Runtuhkan Keluh
Bismillah walhamdulillah…
Suatu hari seorang teman berbagi cerita bahwa hari itu ia amat lelah, “Dua kali lipat capek, remuk badan rasanya…hati pun menjadi panas…” Ujarnya. Aku mengerti perasaannya, sebab ia bilang bahwa teman di sampingnya dalam perjalanan itu adalah sosok yang tak henti mengeluh. Aku pun pernah mengalami hal itu. Kita harus memperbanyak istighfar agar tidak ketularan imbas keluh kesah tersebut. Meskipun sering kali kita menahan diri dengan berusaha tenang untuk menjadi pendengar yang baik, namun jauh lebih sering keluh kesah itu tak punya tujuan jelas, sehingga kalimat yang sama berulang-ulang mampir di telinga seolah lebih buruk dari pada kaset rusak.
Ketika seseorang di sisi kita setiap menit berkeluh dengan ragam kata, semisal, “Ya ampuuun, tempat duduknya jelek, badan sakit melulu jadinya…”, “ih, sepatuku sudah jelek, kapan dibelikan sepatu baru nih…”, “AC mana sih, panaaaas yah rumahnya…”, “Duh, cemilan nambah lagi dong, dikit sekali ini!”, “Oh, gak tahan deh kalau ke acara itu pakai baju yang ini-ini mulu, bete deh belum dikasih hadiah baju…”, “Maceeeet teruuuus, terus-terusan maceeeet, kapan sih gak macetnya?!”, dan atau jutaan kalimat lainnya, telinga yang mendengar tumpukan kalimat itu pasti bisa ketularan gerah, menelusup dalam hati dan menambah beban pikiran. Apalagi jika kita sudah tahu bahwa di menit itu tidak dapat mewujudkan perubahan atas hal yang dikeluhkan.
Aku benar-benar heran saat mengalami kejadian serupa, karena sosok disampingku yang hobi berkeluh itu tak henti-hentinya mengulang kalimat keluhan yang sama. Coba bayangkan, seseorang yang sudah kita tolong, kita berikan bantuan untuk menggembirakannya, kita manjakan beberapa saat agar ia lebih mensyukuri hidupnya dan melupakan keluhan itu, namun ternyata masih saja lisannya penuh jutaan keluh. Seolah kita yang mendengar keluhan itu harus mewujudkan seluruh kemauannya. Masya Allah… Kalau cuaca panas, silakan keluhkan pada pembuat cuaca. Kalau macet melulu yang dikeluhkan tiap detik, dan kalau memang keluhan itu sudah didengar penguasa yang berwenang~dengan proses menanti kemajuan, kenapa tidak pindah ke tempat yang tidak macet alias minimal bisa mencari solusi sendiri, batinku.
Namun lagi-lagi, aku berhenti untuk heran, sebab sosok ini memang jauh dari Tuhan. Sosok yang mengandalkan bantuan dan belas kasih orang lain tanpa berusaha mengubah nasib dengan kerja keras yang optimal. Sangat berbeda ketika aku berjumpa dengan imam masjid di Kuwait serta pertemuan dengan TKW di perjalanan mudik yang lalu. Fase keluh kesah mungkin tidak lagi ada dalam kehidupan mereka, keluh adalah masa lalu. Meskipun terkadang bukan solusi nyata yang hadir di depan mata saat keluh telah diubah menjadi usul dan saran yang baik, mereka berpasrah padaNya setelah optimal ikhtiar.
Brother imam Hasan di salah satu masjid misalnya, ia adalah seorang muslim yang hijrah ke Kuwait, mengubah keluh menjadi karya nyata. Di negeri asalnya yang identik dengan kemiskinan, ia tak dapat melanjutkan pendidikan tinggi. Ketika bisa hijrah ke Kuwait, bilangan tahun ia perdalam qur’an dan menjadi penghafal kitab Allah ini. Di Kuwait, semua kanak-kanak, remaja penghafal qur’an (yang tentu lebih banyak berasal dari kaum pendatang) mendapatkan hadiah sebesar 30 kuwait Dinar (KD) setiap “setor hafalan setengah juz”. Dan jika khatam 30 juz, mereka memperoleh hadiah sebesar 1000 Dinar (1 Dinar Kuwait kira-kira 35 ribu rupiah) atau lebih, serta memperoleh pelatihan (secara fisik dan mental) untuk menjadi imam/ muadzin masjid di berbagai daerah secara bertahap.
Otomatis kehidupan brother imam Hasan itu menjadi lebih tentram, nyaman, dan terbilang sukses. Jelas ia bahagia, punya ilmu agama yang baik, hafal qur’an, jaminan gaji yang mencukupi, serta bisa menginspirasi banyak pemuda islam pula. Subhanalloh! Tentu perjalanan suksesnya tidak mudah, namun hal pasti adalah tampak pada lisan beliau yang tidak mudah berkeluh. Artinya penempaan dan didikan dari orang tua dan gurunya telah berhasil, sosok yang sabar dan tidak mudah mengeluh adalah salah satu ciri akhlaq terpuji.
Demikian pula ketika bersua mbak Jum yang berangkat dari Doha untuk pulang kembali ke Indonesia. Beliau berkata, “Ah, kalau urusan di bandara sih, udahlah, sudah biasa…. yang penting bisa pulang kampung, saya harus ikhlas, biarkan saja orang yang ‘ngerjain’ nyuruh bayar ongkos mahal-mahal, tetap saja duitnya tidak berkah, yo, mbak…” Pasrahnya. Dahulu ia berkeluh dengan prosedur ribet dalam urusan pekerjaannya, tetapi tiada perubahan atau tanggapan dari pihak berwenang. Justru energi terkuras karena ia terlalu memikirkan banyak hal.
Apalagi ketika sudah berada di jazirah Arab tempatnya merantau, masih ‘lebih untung’ jika ia hanya terkena caci maki dan siraman air panas selama bekerja di tempat majikan pertama. Jauh lebih beruntung dari pada salah seorang teman mbak Jum yang masih (berumur) belasan tahun dan belum menikah, malah dijadikan pelayan khusus pemuas nafsu bejat keluarga majikannya, naudzubillah. Si teman ini di’persilakan’ tinggal dalam ruangan mewah berukuran 10 x 10 meter dengan kulkas dan makanan di dalamnya, kamar mandi dan lemari baju yang besar. Ia tidak keluar dari ruangan itu selama setahun tanda kontrak ‘pekerjaan’ yang dijanjikan. Penyelewengan ikrar itu berbuah shock mendalam dan trauma seumur hidup tentunya. Tidak ada yang mengacungkan tangan sebagai tanda bertanggung jawab sebagaimana masa-masa ajang pemilihan kursi di gedung dewan terhormat, oh nasib TKI…
Saat ini mbak Jum dapat menjalankan modal menjadi juragan angkutan umum di daerahnya yang masih terpencil dan membuka warung, sangat bersyukur dapat memiliki usaha kecil mandiri. Ia meruntuhkan keluh dengan usaha, sebuah perjuangan nan menginspirasi. Mbak Jum telah merasakan pahit dan perih hati saat berpisah dengan keluarga, terutama anak-anak yang masih kecil. Sehingga ia menjadi paham bahwa hidup memang penuh perjuangan dan pengorbanan. Subhanalloh… Tentu membuatku berkaca lagi.
Aku jadi mengenang Mak Enung dan Mak Euis di masa awal berumah tangga, di Bandung dahulu. Ketika aku sibuk ujian semesteran, Mak Enung menjaga Azzam kecil kami. Mak Enung tidak sungkan membawakan bekal makan malam ketika aku menjemput Azzam, meminjami dana beli buku tatkala uang di dompetku tak mencukupi, membuatkan sarapan, bahkan honor ‘baby-sitter’ baginya pernah kucicil. Ya Allah, terima kasih, aku punya banyak ‘Emak’.
Sedangkan Mak Euis adalah ibu rumah tangga serba bisa yang membuka gerai makan siang di ujung jalan, hanya meja dan sedikit kursi serta kompor kecil sebagai modalnya. Ia memasak nasi, sayur kacang, sambal tongkol, dan tumis terong sebagai menu yang paling sering tersaji. Para pelanggan setianya adalah buruh bangunan dan tukang becak. Kadang-kadang di sore hari jika tak hujan, beliau menjual kue surabi, dan aku menyukai surabi buatannya.
Sewaktu temanku bertanya, “Kenapa semua menunya dijual murah, yah? Apa Mak Euis tidak rugi?”
Beliau menjawab, “Untungnya dikit yah ada neng, beberapa ratus perak sudah lumayan, Alhamdulillah, yang penting senang, tidak repot harus masak banyak, pokoknya ludes disantap pembeli, kan buat tukang becak, neng…. Kalau mahal-mahal, ntar saingan sama yang di warteg pula, kalau masak banyak dan gak habis, rugi. Trus kalau makanan mahal-mahal, yang biasa langganan juga kasihan….” Subhanalloh, menu sepiring nasi plus ikan tongkol dan sayur kacang serta sambal biasanya tampak penuh di piring pelanggannya, dan harganya hanya separuh dari harga di kedai atau warteg sekitarnya.
Mak Enung dan mak Euis juga merupakan muslimah yang jauh dari keluh. Setidaknya selama dua tahun aku mengenal keduanya, yang kuketahui pada waktu itu suami mereka sedang sakit pasca kecelakaan (sebagai buruh dan penarik becak). Namun mereka malah tetap sibuk membantu orang lain, meringankan beban sesama. Semoga Allah SWT memberkahi hari-hari mereka. Sungguh sosok manusia yang tangguh seperti beliau-beliau ini sangat nyaman dan menyenangkan untuk dikenang. Amat berbeda dengan sosok yang rajin berkeluh kesah tanpa jelas maknanya, saudara dan teman berebut untuk menjauhi.
Dalam keadaan banyak peluh, mengalirnya jutaan keluh berefek membuat energi habis. Hidup ini tak akan berubah kalau kita tak berusaha mengubah sendiri. Itulah janji Allah.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang ada pada diri mereka “ (QS. Ar Ra’d: 11). Masih panjang jalan terbentang, teramat luas dan banyak pintu-pintu rezeki (halal) curahanNya. Masih banyak potensi dan kreasi diri yang harus kita optimalkan, jangan sampai dikaburkan atau terkubur gara-gara keluh. Kalimat keluhan dapat menumpulkan ide dan semangat.
Berbagi rasa dan dekapan bahu dengan saudara tentu menentramkan jiwa, namun harus waspada, bukan tidak mungkin terbitlah kalimat-kalimat keluh, padahal bisa jadi orang di hadapan kita sedang mengalami keterpurukan dan peristiwa yang lebih dahsyat dari pada kita yang berkeluh. Lebih baik diam berhias istighfar sehingga hati menjadi tentram. Jika kita tidak dapat mengurangi beban saudara, minimal hindari banyak mengeluh karena akan menambah beban baginya.
Apalagi tatkala mengingat kondisi saudara-saudari kita di Suriah, Gaza dan area konflik lainnya saat ini. Marilah kita bercermin diri, tak pantas mengeluh tentang makanan ‘pilih-pilih sesuai mood-lidah’, sedangkan mereka disana belum tentu bisa makan. Tak pantas kita sibuk menginginkan sepatu dan baju baru ‘hanya’ gara-gara mengikuti trend fashion updated. Sedangkan di sana, mereka hanya punya satu baju nan melekat di badan. Bahkan kaki atau tangan telah diamputasi sebagai bukti perjuangan. Faghfirlana… Ampuni kami ya Allah.
Allahummansur Islam wal Muslimin, Allahumma A’izzatal Islam wal Muslimin wa Adzillassyirka wal Musyrikin…aamiin
Semoga keluh telah runtuh dari jiwa-jiwa suci yang telah siap menanti ramadhan ini… Hadirkan lisan jelita dengan menularkan kalimat hikmah berisi solusi. Semoga Allah melimpahkan kemudahan bagi kita semua dalam mengoptimalkan aktivitas kebaikan, aamiin…Wallohu’alam bisshowab.
(Salam Ukhuwah @bidadari_azzam, malam 13 Juni 2013)
*Penulis adalah ananda dari bapak H. Muhammad Holdoun Syamsuri TM Moorsid dan ibunda Hj. Sahla binti H. Majid, kelahiran Palembang 19 Juni 1983, mantan pelajar berprestasi Indonesia. Ia merupakan supporter setia suami saat bertugas menyelesaikan projek IT di berbagai negara, pembimbing para muallaf dengan aktif sebagai koordinator muslimah di Islamic-Centre Krakow, Poland. Sarjana Ilmu Komunikasi, ibu tiga jagoan, sahabat dan pengamat TKI yang juga bisa berbahasa Polish dan sedikit bahasa Arab. Karyanya antara lain Catatan CintaNya di Krakow, Antologi “Indahnya Persahabatan” (2012), Sajak Mengeja Masa (Kumpulan Puisi)~2013.
Komentar
Posting Komentar