CATATAN HARIAN PSIKOLOG MSF DI SURIAH
Generasi Orang Cacat di Tengah Perang Saudara
Di rumah sakit di wilayah Aleppo, saya tidak hanya mengunjungi pasien-pasien, tetapi teman dan keluarga mereka juga, karena hampir sama halnya dengan para pasien, mereka juga memerlukan dukungan psikologis. Apa yang mereka alami membuat mereka rapuh dan ketakutan. Dalam keadaan sangat tertekan dan menggantungkan banyak harapan untuk pengobatan, mereka mengharapkan keajaiban dan harapan mereka yang tidak realistis sering membuat mereka kecewa.
Di antara para pasien dan kerabat mereka, saya melihat banyak orang yang sangat cemas dan depresi. Penyedia layanan kesehatan di Suriah sangat kewalahan dengan permintaan bantuan. Orang-orang tidak punya tempat tinggal, tidak ada makanan, tidak punya uang untuk pergi ke rumah sakit untuk berobat dan terkadang tidak memiliki keluarga lagi untuk mendukung mereka.
Tidak ada sekolah untuk anak-anak mereka. Mereka merasa tidak punya masa depan dan dipenuhi kecemasan. Mereka tidak hanya prihatin akan diri sendiri, tetapi juga tentang masa depan Suriah.
Tekanan yang diderita pasien yang mengalami cedera dan menjadi cacat sangat jelas. Menerima kecacatan adalah hal yang sukar bagi orang yang lumpuh, atau kehilangan anggota tubuh, atau diamputasi karena cedera atau luka bakar mengenai mereka pada saat ledakan. Kehilangan anggota tubuh sangat mengerikan, karena perempuan cacat di usia menikah tidak akan bisa mendapatkan suami.
Seorang bocah berusia 11 tahun, berinisial D, mengalami luka bakar yang parah di bagian wajah dan tubuh bagian atas. Hanya kaki sebelah kirinya yang tersisa tanpa cedera. Luka bakarnya sudah terlambat ketika ia tiba di rumah sakit.
Dia tidak mendapatkan penanganan secepatnya karena rumah sakit lapangan hanya menyediakan penanganan bagi korban perang yang terluka dan sebagian besar rumah sakit lainnya telah hancur atau tidak memiliki petugas dan obat-obatan yang memadai. Luka bakar D disebabkan oleh kompor yang meledak, kejadian yang umum karena minyak berkualitas rendah dan sering meledak.
Efek luka bakarnya parah dan si gadis kecil tidak bisa menutup mata kanan atau mulutnya. Kepalanya tampak menggantung dan melekat kepada lehernya karena kulitnya tertarik seiring dengan mengeringnya luka.
Ia memerlukan operasi. Ahli bedah membuat sayatan di lehernya sehingga ia dapat mengangkat kepalanya.
Lalu memulai pembalutan dan pencangkokan kulit. Pasien lain dan keluarganya terus menerus bertanya kepada kami: "Apakah wajahnya akan kembali normal?" "Suatu saat ia harus menikah," kata mereka. Namun, sayangnya, gadis kecil itu akan cacat seumur hidup.
Takut Bepergian
Semua tekanan yang terlihat berasal dari rasa tidak nyaman dan ketidakpastian orang-orang mengenai masa depan. Dan ada ketakutan akan pengeboman.
Orang-orang terlalu takut untuk bepergian ke jalan-jalan di mana mereka akan dipaksa melalui pos pemeriksaan yang dijaga orang-orang bersenjata, membuatnya semakin sulit untuk pergi dari satu tempat ke tempat lain.
Berapa kali saya mendengar para pria dan wanita mengatakan, "Jika saya tidak bisa mengolah lahan saya, jika saya tidak bisa menjual hasil lahan saya, apa yang akan terjadi kepada saya?"
Dan di balik tekanan ini, muncul sebuah generasi orang cacat dengan masalah-masalah mereka seperti mobilitas, sumber daya, integrasi sosial dan sebagainya.
Solidaritas yang Kuat di Tengah Kecamuk Konflik
Hal yang mengagumkan di tengah kecamuk konflik adalah solidaritas yang kuat di dalam masyarakat dan keluarga. Ketika orang-orang kelaparan, mereka bisa pergi ke tetangga, yang akan membagi sedikit yang mereka punya dan memberikan mereka sesuatu untuk dimakan.
Saya ingat kasus seorang wanita muda dengan luka bakar yang parah yang perlu bantuan seseorang untuk makan dan membersihkan diri.
Ibunya mempunyai anak-anak remaja yang lain yang memerlukan beliau sehingga tidak bisa jauh dari rumah selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan ketika sang pasien luka bakar harus menginap di rumah sakit.
Tetangganya memiliki anak-anak yang lebih tua dan mandiri. Mereka segera menawarkan diri untuk membantu ketika ia mengetahui apa yang terjadi, meskipun ia tidak mengenal ibunya dengan baik sekalipun.
Ia menemani sang anak siang dan malam selam empat minggu, bahkan ketika ia meninggal dari lukanya yang mengerikan, lalu pulang ke rumah.
Bertatap Muka dengan Bocah yang Trauma oleh Kejamnya Perang
Pada usia 6 tahun dia melihat kakaknya dibom. Sejak itu dia diam total
Dari sekian pasien yang membutuhkan dukungan psikologis, ada banyak anak yang terpisah dari keluarga setelah terpaksa meninggalkan rumah. Para pasien ini telah cedera atau menyaksikan kekerasan yang menakutkan, seperti yang dialami anak berusia enam tahun yang saya dampingi.
Pada usia enam tahun, gadis cilik ini melihat tubuh kakaknya hancur terkena bom, dan sejak itu ia diam total. Dia menggambar banyak bentuk dengan warna-warna terang, namun bentuknya cukup sederhana dibandingkan gambar anak-anak seusianya.
Dia menggunakan cipratan warna tanpa membuat bentuk manusia yang jelas untuk menggambarkan peristiwa buruk yang terjadi pada kakaknya. Gambar-gambar itu mewakili sesuatu yang spesifik yang berusaha saya pahami melalui permainan dan teka-teki untuk membangun hubungan terapi di antara kami.
Ia cukup bahagia untuk menerima saya ke dalam dunianya, namun dalam waktunya sendiri, jadi saya harus bergerak maju perlahan dan menghormati penderitaan yang berat yang diungkapkan dalam gambar-gambarnya. Ia akan menjawab pertanyaan saya mengenai gambar-gambarnya dengan anggukan dan terkadang dengan kata-kata singkat terucap dengan pelan sehingga sulit saya dengar.
Ia akan menekan pulpennya sangat keras sehingga kertasnya sobek dan bagi saya terlihat bahwa pewarnaan tanpa bentuknya yang berani membuatnya mengosongkan kepala dan perasaan terdalamnya.
Di akhir setiap sesi, ia sangat senang memberikan gambarnya kepada saya, meninggalkannya kepada saya, seolah-olah hal ini adalah caranya untuk meringankan penderitaan yang ia miliki. Namun ia ingin sesuatu sebagai gantinya, sebuah mainan kecil, remeh temeh.
Mungkin untuk mengisi kekosongan yang ada dalam dirinya, atau mungkin hubungan kami sebenarnya adalah hubungan berbagi serta memberi dan menerima. Mungkin hubungan kami ibarat hubungan lain yang harus selalu berbagi, memberi dan menerima.
Dalam sesi bicara, ia menawarkan kemarahannya seperti sebuah hadiah, sebuah proses yang sulit dan menyakitkan dan ia perlu dibantu. Dan di usia enam tahun, hal itu memerlukan keberanian…
Hal ini terjadi beberapa bulan yang lalu dan ibunya masih hidup dan bersamanya. Anak perempuan ini tidak memiliki luka fisik tetapi lukanya sangat nyata meski tak terlihat. (eh)
Suriah berada dalam cengkeraman kekerasan ekstrem sejak dilanda perang saudara dalam dua tahun terakhir. Pasien, keluarga, pekerja kesehatan di sana memerlukan dukungan psikologis.
Seorang psikolog Médecins Sans Frontières/Dokter Lintas Batas (MSF), Charlotte, menghabiskan tiga bulan di negara tersebut mendengarkan apa yang ingin dikatakan oleh pasien-pasiennya. Dia menceritakan pengalamannya yang dikirim melalui MSF ke VIVAnews.
Komentar
Posting Komentar