Buih dalam Diri Kita
Tiap hari, hampir semua kita sering berpapasan dengan yang namanya buih. Ibu-ibu yang mencuci, para nelayan yang sibuk di tepian laut, penduduk yang kini disibukkan dengan luapan air sungai. Buih kerap tampak dan hilang dipermainkan gejolak air.
Dalam tampilannya, buih kerap mampu menggiring emosi yang melihatnya dengan reaksi ‘wah’. Hebat. Besar dan banyak. Bahkan terkesan mendominasi kolam atau selokan. Seolah seisi wadah-wadah itu cuma ada buih.
Tanpa pandangan lebih dalam, boleh jadi, ada yang tertipu dengan penampilan itu. Bahwa, tampak luar buih yang megah tak lain cuma tipuan dan sesaat. Tipuan karena bukan buih yang sebenarnya besar. Ia cuma menumpang kebesaran air. Dan sesaat, karena kemegahan itu cuma beberapa menit.
Air adalah kebenaran dan kemegahan yang hakiki. Dan buih di sekitarnya merupakan kebatilan. Seolah tampak besar dan megah, tapi semu. Tanpa bersusah payah mengusirnya pun, buih akan lenyap sendiri. Bisa terbawa angin karena ringannya. Atau, hanyut bersama arus baru yang lewat.
Itulah yang diungkapkan Alquran dalam surah Ar-Ra’d ayat tujuh belas. “….demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang batil. Ada pun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya….”
Akhirnya, masing-masing kitalah yang bisa mengukur diri. Bahwa, kita tidak cuma bisa tertipu dengan megahnya buih kebatilan nan semu. Boleh jadi, bisa ikut berperilaku seperti buih: besar tapi tak punya arti. Na’udzubillah min dzalik!
Komentar
Posting Komentar