikan wortel-wortel curian mereka untuk bersenang-senang, bukan untuk dimanfaatkan semestinya,” jelas salah satu anak kelinci begitu argumentatif.
“Anakku, tikus-tikus mengambil wortel kakek petani tanpa izin, dan itu kamu sebut mencuri. Kamu pun mengambil wortel yang juga tanpa izin, tapi tidak mau disebut mencuri. Apa kalau yang mengambil wortel memang untuk dimakan tidak disebut mencuri?” ucap sang ayah kelinci.
“Tapi ayah...,” sergah salah satu anak kelinci itu.
“Anakku,” tegur sang ayah kelinci kemudian. “Siapa pun dan dengan alasan apa pun mengambil hak milik orang lain tanpa izin si pemilik, juga disebut mencuri! Dan itu sama-sama merugikan kakek petani!” jelas sang ayah kelinci lagi. Dan, kedua anak kelinci itu pun mengangguk pelan.
Sang ayah kelinci pun mengambil dua batang wortel itu untuk meminta kedua anaknya mengembalikannya ke petani.
**
Dalam hidup kekinian yang kian mengungkung siapa pun dalam pengapnya racun materialisme, orang kerap tertipu dalam bahasa-bahasa permisif yang menghalalkan segala cara. Pelacuran menjadi pekerja seks komersial, perzinahan menjadi hubungan gelap atau selingkuh, pencurian uang negara menjadi penyimpangan atau penyelewengan anggaran negara.
Dan siapa pun akan bersepakat bahwa pencurian tidak akan hilang hukumnya sebagai pencurian hanya karena niat mencurinya berbeda, atau karena tujuan mencurinya karena sesuatu maksud yang dianggap mulia, atau karena yang mencurinya orang saleh dengan tujuan mulia.(muhammadnuh@eramuslim.com)
“Ayah?” ucap salah satu dari dua anak kelinci itu agak gugup. Mereka berusaha untuk menyembunyikan wortel yang mereka bawa, tapi tidak berhasil.
“Kamu mencuri lagi anak-anakku?” tanya kelinci besar yang ternyata ayah mereka. Sang ayah pun menggamit tangan-tangan anak kelinci itu. “Kamu harus dihukum!” ucap sang ayah kemudian.
“Tapi ayah, kami tidak mencuri!” ucap salah satu dari anak kelinci itu.
“Apa kamu sudah minta dengan baik-baik ke kakek petani?” tanya sang ayah kemudian.
“Belum!” jawab sang anak kelinci serempak. Dan, sang ayah kelinci pun memperlihatkan kebingungannya.
“Anakku, bagaimana mungkin kamu tidak mencuri sementara wortel yang kamu ambil tidak dengan izin kakek petani?” ucap sang ayah mengungkapkan kebingungannya.
“Begini ayah, kami sama sekali tidak bermaksud mencuri. Kami hanya ingin menyelamatkan wortel-wortel ini dari pencurian tikus-tikus di malam hari. Dan biasanya, tikus-tikus hanya menjadikan wortel-wortel curian mereka untuk bersenang-senang, bukan untuk dimanfaatkan semestinya,” jelas salah satu anak kelinci begitu argumentatif.
“Anakku, tikus-tikus mengambil wortel kakek petani tanpa izin, dan itu kamu sebut mencuri. Kamu pun mengambil wortel yang juga tanpa izin, tapi tidak mau disebut mencuri. Apa kalau yang mengambil wortel memang untuk dimakan tidak disebut mencuri?” ucap sang ayah kelinci.
“Tapi ayah...,” sergah salah satu anak kelinci itu.
“Anakku,” tegur sang ayah kelinci kemudian. “Siapa pun dan dengan alasan apa pun mengambil hak milik orang lain tanpa izin si pemilik, juga disebut mencuri! Dan itu sama-sama merugikan kakek petani!” jelas sang ayah kelinci lagi. Dan, kedua anak kelinci itu pun mengangguk pelan.
Sang ayah kelinci pun mengambil dua batang wortel itu untuk meminta kedua anaknya mengembalikannya ke petani.
**
Dalam hidup kekinian yang kian mengungkung siapa pun dalam pengapnya racun materialisme, orang kerap tertipu dalam bahasa-bahasa permisif yang menghalalkan segala cara. Pelacuran menjadi pekerja seks komersial, perzinahan menjadi hubungan gelap atau selingkuh, pencurian uang negara menjadi penyimpangan atau penyelewengan anggaran negara.
Dan siapa pun akan bersepakat bahwa pencurian tidak akan hilang hukumnya sebagai pencurian hanya karena niat mencurinya berbeda, atau karena tujuan mencurinya karena sesuatu maksud yang dianggap mulia, atau karena yang mencurinya orang saleh dengan tujuan mulia.(muhammadnuh@eramuslim.com)
Komentar
Posting Komentar