Menghitung Dosa
Mungkin sebagian orang menganggap menghitung dosa sebagai sesuatu yang sepele. Tak penting. Atau malah dianggap kurang kerjaan. Tapi, bila seseorang menyadari bahwa suatu saat hidup akan berakhir, tak mungkin selamanya ada di dunia, maka menghitung dosa akan menjadi aktivitas wajib harian. Bagi seseorang yang berorientasi akhirat, menghitung dosa, bukanlah aktifitas tanpa maksud dan tujuan.
Tetapi menjadi bagian dari ibadah untuk memastikan bahwa tidak ada dosa, dan kemaksiatan yang sengaja kita pilih setiap hari. Menghitung dosa bermaksud menjadikan diri pribadi yang benar-benar menaatiNya tanpa syarat apapun. Memastikan bahwa setiap langkah sesuai dengan koridor yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Menghitung dosa adalah ajang muhasabah diri. Bisa setiap malam menjelang tidur dilakukan. Perhatikanlah dan tanyakan pada diri sendiri, segala ucap, sikap dan perilaku yang kita lakukan sepanjang hari, sepanjang hidup yang telah dijalani.
Renungkanlah sebuah hadits berikut : “Tidak bergeser kaki seorang hamba sehingga ia akan ditanya tentang empat perkara (yaitu):
(1) Tentang umurnya untuk apa ia habiskan?
(2) Tentang ilmunya untuk apa ia amalkan?
(3)Tentang hartanya darimana ia dapatkan dan kemana ia belanjakan? dan
(4) Tentang badannya untuk apa ia gunakan?. (Sunan At-Tirmidzî).”
Mari kita jujur menjawab dan menelusuri. Sampai pada usia kita saat ini, apa saja yang telah kita lakukan? Bagaimana sholat kita? Masih ditinggalkan, bolong-bolong dan seperti burung atau tidak? Untuk kaum adam, sudahkah selalu berjamaah di masjid kecuali ada uzur? Bagaimana puasa dan zakat kita? Sudahkah bagi yang mampu menunaikan ibadah haji? Ataukah kita lebih memilih menambah koleksi mobil baru, rumah baru dan harta duniawi lainnya? Sudahkah kita memenuhi hak-hak orang miskin? Hak-hak anak yatim yang ada di sekitar kita atau bahkan dalam tanggungan kita?
Ilmu yang kita miliki, sudahkah diamalkan? Ilmu tentang sedekah, infaq, menutup aurat, riba, pergaulan dengan lawan jenis, muamalah, dan lain-lain, sudahkah tidak sekedar teori dalam kata? Bagi para suami, masihkah bangga saat istri bersolek ketika keluar rumah? Senang kecantikan istri dikagumi orang lain? Rela kejelitaan istri dinikmati pria lain? Lalu dimanakah letak pengayoman dan perlindunganmu terhadap istri tercinta duhai para suami? Bukankah semua orang tahu suami adalah imam, pemimpin rumah tangga yang berkewajiban mendidik istri dan menyelamatkan keluarga dari api neraka?
Tentang harta kita, darimanakah kita peroleh? Dari cara yang halal atau haram? Dari pinjam di bank, membungakan tabungan di bank, menjadi rentenir, korupsi, mencuri, markup, kolusi, hasil suap atau mengambil yang bukan hak kita? Atau dari hasil berdagang, bekerja, bertani, menjadi kuli dan cara halal lainnya?
Lalu, kemanakah harta yang kita miliki dibelanjakan? Untuk infaq, membantu fakir miskin dan si yatim, untuk kepentingan dakwah, untuk dibelanjakan di jalan Allah? Atau untuk kesenangan diri saja, sering ke restoran top, ke diskotik, membeli minuman keras, berjudi, melancong keliling dunia, ke tempat lokalisasi, menambah koleksi rumah, baju, mobil, motor, tas, sepatu meski sudah memiliki lebih dari cukup, yang mungkin selangit harganya untuk kesombongan dan melupakan kezuhudan? Atau mungkinkah kita termasuk orang-orang yang suka berkali-kali pergi umroh atas nama ibadah dan panggilan jiwa, sementara tetangga dan orang-orang sekeliling kita membutuhkan pertolongan, makan pun belum tentu sehari sekali, rumah tak punya atau hanya gubug reyot, putus sekolah, sakit-sakitan karena tak mampu berobat?
Tentang badan, untuk apa kita gunakan? Kaki dibawa melangkah untuk menuntut ilmu, mengaji, sholat ke masjid, dan ke tempat-tempat penuh keberkahan? Atau justru dibawa ke tempat-tempat pelacuran, perjudian dan penuh kemaksiatan? Tubuh ditutup auratnya dengan sempurna, atau justru dibuka penuh bangga karena kulit yang mulus, rambut yang indah, dan tubuh yang aduhai? Badan dijaga kesuciannya hanya untuk suami/istri tercinta yang berhak, atau justru dibiarkan dilihat, disentuh, dipeluk, dicium oleh pacar atau orang yang tidak dan belum halal?
Mulut digunakan untuk mengucapkan hanya yang baik-baik saja, atau justru untuk mencaci maki, melaknat, mengghibah, menjuluki orang lain dengan kata-kata buruk, mengajak dan mempengaruhi orang lain bermaksiat, serta diumbar mengikuti hawa nafsunya? Wajah digunakan hanya untuk bersolek bagi suami tercinta saat di rumah, atau justru sebaliknya? Didandani sedemikian rupa, ada lipstik bergayut di bibir, pemerah wajah merona, menggunakan bulu mata palsu, eyeshadow, bertabaruj berhias seperti orang-orang kafir saat keluar rumah, saat suami sebagai satu-satunya yang berhak menikmati kecantikan tak ada di sisi? Sekalipun untuk pergi sholat berjamaah saat hari raya, bersolek menghias wajah dan memakai wangi-wangian yang tercium pria non muhrim didampingi sang suami tetaplah salah. Allah tak memandang sholat seseorang dari lipstik yang dipakai, atau dari wajah yang bersolek.
Ingatlah, bahwa sesungguhnya Allah menciptakan jin dan manusia hanya untuk beribadah padaNya. Jadi pastikan setiap langkah adalah untuk dan karena ibadah kepadanya. Allah Maha Tahu, lebih tahu tentang kita, tak mungkin menciptakan seperangkat aturan yang manusia tak mampu memenuhinya. Setiap diri kita pasti mampu menjalankan seluruh kewajiban yang Allah bebankan. Tinggal kita mau atau tidak. Setiap diri pasti mampu untuk sholat, puasa, menutup aurat dan bergaul sesuai aturanNya, hanya saja kita mau atau tidak menjalankannya. Setiap diri pasti mampu untuk mendapatkan harta dengan cara halal, hanya saja kita mau bersabar atau tidak.
Hitunglah dosa kita, selagi masih bisa melakukan. Semasa nafas masih dikandung badan. Menghitung bukan untuk kesombongan dan merasa diri lebih baik dan suci dari orang lain. Namun, untuk memperbaiki diri terus menerus agar menjadi hamba yang mutaqqin. Untuk mengintrospeksi diri tiada henti, agar benar ucapan kita dalam sholat, bahwa hidupku matiku, hanya untuk Allah. Untuk menyelamatkan diri kita agar tidak semakin dalam terjerumus dosa dan kemaksiatan.
Sesungguhnya perbuatan dosa ada dalam ranah pilihan manusia. Kemaksiatan ada dalam wilayah kekuasaan manusia. Manusia bebas memilih. Tak pernah Allah menciptakan manusia sebagai seorang pendosa, pelacur, koruptor, penjudi, artis pengumbar aurat dan lain lain. Tetapi manusia sendirilah yang mendholimi diri sendiri dengan memilih jalan yang salah. Bukankah Allah telah berfirman, telah Kutunjukkan dua buah jalan. Jalan kebenaran dan kemaksiatan. Telah disediakanNya pula dua tempat, Syurga dan Neraka. Kita bebas menentukan pilihan. Silakan pilih yang mana. Semua terserah kita. Wallahu’alam.
Oleh : Anna Nur F, Ibu Rumah Tangga
(islampos)
Komentar
Posting Komentar