Kematian Sebagai Insentif Terbaik

Manusia bereaksi terhadap insentif. Dan insentif tidak melulu berupa uang. Bahkan insentif yang non-finansial kadang lebih efektif mengarahkan perilaku orang atau kelompok.

Pemimpin yang baik sering identik dengan orang yang memiliki kemampuan desain dan eksekusi insentif, sehingga dengannya perilaku positif dari pengikutnya/musuhnya dapat dimotivasi dan tujuan bersama dapat tercapai.

Ada 3 contoh sederhana tentang insentif (dalam bentuk mekanisme) sebagai pengarah/pemotivasi perilaku:

Contoh 1:
Bila kita ingin mengajak dua anak usia 6-9 tahun untuk berlaku adil, bawalah kehadapan keduanya seloyang kue tart kesukaan mereka, dan mintalah mereka berbagi tugas sebelum menikmati kue bagian masing-masing. Anak pertama diminta memotong kue, anak kedua diminta memilih potongan kue. Niscaya anak pertama akan memotong dengan adil, karena dia tahu bila memotong tidak adil, maka anak kedua boleh jadi mengambil potongan kue yang lebih besar.

Contoh 2:
Bila kita memiliki usaha taksi dan ingin menjaga reputasi perusahaan di mata pelanggan, misalnya sopir taksi tidak membawa pelanggan melalui rute panjang yang akan menaikkan pendapatan sopir taksi namun merusak reputasi perusahaan. Dalam hal ini kita perlu mengarahkan perilaku jujur dari para sopir kita. Sayangnya kita tidak bisa mengawasi setiap sopir taksi setiap waktu. Solusinya adalah desain tarif argo taksi. Bila tarif argo taksi diserahkan kepada setiap pemilik usaha, maka kita punya 2 alernatif tarif argo:

Alternatif pertama, tarif argo awal saat pelanggan naik, kita naikkan. Sedangkan tarif argo per KM jarak tempuh, kita turunkan. Alternatif kedua, tarif argo awal kita turunkan, sementara tarif per KM kita naikkan.

Mana diantara 2 alternatif tersebut yang lebih mengarahkan sopir taksi jujur membawa pelanggan di rute yang benar?

Dengan hitungan sederhana saja dapat kita simpulkan alternatif pertama yang akan kita pilih.

Contoh 3:
E-bay dikenal sebagai situs lelang online terbesar di dunia. Dengan cerdas E-bay menerapkan teori Second Price Auction. Artinya bila sebuah laptop ditawarkan dengan harga awal 100.000 rupiah, dan pada saat penutupan lelang ada 2 penawar tertinggi: X dengan penawaran tertinggi Rp 6 juta dan Y dengan penawaran tertinggi Rp 5 juta. Maka X adalah pemenang lelang namun dia hanya perlu membayar uang senilai penawaran tertinggi di bawahnya, yakni Rp 5 juta senilai penawaran tertinggi Y.

Dengan cara seperti itu, maka setiap peserta lelang cenderung termotivasi untuk memberi penawaran setinggi-tingginya agar jadi pemenang, toh saat dia menang hanya perlu membayar sejumlah penawaran tertinggi di bawahnya.

Namun bila semua orang berpikiran sama, apalagi di E-bay mereka sulit berkomunikasi satu sama lain sebelum penutupan lelang, maka harga penutupan akhirnya tinggi dan yang untung adalah sang penjual dan E-bay.

Dari ketiga contoh diatas, kita bisa paham mengapa penyeberang jalan (di kota Bandung misalnya) sering enggan menggunakan zebra cross. Karena saat mereka menyeberang di zebra cross, jarang sekali pengemudi kendaraan yang sedia berhenti memberikan jalan. Walaupun dalam aturan lalu lintas, penyeberang jalan memiliki hak prioritas di zebra cross atas pengemudi kendaraan. Dengan demikian menyeberang di zebra cross dalam situasi seperti itu adalah insentif yang buruk.

Lalu mengapa pengemudi kendaraan jarang sekali sedia berhenti memberi jalan? Karena tidak ada penegakan hukum? Yang jelas kepribadian sesungguhnya dari manusia dapat dilihat (diantaranya) saat dia berkendaraan di jalan raya, karena di jalan raya orang tidak punya insentif menarik untuk berpura-pura. Kepura-puraan lebih mudah dijumpai di kantor.

Desain Insentif sebagai Solusi dari Problem Keagenan
Relasi sosial dalam keseharian adalah kesepakatan yang bisa eksplisit (tertuang dalam bentuk kontrak tertulis, misalnya) atau implisit (lebih didasarkan kepada mutual trust) antara agen dan prinsipal, atau di antara beberapa agen yang setara.

Konstitusi sebuah negara adalah contoh kesepakatan eksplisit diantara warga masyarakat yang setara, dituangkan secara tertulis dan kita menyebutnya kontrak sosial. Sedangkan hubungan kerja antara pemilik perusahaan dengan manajemen (pengelola) adalah kesepakatan eksplisit antara agen (manajemen) dan prinsipal (pemilik).

Prinsipal memercayakan sumber daya yang dimilikinya kepada agen untuk dikelola untuk menghasilkan keuntungan. Sayangnya ada dua keterbatasan yang dihadapi prinsipal. Pertama: prinsipal tidak bisa mengobservasi secara sempurna ikhtiar yang dilakukan agen (asimetri informasi) dan seringkali terdapat konflik kepentingan antara prinsipal dan agen.

Kedua keterbatasan tadi bisa berakibat kerugian bagi prinsipal bila agen melakukan moral hazard (perilaku yang menyimpang dari kesepakatan awal). Apa yang bisa dilakukan prinsipal agar terhindar dari resiko tersebut? Prinsipal dapat melakukan monitoring atas semua aktivitas yang dilakukan agen. Tapi monitoring ini ongkosnya besar sekali. Sebagai alternatif prinsipal dapat mendesain insentif yang tepat sehingga agen secara sukarela berperilaku sesuai kepentingan prinsipal.

Model konseptual relasi prinsipal-agen ini didasarkan kepada asumsi bahwa baik prinsipal maupun agen berorientasi self interest. Model konseptual ini dapat juga digunakan untuk memotret relasi antara Anggota DPR dengan konstituennya, antara orang tua dan anak-anaknya, atau antara Rektor dengan Civitas Academica, walaupun tiga relasi yang disebut terakhir lebih merupakan kesepakatan implisit.

Tentu saja kita bisa mengatakan bahwa perilaku manusia tidak hanya berorientasi self interest, melainkan juga altruistik.

Kematian sebagai Insentif Terbaik
Kematian adalah sebuah desain Tuhan (prinsipal) untuk manusia sebagai hambaNYA (agen). Dan kematian adalah desain insentif yang terbaik dalam sejarah peradaban manusia, agar perilakunya sebagai agen di dunia dapat sesuai dengan kehendak prinsipal (Tuhan).

Mengapa kematian adalah insentif terbaik? Karena, pertama, bagi Tuhan, sama sekali tidak ada risiko kerugian bila manusia melakukan moral hazard dan menyimpang dari kesepakatan awal dengan Tuhan (Maha Kaya, Maha Terpuji).

Kedua, Tuhan mampu melakukan monitoring secara absolut sempurna, tanpa mengeluarkan ongkos apapun (Maha Mengetahui, Maha Melihat, Maha Mendengar).

Ketiga, bagi manusia sebagai agen, ada asimetri informasi yang tinggi tentang kapan (bisa terjadi kapan saja) dan dimana (bisa terjadi dimana saja) kematian itu akan menjumpainya. Yang pasti kematian pasti akan datang.

Keempat, bagi manusia, akibat dari perilakunya di dunia sebelum kematian (ex-ante) akan dialaminya setelah kematian dalam masa/durasi yang jauh lebih panjang ketimbang masa hidupnya di dunia (ex-post).

Kelima, bagi manusia, Tuhan telah menjelaskan sejelas-jelasnya tentang reward/punishment untuk setiap pilihan perilaku manusia di dunia.

Keenam, bagi manusia, Tuhan telah Memberikan diskresi sempurna (free will) kepada manusia untuk melaksanakan fungsi ke-agen-an selama hidup di dunia. Pilihan perilaku yang diputuskan manusia dapat dilakukan secara merdeka tanpa ada paksaan.

Tidak heran, nabi Muhammad SAW pernah berkata bahwa orang yang paling cerdas adalah orang yang selalu mengingat kematian.

Lalu apakah kematian hanya menjadi insentif bagi manusia untuk fokus kepada akhirat dan melupakan kejayaan di dunia?

Nabi Muhammad SAW pernah juga berkata, "Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah engkau akan hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan engkau akan mati besok."

Jelas, kematian tidak hanya insentif terbaik bagi manusia untuk sukses di akhirat, melainkan juga insentif terbaik bagi manusia untuk berjaya di dunia.

Bagaimana bila kematian sebagai insentif terbaik tidak berfungsi pada diri kita? Boleh jadi kita sedang sakit. Bila demikian, segera berobat tampaknya langkah terbaik.

*(Kandidat PhD TheTechnische Universitt Munchen; Anggota Lingkar Diskusi Pejaten)
(inilah)

Komentar

Postingan Populer