Tuanku Imam Bonjol, Pejuang dan Pembaru Islam dari Ranah Minang

Ia juga dikenal sebagai pencetus lahirnya falsafah hidup orang Minang.

Tak ada yang menyangsikan betapa gigihnya Tuanku Imam Bonjol saat berjuang melawan penjajah Belanda di abad ke-19.

Pantaslah, jika kemudian gelar pahlawan nasional disematkan kepadanya sekitar 39 tahun silam.

Namun, sejatinya ada yang luar biasa dari sosok bernama asli Muhammad Shahab itu dari sekadar berperang melawan penjajah. Dialah salah satu tokoh revolusioner pergerakan Islam di negeri ini.

Dalam buku berjudul “Pergerakan Pemikiran Islam di Minangkabau”, Masoed Abidin bin Zainal Abidin Jabbar menulis, Imam Bonjol telah melakukan perubahan besar melalui benturan nilai Islam terhadap tradisi masyarakat Minangkabau. Ia juga menyebut Imam Bonjol sebagai tokoh gerakan pembaru Islam.

Dalam catatan lainnya, Imam Bonjol juga disebut sebagai pencetus lahirnya falsafah hidup orang Minang. Nilai falsafah itu adalah adat basandi syarak (adat berdasarkan agama), dan syarak basandi kitabullah (agama berdasarkan kitabullah). Falsafah hidup ini dilahirkan dari Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mempersatukan kaum adat dan kaum Padri untuk berjuang bersama melawan Belanda.

Dalam tradisi adat Minangkabau, Tuanku merupakan gelar kehormatan bagi pemimpin agama. Hanya ulama yang telah menguasai ilmu agama Islam secara paripurna yang berhak mendapatkan gelar ini.

Dan, Imam Bonjol adalah salah satu ulama mumpuni di Ranah Minang sehingga mendapat gelar kehormatan ini. “Selama 25 tahun, Imam Bonjol menjadi basis gerakan pembaruan berdasarkan ajaran adat dan syarak,” tulis Masoed.

Imam Bonjol lahir di Kampung Tanjung Bungo, Pasaman, pada 1772. Ia adalah salah satu putra dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun. Selain dia, pasangan suami istri ini juga memiliki dua anak lainnya yang berjenis kelamin perempuan.

Dari kecil, Imam Bonjol yang kala itu akrab disapa Shahab sudah belajar ilmu agama, termasuk ilmu Alquran, dari ayahnya yang merupakan ulama dari tempat nya berasal.

Bertahun-tahun kemudian ketika usianya menginjak 30 tahun, Shahab diangkat menjadi guru tuo atau guru pembantu di surau Tuanku Bandaro yang ada di Padang Laweh.

Tuanku Bandaro adalah murid dari Tuanku Nan Tuo yang juga menjadi salah satu ulama besar di bumi Minang. Pada masa ini, ia diberikan digelar Malin Basa.

Pada 1805, Tuanku Datuk Bandaro bersama Malin Basa menuntut ilmu ke surau Bansa yang ada di Kamang. Dari sinilah keduanya mengenal langsung pembaruan agama Islam yang dicetuskan oleh Tuanku Nan Renceh bersama Tuanku Haji Miskin.

Ada pelajaran berharga yang didapat Malin Basa dari Tuanku Nan Renceh, yakni pengetahuan untuk memajukan kesejahteraan masyarakat. Sementara dari Tuanku Haji Miskin, Malin Basa mendapat dasar pengetahuan fikih tentang hak warisan dan hukum perdagangan.

Dari sinilah, Imam Bonjol muda mendapat bekal ilmu untuk melakukan pembaruan berdasarkan hukum Islam yang mengatur hak masyarakat dalam perdagangan dan warisan. Pada fase ini, gelar baru diberikan lagi kepada Shahab, yakni Peto Syarif.

Membangun Bonjol
Pada 1807, Peto Syarif bersama pengikutnya hijrah lalu mendirikan sebuah kota kecil bernama Bonjol. Di tempat ini, gelar baru diberikan. Kali ini gelar yang disandangnya adalah Tuanku Imam.

Gelar yang diberikan oleh Tuanku Nan Renceh ini sekaligus merupakan penobatan Peto Syarif sebagai pemimpin kaum Padri di Kota Bonjol. Selanjutnya, Peto Syarif lebih dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol.

Selain menjadi pemimpin umat, Tuanku Imam Bonjol juga mengembangkan usaha perdagangan. Pada masanya, ia berusaha mengamankan jalur perdagangan di pantai barat dan pantai timur Sumatra dengan bantuan hulubalang.

Pengembangan perdagangan ini meluas hingga ke Tapanuli Selatan. Alhasil, pada masa itu Bonjol telah berkembang menjadi pusat pembaruan Islam sekaligus perdagangan di Minangkabau.

Perang Padri adalah sebuah peperangan antara kaum Padri (ulama) dan kaum adat.

Dalam bukunya, Masoed menulis, banyak harta rampasan dibawa ke Bonjol. Ketika Bonjol dibangun dan terus berkembang, perang saudara tak bisa terelakkan.

Perang saudara itu dikenal sebagai Perang Padri, sebuah peperangan antara kaum Padri (ulama) dan kaum adat.

Seiring berjalannya waktu, perang saudara ini ternyata membawa Belanda ikut terlibat. Pada 1820, Tuanku Imam Bonjol tampil sebagai panglima utama menggantikan Tuanku Nan Renceh yang dipanggil oleh Sang Khalik.

Perlawanan yang dikomandani oleh Tuanku Imam Bonjol mendapatkan simpati dari seluruh masyarakat Minangkabau.

Perang Padri dan Imam Bonjol
Perang Padri menjadi peristiwa bersejarah yang tak bisa dilepaskan dari sosok Tuanku Imam Bonjol. Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di Ranah Minang, terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung pada 1803-1838.

Pada awalnya, seperti diulas di laman wikipedia, peperangan ini pecah akibat pertentangan dalam masalah agama. Kala itu, sekelompok ulama yang dijuluki Kaum Padri mengecam kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yang disebut kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya.

Kebiasaan yang di maksud, antara lain, perjudian, sabung ayam, mengonsumsi minuman keras, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam di kalangan kaum Adat.

Tak mempan dengan kritik itu, kaum Adat tetap pada kebiasaan semula, padahal mereka mengaku sebagai Muslim. Hal ini menimbulkan kemarahan kaum Padri sehingga pecahlah perang saudara itu.

Hingga 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yang melibatkan sesama Minang dan Mandailing. Pada perang ini, kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan, sedangkan kaum Adat dikomandani oleh Yang Dipertuan Pagaruyung, yakni Sultan Arifin Muningsyah.

Pada 1821, kaum Adat yang mulai terdesak meminta bantuan kepada Belanda. Namun, keterlibatan Belanda ini justru memperumit keadaan sehingga sejak tahun 1833, kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama kaum Padri.

Saat itu, muncul kesadaran bahwa mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau sendiri.

Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah.

Kesepakatan ini yang mewujudkan konsensus adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (adat berdasarkan agama, agama berdasarkan Kitabullah/Alquran).

Tuanku Imam Bonjol yang saat itu telah menjadi panglima utama Perang Padri juga merasakan penyesalan itu. Ia menyesali tindakan kaum Padri atas sesama orang Minang, Mandailing, dan Batak.

Penyesalan itu tergambar dari ucapannya, “Adopun hukum Kitabullah banyaklah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian?” (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?)

Ditangkap Belanda
Tak kurang 15 tahun, Tuanku Imam Bonjol mengerahkan segenap daya upaya dalam memimpin perlawanan atas pasukan Belanda. Pada saat yang sama, pihak Belanda pun terus melancarkan perlawanan sengit.

Pada 28 Oktober 1837, Belanda akhirnya berhasil menangkap Tuanku Imam Bonjol lewat tipu muslihat berdalih ajakan perundingan. Setelah ditangkap, pemimpin kaum Padri ini diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat.

Pemindahan penahanan ini terus berlanjut hingga ke Sulawesi Utara, tepatnya di Lotak, Pineleng, sebuah kota kecil berjarak sembilan kilometer dari Manado. Di kota kecil ini pulalah, Tuanku Imam Bonjol mengembuskan napas terakhirnya dalam usia 92 tahun.

Masih dalam bukunya, Masoed menulis, Tuanku Imam Bonjol wafat pada 17 November 1854 di Lotak, Pineleng. Namun, informasi mengenai wafatnya Imam Bonjol baru disebarluaskan 10 tahun kemudian. “Sehingga kematiannya tercatat pada tahun 1864,” tulisnya.

Pada akhirnya, Belanda memang berhasil menghentikan Perang Padri dan meringkus panglimanya. Namun, sepak terjang Tuanku Imam Bonjol dalam melawan penjajah, terlebih dalam membela syariat Islam, tak lekang oleh masa.

Dari fakta-fakta sejarah yang terungkap di muka, tampak jelas betapa Tuanku Imam Bonjol telah melancarkan perjuangan politik agar masyarakat dapat menjalankan syariat Islam secara utuh.

Komentar

Postingan Populer