Menyikapi Pujian
ALHAMDULILLAH. Puji dan syukur hanya untuk Allah, Dzat yang menjadi tempat kembali segala pujian. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rasulullah Saw.
Pujian adalah hal yang lumrah dalam kehidupan kita sehari-hari. Kerap kali kita mendapat pujian dari atasan kita, dari orangtua, dari anak, atau dari teman kita. Padahal ketahuilah saudaraku, sesungguhnya pujian itu datang tiada lain adalah karena mereka tidak tahu saja keburukan kita.
Ya, sesungguhnya kita dipuji oleh orang lain bukan karena kebaikan kita, melainkan karena Allah Swt menutupi keburukan-keburukan kita dalam pandangan manusia. Padahal seandainya saja Allah membukakan keburukan kita dan seandainya saja keburukan kita mengeluarkan bau tak sedap, niscaya tak ada seorang pun yang mau duduk di dekat kita. Masya Allah.
Tidak bisa dipungkiri jika manusia akan merasa senang jika mendapat pujian. Oleh karena itulah pujian sebenarnya melenakan. Bukankah pujian itu semata-mata karena orang lain tak mengetahui diri kita yang sebenarnya? Semakin kita merasa senang dipuji, maka semakin kita lalai untuk menyadari kekurangan diri. Dan, akan semakin membuat kita lalai dari memperbaiki keadaan diri.
Itulah mengapa Rasulullah Saw pernah berdoa, “Ya Allah, janganlah Engkau hukum aku karena apa yang dikatakan oleh orang-orang itu.” (HR Bukhari). Lewat doa ini Nabi Saw menyampaikan pesan kepada kita bahwa pujian orang lain bisa membuat diri kita lupa kepada Allah Yang Maha Terpuji.
Tidak heran, dalam haditsnya yang lain Rasul Saw juga pernah berpesan agar melemparkan pasir kepada orang yang suka memuji. Ini adalah pesan yang menyiratkan bahwa betapa pujian bisa sangat membahayakan.
Imam Al Ghazali menerangkan bahwa orang yang dipuji sedang menghadapi dua keburukan. Pertama, ia bisa terjangkit penyakit sombong dan merasa diri hebat (ujub). Padahal sombong dan ujub adalah penyakit hati yang sangat berbahaya. Kedua, ia bisa lupa diri karena terlena dengan pujian.
Saudaraku, seharusnya pujian yang orang lain berikan kepada kita itu membuat kita malu dan berkaca diri. Benarkah kita sebagaimana yang mereka katakan. Karena, sesungguhnya pujian itu datang disebabkan mereka mengira sesuatu yang sebenarnya tak ada pada diri kita.
Namun, orang yang cinta dunia akan menikmati pujian-pujian itu. Bahkan, ia akan berusaha mencari pujian dari orang lain pada setiap pekerjaan yang ia lakukan. Ia akan terus membagus-baguskan topeng daripada membaguskan isi atau kualitas dirinya. Ketika pujian itu ia dapatkan, maka puaslah hatinya. Sedangkan ketika pujian itu tidak ada, maka kecewalah dia. Pada orang seperti ini, tidak ada Allah di dalam hatinya. Na’udzubillahi mindzalik.
Coba kita tafakuri, apakah yang ada pada diri kita sehingga bisa menjadi alasan bahwa diri kita ini pantas untuk dipuji. Kita ini hanya makhluk lemah, berasal dari setetes air mani, yang kemana-mana membawa –maaf- kotoran, dan akhirnya nanti menjadi bangkai. Kita pun sekadar makhluk yang tak punya apa-apa, selain sekedar titipan dari Allah Swt.
Oleh sebab itu, sikap terbaik dikala mendapat pujian dari orang lain adalah segera mengembalikan pujian itu kepada Dzat yang paling berhak untuk dipuji, Allah Swt. Kemudian, segera beristighfar memohon ampun kepada Allah sebagaimana dicontohkan oleh Rasul Saw. Dan, berdoalah kepada Allah supaya kita dibimbing-Nya agar menjadi pribadi yang lebih baik daripada persangkaan manusia.
Ketika mendapat pujian, Rasulullah Saw. berdoa, “Ya Allah, ampunilah aku dari apa yang tidak mereka ketahui.” (HR. Bukhari). Dan, jikapun pujian yang mereka sampaikan itu memang benar ada di dalam diri kita, maka berdoalah sebagaimana doa Rasul Saw, “Ya Allah, jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka kira.” (HR. Bukhari).
Semoga kita termasuk hamba-hamba Allah Swt. yang terampil menjaga hati dari kesombongan akibat pujian orang lain. Dan, semoga kita pun termasuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa rendah hati dan bersemangat untuk terus-menerus membersihkan hati dan memperbaiki diri.Wallahu a’lam bishawab. (Inilah)
Komentar
Posting Komentar