Hukum Air

“Dan sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya, engkau melihat bumi itu kering dan tandus, tetapi apabila Kami turunkan hujan di atasnya, niscaya ia akan bergerak dan subur. Sesungguhnya (Alloh) yang menghidupkannya pasti dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu [QS 41: 39]”
hukum airAir memang memegang peranan strategis bagi kehidupan alam semesta. Dua pertiga dari bumi kita terdiri dari perairan. Begitu pula dengan komponen penyusun tubuh manusia yang 90% terdiri dari cairan. Tidak ada salhnya jika kita mengenal lebih dekat dengan air.

Air sebagai sumber kehidupan makhluk hidup memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Lalu bagaimana kriteria air yang mensucikan dan tidak mensucikan? Berikut tajuk tentang hukum air. Ada lima jenis hukum air yang berlaku:

1. Air Muthlaq, seperti air hujan, air sungai, air laut, air salju, dan air zam-zam.

Hukum: suci dan mensucikan. Berarti, kalo kasus Si Fulan di atas, boleh, dunk, menggunakan air hujan sebagai sarana berwudhu.

2. Air Musta’mal, yaitu air yang lepas dari anggota tubuh orang yang sedang berwudhu atau mandi, dan tidak mengenai benda najis;

Hukum: suci seperti yang disepakati para ulama, dan tidak mensucikan menurut jumhurul ulama.

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :

Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berpapasan dengannya di salah satu jalan Madinah saat ia junub. Lalu ia menyelinap, kemudian pergi mandi. Lalu datang lagi, maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Kemana engkau tadi wahai Abu Hurairah ?”. Ia menjawab : “Saya tadi dalam keadaan junub. Saya tidak senang mendampingi Anda dalam keadaan tidak suci”. Lalu beliau bersabda : “Maha Suci Allah. Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis” [HR. Jama’ah; shahih].

Segi pemahaman hadits di atas adalah bahwa karena orang mukmin itu tidak najis, maka tidak ada alasan air yang tersentuh olehnya menjadi hilang sifat kesuciannya. Bertemunya dua barang yang suci (air dan tubuh orang mukmin), tentu tidak menimbulkan pengaruh terhadap kesuciannya.

3. Air yang bercampur benda suci, seperti air teh, air kopi, STMJ, air cuka, dan air sabun, selama percampuran itu sedikit tidak mengubah nama air.

Hukum: tidak mensucikan menurut Imam Syafi’i dan Malik. Kalo tidak mensucikan, berarti ndak boleh dipake buat thaharah/ bersuci.

4. Air yang terkena najis, jika mengubah rasa, warna, atau aromanya, maka hukumnya najis tidak boleh dipakai bersuci, menurut ijma’. Sedang jika tidak mengubah salah satu sifatnya, maka mensucikan, menurut Imam Malik, baik air itu banyak atau sedikit; tidak mensucikan menurut Madzhab Hanafi; mensucikan menurut Madzhab Syafi’i jika telah mencapai dua kulah, yang diperkirakan sebanyak volume tempat yang berukuran 60 cm3.

5. Su’r (sisa) yaitu air yang tersisa di tempat minum setelah diminum:

a. Sisa anak Adam (manusia) hukumnya suci, meskipun ia seorang kafir, junub, atau haidh.

b. Sisa kucing dan hewan yang halal dagingnya, hukumnya suci.

c. Sisa keledai dan binatang buas, juga burung, hukumnya suci menurut madzhab Hanafi.

d. Sedangkan sisa anjing dan babi, hukumnya najis menurut seluruh ulama

Semoga sedikit uraian tentang hukum air menambah khasanah dan rasa syukur kita terhadap nikmat Sang Pencipta, ya. Air perlu dijaga kelestariannya dan perlu diperhatikan hukum pemanfaatannya secara bijak.

sumber: wisata ruhani

Komentar

Postingan Populer