Manusia Berbeda Dengan Binatang

Manusia berbeda dengan binatang, namun ayat-ayat suci Al-Qur’an sering pula menyatakan manusia laksana binatang.

Al-Qur’an menegas-kan hal itu bukan untuk menunjukkan bahwa manusia sejatinya adalah rendah dan tidak ber-martabat, melainkan memperlihatkan adanya peluang bagi manusia untuk jatuh tidak beradab.

Kesetaraan manusia dengan binatang terjadi karena berbagai sebab, terutama ketika manusia tidak mau mengikuti ajakan ruh Tuhan yang telah ditiupkan-Nya. Malah sebaliknya, menuruti goda-an nafsu syahwati yang berasal dari sari bumi.

Tidak berarti Allah mencipta tidak sempurna, karena menghadirkan dua kutub kontradiksi pada dirinya. Melainkan cermin kemahasempurnaan-Nya untuk menguji manusia mana yang mampu mengelola dirinya. Bagaimana ia akan mengelola bumi, bila ternyata tidak mampu menata dan memenej dirinya sendiri.

Bumi adalah kompleksitas, sebagaimana diri ma-nusia menjadi mikrokosmik yang rumit. Kemam-puan manusia mengendalikan diri pribadi menjadi indikator yang baik bagi kemampuannya melak-sanakan mandat Allah.

Di saat tidak ada makhluk yang merasa sesuai dengan tugas mengelola bumi, manusia diuji untuk mencobanya. Dia akan mampu, karena Allah telah membekalinya dengan kemampuan.

Namun dia akan jatuh bila kemampuan yang diberikan Tuhan disia-siakannya. Akhirnya terserah manusia apakah ia akan berjuang menun-jukkan bahwa dirinya layak menjadi khalifah-Nya atau seperti sinyalemen para malaikat, hanya dapat merusak dan menciptakan pertumpahan darah.

Konon ketika Adam as dipermaklumkan Allah akan menjadi khalifah di muka bumi, majelis agung malaikat mengajukan keberatan yang sangat. Para malaikat bukannya berkeberatan atas kehendak Yang Maha Kuasa atau bahkan meragukan keputusan-Nya. Ada kesan sangsi terhadap kemampuan makhluk bernama manusia, yang saat itu direpresentasikan oleh sosok Adam as.

Apakah Engkau akan memberikan mandat untuk mengelola bumi kepada makhluk yang berbuat kerusakan dan gemar menumpahkan darah, Tuhan. Padahal kami di sini senantiasa bertasbih dengan memuji keagungan-Mu serta mensucikan-Mu. Demikian merekamenyatakan pandangannya.

Begitu kontras kesan pertama manusia di mata malaikat yang dekat dengan Tuhan. Manusia adalah makhluk yang perusak dan haus darah, sedang malaikat adalah makhluk suci dan senantiasa mengabdi.

Barangkali malaikat khawatir melihat nasib bumi yang telah disiapkan dengan aneka keindahan, dengan ragam potensi untuk tumbuh kembang menghiasi mayapada, menjadi sebuah surga di alam semesta, tiba-tiba ia menjadi benda yang patut dikasihani lantaran ulah manusia.

Apakah manusia memang memiliki kecenderung-an atau tabiat untuk merusak dan menumpahkan darah? Ataukah malaikat hanya bercermin kepada realita empiris di bumi yang mereka saksikan sebelum Adam as diutus untuk melakukan pem-baruan? Untuk semua pertanyaan itu, Allah menjawabnya, Aku Maha Tahu tentang apa yang tidak kalian ketahui.

Adam as. kemudian menjadi prototipe manusia yang di kemudian hari anak cucunya memegang kendali pengelolaan bumi. Adam adalah khalifah dunia pertama kalinya, perintis hidup berkeadab-an yang diharapkan mampu menunjukkan kua-litas dirinya, tidak seperti yang disangsikan oleh para malaikat.

Anggaplah di bumi sebelum Adam as. telah berkembang sebentuk kehidupan, maka kehadiran Adam as adalah sebuah era baru dalam per-jalanan makhluk dan alam semesta secara global. Bagaimana prediksi kehidupan di era baru kehidupan bumi antara lain bisa diamati dari apa yang di alami Adam as sebagai protoripe manusia yang akan mengolahnya di kemudian hari.

Ada beberapa hal yang dijalani Adam as di awal keberadaannya. Pertama, Adam as. tidak semata cermin ruh-Allah yang Maha Quddus dengan segenap kemahasempurnaan nama, sifat dan mahakarya-Nya, melainkan paduan antara anasir-anasir tanah (thin, turab, shalshal, dst) yang me-miliki karakteristik non-ruhiyah.

Dengan demi-kian pada diri manusia terdapat dua dimensi dasar yang masing-masing memiliki tabiatnya sendiri. Kedua, Adam as. diberi ilmu-Allahyang khusus, dimana para malaikat yang dekat dengan-Nya saja tidak memperoleh ilmu ini.

Ilmu ini digam-barkan mengungguli pengetahuan malaikat se-hingga mereka menjadi respek terhadap kemam-puan manusia dan kesiapannya dalam melaksa-nakan amanat
kekhalifahan. Ketiga, Adam as diuji untuk menunjukkan kualitas dirinya.

Dengan kata lain Adam as harus lulus uji prestasi dalam hal ini ia bisa memperlihatkan karyadan produk dari pencerapan ilmu Allah. Sampai tahap ini barulah Adam as. layak untuk dihargai.

Pelajaran dari elaborasi di atas adalah diperoleh-nya suatu ajakan bagi semua kita untuk me-lakukan evaluasi ulang terhadap keadaban hidup kita sekarang ini. Jangan-jangan di tempat yang kita huni ini sinyalemen malaikat tengah terjadi dengan sangat jelasnya. Kita hanyalah makhluk-makhluk yang gemar menciptakan kerusakan-kerusakan terhadap kehidupan setelah kehidupan ini ditata dengan hukum dan sunatullah yang seimbang (ba’da ishlaahihaa).

Kita lihat di darat-an dan di lautan sebagai simbol berbagai lini kehidupan kita. Lihatlah di
segala bidang kehi-dupan kita, ekonomi kita, budaya kita, kehidupan sosial, politik kita, di lapangan pendidikan, dan moralitas kemanusiaan kita. Kerusakan, ketimpangan !!

Di sebagian belahan bumi kita, sekian banyak manusia anak-anak Adam as. memangsa sesa-manya yang tidak berdosa dengan kekejian yang tidak terkira. Darah tumpah membasahi tanah air mereka, anak-anak bayi dipadamkan masa depan-nya, para wanita direndahkan kehormatannya, para pemudanya ditangkapi dan diperjarakan dengan siksaan, para ulama penganjur kebenaran dan penyambung suara Tuhan diintimidasi dan dibungkam.

Gejala apakah ini, ketika manusia masih dikuasai dorongan haus darah untuk berperang karena membela egosime nafsu syah-wat mereka? Ketika suara-suara Tuhan mereka benamkan ke sisi-sisi kehidupan?

Bukankah ini yang disoroti malaikat yang sangsi terhadap sifat amanahnya manusia sebagai mandataris Allah ? Aku Maha Tahu tentang apa yang tidak kalian ketahui, demikian Allah berfirman. Lalu ada apa di balik kata-kata-Nya?

Daripada mempertanyakan bahkan meminta per-tanggungjawaban Tuhan, alangkah
lebih mawas diri apabila kita melakukan introspeksi saja. Karena Diapun mengajari kita demikian. Jangan-jangan kita kehilangan tiga modal utama yang diteladankan Adam as moyang kita:

(1) kita tidak lagi care/peduli terhadap aspek ruhaniyah kita yang memiliki tabiat adiluhung untuk menjunjung nilai-nilai ketuhanan di muka bumi, sehingga manusia tidak lagi mewakili-Nya. Manusia telah murtad dari gambaran Tuhan,

(2) manusia tidak lagi memandang penting untuk melakukan pencerapan ilmu-ilmu Tuhan yang khusus yang wallaahu ‘alam seperti apa konstruksi sejatinya, namun hal ini mestinya mendorong kita untuk mendekati pemiliknya. Bukah bahkan menjauhi dan memusuhinya,

(3) kita tidak lagi memiliki kegairahan dan motivasi untuk berprestasi dan berkarya, membuktikan bahwa kita layak menjadi representasi karya Tuhan.

Karena kita kehilangan ketiga modal ini, kita menjadi tidak memiliki harga, sehingga tidak layak mendapatkan penghargaan dari siapapun. Apalagi dari Allah yang telah memandatkan pengelolaan bumi ini agar beradab.

Kalau kita tidak lagi berharga, maka tidak ada yang perlu dituding bila kita ditimpa banyak kehinaan. Karena demikian itulah kualitas kita. Bukan lagi kualitas khalifah yang pantas menjadi wakil-Nya di bumi. Wallahu'alam.

Oleh : Dr. Asep Dudi-Unisba Bandung.
Eramuslim

Komentar

Postingan Populer