Lima Puasa Syiah Vs Puasa Nabi
Segala amal seseorang dikendalikan oleh ideologinya. Beda ideologi akan merambah pada perbedaan praktek ibadah, akhlak, dan bahkan muamalah. Ketika kita membandingkan antara praktek ibadah Syiah dan praktek ibadah yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita akan mendapatkan sekian banyak perbedaan. Demikian pula akhlak dan muamalah antara Syiah dengan yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pertama, bulan Ramadhan bukan bulan istimewa
Bagi Syiah, Ramadhan bukan bulan istimewa untuk beribadah. Suasana semarak ibadah di bulan Ramadhan, tidak seramai suasana ketika Muharram atau Sya’ban. Seolah Syiah hendak mengumumkan ke penjuru alam, bulan Ramadhan adalah bulan khusus untuk ahlus sunnah dan tidak ada yang istimewa bagi kami.
Ramadhan memang bulan untuk puasa, namun bulan untuk rajin ibadah, menurut Syiah.
Bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ramadhan adalah bulan istimewa. Dan seperti itu pula yang dilakukan kaum muslimin. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih rajin mendekatkan diri kepada Allah di bulan Ramadhan. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling pemurah. Lebih pemurah lagi pada saat bulan Ramadhan. Ketika Jibril menemui beliau. Jibril menemui beliau setiap malam di bulan Ramadhan, dan mengajari beliau Al-Quran.” (HR. Bukhari 3554).
Kedua, wajib berbuka ketika safar
Bagi Syiah, orang yang melakukan safar, puasanya batal. Artinya, dia wajib berbuka. Lebih ajaib lagi, hanya dengan melintasi jembatan yang memisahkan dua daerah, sudah dianggap safar dan wajib berbuka.
Kesaksian Dr. Thaha Ad-Dailami dalam buku beliau Siyahah fi ‘Alam Tasyayyu’ (Perjalanan di Negeri Syiah), menurut beliau, “Orang Syiah terlau menganggap mudah dalam memberikan udzur berbuka. Mereka mewajibkan berbuka untuk setiap safar dengan jarak paling dekat. Sebagai contoh, ada siswa yang hendak menjalani masa ujian. Tokoh mereka memfatwakan agar siswa ini melakukan safar dekat setiap hari ke derah yang dekat, jarak perjalanan pulang pergi ditotal menjadi jarak safar. Kemudian dia boleh tidak puasa.”
Yang lebih menyedihkan, mereka tidak memastikan apakah itu harus diqadha ataukah gugur kewajiban.
Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mewajibkan orang yang safar untuk berbuka puasa. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya, tentang hukum puasa Ramadhan ketika safar. Jawab Anas: “Kami pernah safar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Ramadhan, orang yang puasa tidak mencela yang tidak puasa dan yang tidak puasa juga tidak mencela yang puasa,” (HR. Muslim 1118).
Dalam riwayat lain, Anas mengatakan, “Kami pernah melakukan safar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada diantara kami yang puasa dan ada yang tidak puasa.” (HR. Muslim 1119).
Ketiga, tarawih adalah bid’ah
Bagi orang Syiah, tarawih adalah bid’ah. Mereka menganggap tarawih tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menurut mereka, tarawih adalah ajaran Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu. Karena kebencian mereka kepada Umar, mereka menolak sunah shalat tarawih ini mentah-mentah. Dan mencap sesat kaum muslimin yang melaksanakan tarawih. Bahkan mereka menyebut, orang yang melakukan tarawih sama halnya menjadikan Umar sebagai nabi. Subhaanallah, ini adalah tuduhan dusta mereka.
Keempat, berbuka setelah awan merah menghilang
Salah satu kebiasaan Syiah adalah berbuka setelah betul-betul masuk waktu malam. Di saat awan merah di ufuk telah menghilang dan bintang mulai terbit.
Dalam kitab Wasail As-Syi’ah karya Muhammad bin Al-Hasan Al-Hur Al-Amili, dinyatakan,
Bab: waktu berbuka adalah sampai hilangnya mega merah di ufuk timur, dan tidak boleh sebelumnya. Di bawah judul bab ini, selanjutnya dia membawakan beberapa riwayat dusta atas nama Ahlul Bait, diantaranya: “Dari Zurarah, saya pernah bertanya kepada Abu Ja’far – alaihis salam – tentang waktu berbuka bagi orang yang puasa? Beliau menjawab: ‘Ketika telah terbit 3 bintang.’,”
Abu Ja’far : cucu Husain bin Ali bin Abi Thalib. Beliau bergelar Al-Baqir. Salah satu ulama ahlus sunah yang dikultuskan Syiah. Dan satu kedustaan, beliau memfatwakan demikian.
Al-Hur Al-Amili memberi komentar, “Ini dipahami bahwa orang yang tidak mengetahui arah timur, sehingga dia tidak tahu hilangnya awan merah kecuali setelah terbit bintang, sebagaimana penjelasan dalam waktu-waktu shalat atau dianjurkan untuk mendahulukan shalat (maghrib) dari pada berbuka. Sehingga setelah itu terbit 3 bintang. Demikian yang dijelaskan ulama mutaakhirin (Syiah),” [Wasail As-Syiah, hlm. 124 – 125].
Jika kita perhatikan, apa yang dipraktikkan oleh Syiah dalam kebiasaan berbuka ini, sama persis sebagaimana kebiasaan orang Yahudi dan Nasrani. Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama Islam akan senantiasa menang, selama masyarakat (Islam) menyegerakan berbuka. Karena orang yahudi dan nasrani mengakhirkan waktu berbuka.” (HR. Ahmad 9810, Abu Daud 2353, Ibn Hibban 3509 dan statusnya hadia hasan).
Dalam riwayat lain, itu disebabkan orang Yahudi suka mengakhirkan waktu maghrib sampai terbit bintang. Karena itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang sengaja menunda shalat maghrib hingga terbit bintang, “Umatku akan senantiasa berada di atas fitrah, selama tidak menunda waktu maghrib sampai bintang-bintang mulai terbit.” (HR. Ahmad 15717, Ibn Majah 689, dan statusnya Hasan).
Kebiasaan berbuka puasa orang Syiah ini berbeda dengan apa yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menganjurkan kepada umat Islam untuk menyegerahkan berbuka. Segera berbuka sejak bulatan matahari sudah tenggelam, meskipun awan merah masih merekah di ufuk barat.
Kelima, hubungan intim ketika puasa
Yang tidak akan pernah ketinggalan ketika membahas Syiah, masalah ranjang dan kemaluan. Untuk menemukan fatwa unik mereka tentang itu, sangat mudah dan sangat banyak. Dari mulai nikah mut’ah, mengawini binatang, homo, hingga menjadikan istri orang sebagai gundik mut’ah. Jika Anda membaca fatwa tokoh-tokoh mereka tentang masalah seks, Anda mungkin akan berkesimpulan, sebagian besar penduduk Iran adalah anak zina. Saking merebaknya zina legal (mut’ah) di Iran.
Tak terkecuali seks ketika Ramadhan. Mereka memberi kelonggaran sangat luas bagi umat Syiah untuk memuaskan dirinya dengan mukadimah hubungan. Boleh secara sengaja melakukan pemanasan, selama tidak sengaja melakukan hubungan.
Dalam kitab Minhaj As-Shalihin, karya Al-Khou’i, dia menjelaskan, “Tidak batal puasa seseorang yang melakukan petting, kemudian secara tidak sengaja zakar masuk ke salah satu lubang (qubul atau dubur). Jika sengaja jimak, namun ragu apakah tadi sudah masuk semua atau ragu berapa yang sudah masuk dari hasyafah, maka puasanya batal, namun dia tidak wajib membayar kaffarah,” (Minhaj As-Shalihin, 1/263). [konsultasi syariah]
Komentar
Posting Komentar