Allah Swt Tidak Adil?
SIANG yang panas menyengat. Seorang penunggang kuda yang masih muda belia tampak begitu kelelahan dan kehausan. Maka, tatkala tiba di suatu Wadi yang bening airnya dengan tanaman rindang di sekelilingnya, penunggang kuda itu menghentikan kudanya dan turun di tempat tersebut.
Si pemuda berbaring. Lalu meletakkan sebuah bungkusan di sampingnya. Matahari sangat terik, namun di situ amat teduh, sehingga tanpa sengaja ia tertidur pulas. Ia tidur lelap seteleh memuaskan dahaganya dengan minum air bening di Wadi tersebut.
Ketika ia terjaga, matahari mulai condong. Ia sedang mengejar waktu karena ibunya sakit keras. Nampaknya ia anak orang yang kaya-raya, terlihat dari pakainnya yang mewah dan kudanya yang mahal. Ketika bangun, pemuda itu terkejut sekali menyadari hari telah menjelang sore. Dengan tergesa-gesa ia melompat ke punggung kuda. Bungkusannya tertinggal sebab ia hanya berpikir untuk segera tiba di rumah, menunggui ibunya yang sedang sekarat. Bapaknya sudah meninggal, dibunuh orang beberapa tahun berselang.
Tidak lama setelah ia meninggalkan tempat tersebut, seorang pengembala lewat di tempat itu. Ia terkesima melihat ada sebuah bungkusan kain tergeletak di bawah pohon. Diambilnya bungkusan itu, lalu dibawanya pulang ke gubuknya yang buruk. Alangkah gembiranya hati si anak gembala tatkala melihat bungkusan itu berisi emas dan permata yang pasti amat berharga. Ia yatim piatu dan masih kecil sehingga penemuan itu dianggapnya merupakan hadiah baginya.
Ketika tempat tadi sudah sepi, seorang kakek yang bungkuk berjalan terseok-seok melalui wadi tersebut. Karena capai, ia pun duduk beristirahat di bawah pohon yang rimbun. Belum sempat ia melepas lelah, anak muda penunggang kuda yang tertidur tadi datang kembali hendak mengambil bungkusannya yang tertinggal. Ia memacu kudanya seperti kesetanan agar belum ada orang yang menemukan miliknya.
Tatkala ia sampai, alangkah terkejutnya pemuda tersebut melihat bahwa di bawah pohon tempatnya beristirahat tadi kini terdapat seorang kakek. Dan ia lebih terperanjat lagi ketika dilihatnya bungkusan kainnya sudah lenyap dari situ.
Maka pemuda itu dengan suara keras bertanya kepada si kakek, “Mana bungkusan yang tadi di sini?”
“Aku tidak tahu,” jawab si kakek dengan gemetar.
“Jangan bohong!” bentak si pemuda.
“Sungguh, waktu aku tiba di sini, tidak ada apa-apa kecuali kotoran kambing.”
“Kurang ajar! Hei kakek. mau mempermainkan aku? Pasti engkau yang mengambil bungkusanku dan menyembunyikannya di suatu tempat. Ayo, kembalikan! Bungkusan itu baru kuambil dari kawan ayahku sebagai warisan yang dititipkan ayahku kepadanya untuk diserahkan kepadaku kalau aku sudah dewasa, yaitu sekarang ini. Kembalikan!”
“Sumpah, aku tidak tahu,” si kakek menyahut makin ketakutan.
“Kurang ajar! Bohong! Ayo, serahkan kembali. Bila tidak, tahu rasa nanti,” hardik si pemuda tambah berang.
Karena kakek itu tidak tahu apa-apa, maka ia tetap bersikeras bahwa ia tidak melihat bungkusan tersebut, ia tidak mengambil atau menyembunyikan bungkusan mahal itu.
Si pemuda makin berang dan tidak dapat mengendalikan kemarahannya lagi. Dicabutnya sebilah pedang pendek dari pinggangnya, dan kakek tadi dibunuhnya dengan darah dingin. Lantas, sesudah dicarinya ke sana kemari tidak ditemukannya juga, ia pun melompat ke atas kudanya dan memacunya menuju ke kampung halamannya. Hatinya mendongkol, marah dan kecewa.
Berita ini ditanyakan kepada Nabi Musa oleh salah seorang muridnya: “Wahai, Nabiyullah. Bukankah cerita tersebut justru menunjukkan ketidakadilan Tuhan?”
“Maksudmu?” tanya Nabi Musa.
“Kakek itu tidak berdosa, tetapi harus menanggung malapetaka yang tidak patut diterimanya. Sedangkan si anak gembala yang mengantungi harta itu malah bebas, tidak mendapatkan balasan yang setimpal.”
“Allah swt tidak adil?” , ucap Nabi Musa terbelalak. “MasyaAllah. Dengarkan baik-baik latar belakangnya. Tanpa setahu yang mengalami peristiwa tersebut, sebenarnya rentetan kejadian itu adalah bukti keadilan Allah swtdalam membalas perbuatan hamba-Nya.”
Kemudian Nabi Musa pun berkisah: “Ketahuilah, dahulu ada seorang petani hartawan dirampok semua perhiasan dan harta benda miliknya oleh dua orang bandit kejam. Setelah berhasil, dalam membagi harta rampokan itu terjadilah kecurangan. Salah seorang bandit itu sangat tamak, sehingga harta rampasan tersebut dikuasainya sendiri. Maka bandit yang kedua pun jadi marah dan dendam, sehingga pada suatu hari, bandit yang serakah itu dibunuh kawannya. Dia adalah kakek bungkuk yang dibantai oleh penunggang kuda itu. Dan siapa pula bandit pertama yang dibunuh? Dia adalah ayah dari pemuda yang membunuh si kakek. Di sini berarti nyawa dibayar dengan nyawa.
“Adapun petani hartawan yang hartanya dikuras oleh kedua bandit tersebut adalah ayah dari anak yatim piatu yang mengambil bungkusan kain tadi. Itulah keadilan Allah swt juga. Harta kekayaan telah kembali kepada yang berhak, dan kejahatan kedua bandit tersebut telah memperoleh balasan yang setimpal. Meskipun peristiwanya tidak berlangsung tepat pada saatnya, namun toh sesuai dengan kejahatan mereka?” [sa/islampos/disadur dari: 30 Kisah Teladan oleh KH Abdurrahman Arroisi]
Si pemuda berbaring. Lalu meletakkan sebuah bungkusan di sampingnya. Matahari sangat terik, namun di situ amat teduh, sehingga tanpa sengaja ia tertidur pulas. Ia tidur lelap seteleh memuaskan dahaganya dengan minum air bening di Wadi tersebut.
Ketika ia terjaga, matahari mulai condong. Ia sedang mengejar waktu karena ibunya sakit keras. Nampaknya ia anak orang yang kaya-raya, terlihat dari pakainnya yang mewah dan kudanya yang mahal. Ketika bangun, pemuda itu terkejut sekali menyadari hari telah menjelang sore. Dengan tergesa-gesa ia melompat ke punggung kuda. Bungkusannya tertinggal sebab ia hanya berpikir untuk segera tiba di rumah, menunggui ibunya yang sedang sekarat. Bapaknya sudah meninggal, dibunuh orang beberapa tahun berselang.
Tidak lama setelah ia meninggalkan tempat tersebut, seorang pengembala lewat di tempat itu. Ia terkesima melihat ada sebuah bungkusan kain tergeletak di bawah pohon. Diambilnya bungkusan itu, lalu dibawanya pulang ke gubuknya yang buruk. Alangkah gembiranya hati si anak gembala tatkala melihat bungkusan itu berisi emas dan permata yang pasti amat berharga. Ia yatim piatu dan masih kecil sehingga penemuan itu dianggapnya merupakan hadiah baginya.
Ketika tempat tadi sudah sepi, seorang kakek yang bungkuk berjalan terseok-seok melalui wadi tersebut. Karena capai, ia pun duduk beristirahat di bawah pohon yang rimbun. Belum sempat ia melepas lelah, anak muda penunggang kuda yang tertidur tadi datang kembali hendak mengambil bungkusannya yang tertinggal. Ia memacu kudanya seperti kesetanan agar belum ada orang yang menemukan miliknya.
Tatkala ia sampai, alangkah terkejutnya pemuda tersebut melihat bahwa di bawah pohon tempatnya beristirahat tadi kini terdapat seorang kakek. Dan ia lebih terperanjat lagi ketika dilihatnya bungkusan kainnya sudah lenyap dari situ.
Maka pemuda itu dengan suara keras bertanya kepada si kakek, “Mana bungkusan yang tadi di sini?”
“Aku tidak tahu,” jawab si kakek dengan gemetar.
“Jangan bohong!” bentak si pemuda.
“Sungguh, waktu aku tiba di sini, tidak ada apa-apa kecuali kotoran kambing.”
“Kurang ajar! Hei kakek. mau mempermainkan aku? Pasti engkau yang mengambil bungkusanku dan menyembunyikannya di suatu tempat. Ayo, kembalikan! Bungkusan itu baru kuambil dari kawan ayahku sebagai warisan yang dititipkan ayahku kepadanya untuk diserahkan kepadaku kalau aku sudah dewasa, yaitu sekarang ini. Kembalikan!”
“Sumpah, aku tidak tahu,” si kakek menyahut makin ketakutan.
“Kurang ajar! Bohong! Ayo, serahkan kembali. Bila tidak, tahu rasa nanti,” hardik si pemuda tambah berang.
Karena kakek itu tidak tahu apa-apa, maka ia tetap bersikeras bahwa ia tidak melihat bungkusan tersebut, ia tidak mengambil atau menyembunyikan bungkusan mahal itu.
Si pemuda makin berang dan tidak dapat mengendalikan kemarahannya lagi. Dicabutnya sebilah pedang pendek dari pinggangnya, dan kakek tadi dibunuhnya dengan darah dingin. Lantas, sesudah dicarinya ke sana kemari tidak ditemukannya juga, ia pun melompat ke atas kudanya dan memacunya menuju ke kampung halamannya. Hatinya mendongkol, marah dan kecewa.
Berita ini ditanyakan kepada Nabi Musa oleh salah seorang muridnya: “Wahai, Nabiyullah. Bukankah cerita tersebut justru menunjukkan ketidakadilan Tuhan?”
“Maksudmu?” tanya Nabi Musa.
“Kakek itu tidak berdosa, tetapi harus menanggung malapetaka yang tidak patut diterimanya. Sedangkan si anak gembala yang mengantungi harta itu malah bebas, tidak mendapatkan balasan yang setimpal.”
“Allah swt tidak adil?” , ucap Nabi Musa terbelalak. “MasyaAllah. Dengarkan baik-baik latar belakangnya. Tanpa setahu yang mengalami peristiwa tersebut, sebenarnya rentetan kejadian itu adalah bukti keadilan Allah swtdalam membalas perbuatan hamba-Nya.”
Kemudian Nabi Musa pun berkisah: “Ketahuilah, dahulu ada seorang petani hartawan dirampok semua perhiasan dan harta benda miliknya oleh dua orang bandit kejam. Setelah berhasil, dalam membagi harta rampokan itu terjadilah kecurangan. Salah seorang bandit itu sangat tamak, sehingga harta rampasan tersebut dikuasainya sendiri. Maka bandit yang kedua pun jadi marah dan dendam, sehingga pada suatu hari, bandit yang serakah itu dibunuh kawannya. Dia adalah kakek bungkuk yang dibantai oleh penunggang kuda itu. Dan siapa pula bandit pertama yang dibunuh? Dia adalah ayah dari pemuda yang membunuh si kakek. Di sini berarti nyawa dibayar dengan nyawa.
“Adapun petani hartawan yang hartanya dikuras oleh kedua bandit tersebut adalah ayah dari anak yatim piatu yang mengambil bungkusan kain tadi. Itulah keadilan Allah swt juga. Harta kekayaan telah kembali kepada yang berhak, dan kejahatan kedua bandit tersebut telah memperoleh balasan yang setimpal. Meskipun peristiwanya tidak berlangsung tepat pada saatnya, namun toh sesuai dengan kejahatan mereka?” [sa/islampos/disadur dari: 30 Kisah Teladan oleh KH Abdurrahman Arroisi]
Komentar
Posting Komentar