Belajar Arif
Pada suatu malam khalifah Umar bin Abdul Aziz melakukan sidak. Ia ditemani seorang petugas keamanan. Keduanya masuk sebuah masjid yang lampunya padam.
Tanpa disengaja, kaki sang khalifah menginjak seseorang yang sedang tidur. Orang itu terbangun dan berkata kepada Umar: "Apakah engkau gila?" "Tidak, saya tidak gila," jawab sang khalifah.
Petugas keamanan sempat tersinggung atas upacan tidak sopan itu. Ia bermaksud memukulnya, tetapi dicegah khalifah. "Jangan kau pukul. Dia cuma bertanya: "Apakah engkau gila? dan sudah aku jawab: “Aku tidak gila". Sebagai Amirul Mukminin, aku sama sekali tidak merasa dihina atau dilecehkan. "Engkau jangan mudah marah, dia bertanya begitu karena belum sepenuhnya sadar, terbangun secara tiba-tiba. Kedatangan kita ke masjid ini boleh jadi mengganggu tidurnya," nasehat khalifah kepada petugas keamanan.Kisah unik tersebut memberi pesan moral kepada kita, kearifan dan kematangan emosi mutlak dimiliki seorang pemimpin, di samping kesantunan, keramahtamahan, dan mampu membawakan diri dalam berbagai situasi.
Karena kearifian merupakan kunci harmoni sosial. Sementara itu, emosi tak terkendali, reaksioner jika dikritik, dan mudah mengeluh atau mencurhatkan persoalan pribadi, hanya akan membuat masalah tidak terselesaikan dengan baik.
Kearifan mengantarkan kepada persahabatan sejati. Kearifan tidak hanya dapat meredam permusuhan, dan mengalahkan nafsu amarah yang diprovokasi oleh setan, juga dapat mencerdaskan emosi dan tidak mudah menyakiti pihak lain sehingga mudah bergaul, beradaptasi, dan bermasyarakat secara empati dan baik hati.
Pemimpin yang arif, tidak mudah marah dan meluapkan emosi tanpa pengendalian diri. Nabi Muhammad saw adalah figur paling arif nan santun yang patut diteladani.
Beliau pernah dilempari kotoran setiap kali melewati rumah seorang Yahudi, tapi beliau tidak membalas dendam dan sakit hati.
Pada kali yang keempat lewat di depan rumahnya, beliau justru merasa heran, kenapa orang yang biasa melemparinya dengan kotoran busuk itu tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Setelah diselidiki, ternyata orang Yahudi itu sakit. Beliau malah merespon positif dengan mendatangi rumahnya untuk menjenguk dan mendoakan kesembuhannya.
Melihat perlakuan Nabi saw yang luar biasa arif, Yahudi itu malu dan sempat menduga kedatangan rasul untuk membalas dendam. Sesampai di rumahnya, beliau ternyata memberi senyum ramah kepadanya sembari menanyakan sakitnya.
Ia meminta maaf kepada Rasulullah saw. "Sungguh engkau adalah orang yang sangat berhati mulia, arif, dan pemaaf. Tidak menaruh dendam sedikit pun, padahal aku telah menyakiti hatimu. Agama yang membuatmu berhati santun, arif, dan pemaaf, pastilah agama yang benar sesuai dengan fitrah manusia," kata Yahudi itu seraya masuk Islam.
Sungguh indah kearifan itu, karena dapat melejitkan segala kebaikan, mentransfer keburukan menjadi kebaikan, permusuhan menjadi saling memaafkan.
"Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia." (QS. Fushshilat [41]: 34)
Begitulah dahulu Nabi saw berdakwah dengan kearifan dan kesantunan hati, sehingga orang Yahudi yang sangat keras permusuhannya terhadap orang-orang beriman (QS. al-Maidah [5]: 82) itu pun mengakui kemuliaan dan keluhuran moralitas Islam yang diteladankan Nabi SAW.
Dari kearifan pemimpin seperti itulah, Islam sebagai rahmat bagi semua patut diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang semakin jauh dari keluhuran moral.
Belajar menjadi arif merupakan terhormat bagi siapapun, lebih-lebih bagi pemimpin. Karena menjadi arif jauh lebih mulia daripada bersikap emosional dan mudah mengambil keputusan tanpa pertimbangan yang matang.
Kearifan memang menjadi kunci kecintaan sang pemimpin terhadap rakyat. Hanya pemimpin ariflah yang akan selalu melayani dan mencitai rakyat sendiri. Wallahu a'lam bish Shawab.
Tanpa disengaja, kaki sang khalifah menginjak seseorang yang sedang tidur. Orang itu terbangun dan berkata kepada Umar: "Apakah engkau gila?" "Tidak, saya tidak gila," jawab sang khalifah.
Petugas keamanan sempat tersinggung atas upacan tidak sopan itu. Ia bermaksud memukulnya, tetapi dicegah khalifah. "Jangan kau pukul. Dia cuma bertanya: "Apakah engkau gila? dan sudah aku jawab: “Aku tidak gila". Sebagai Amirul Mukminin, aku sama sekali tidak merasa dihina atau dilecehkan. "Engkau jangan mudah marah, dia bertanya begitu karena belum sepenuhnya sadar, terbangun secara tiba-tiba. Kedatangan kita ke masjid ini boleh jadi mengganggu tidurnya," nasehat khalifah kepada petugas keamanan.Kisah unik tersebut memberi pesan moral kepada kita, kearifan dan kematangan emosi mutlak dimiliki seorang pemimpin, di samping kesantunan, keramahtamahan, dan mampu membawakan diri dalam berbagai situasi.
Karena kearifian merupakan kunci harmoni sosial. Sementara itu, emosi tak terkendali, reaksioner jika dikritik, dan mudah mengeluh atau mencurhatkan persoalan pribadi, hanya akan membuat masalah tidak terselesaikan dengan baik.
Kearifan mengantarkan kepada persahabatan sejati. Kearifan tidak hanya dapat meredam permusuhan, dan mengalahkan nafsu amarah yang diprovokasi oleh setan, juga dapat mencerdaskan emosi dan tidak mudah menyakiti pihak lain sehingga mudah bergaul, beradaptasi, dan bermasyarakat secara empati dan baik hati.
Pemimpin yang arif, tidak mudah marah dan meluapkan emosi tanpa pengendalian diri. Nabi Muhammad saw adalah figur paling arif nan santun yang patut diteladani.
Beliau pernah dilempari kotoran setiap kali melewati rumah seorang Yahudi, tapi beliau tidak membalas dendam dan sakit hati.
Pada kali yang keempat lewat di depan rumahnya, beliau justru merasa heran, kenapa orang yang biasa melemparinya dengan kotoran busuk itu tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Setelah diselidiki, ternyata orang Yahudi itu sakit. Beliau malah merespon positif dengan mendatangi rumahnya untuk menjenguk dan mendoakan kesembuhannya.
Melihat perlakuan Nabi saw yang luar biasa arif, Yahudi itu malu dan sempat menduga kedatangan rasul untuk membalas dendam. Sesampai di rumahnya, beliau ternyata memberi senyum ramah kepadanya sembari menanyakan sakitnya.
Ia meminta maaf kepada Rasulullah saw. "Sungguh engkau adalah orang yang sangat berhati mulia, arif, dan pemaaf. Tidak menaruh dendam sedikit pun, padahal aku telah menyakiti hatimu. Agama yang membuatmu berhati santun, arif, dan pemaaf, pastilah agama yang benar sesuai dengan fitrah manusia," kata Yahudi itu seraya masuk Islam.
Sungguh indah kearifan itu, karena dapat melejitkan segala kebaikan, mentransfer keburukan menjadi kebaikan, permusuhan menjadi saling memaafkan.
"Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia." (QS. Fushshilat [41]: 34)
Begitulah dahulu Nabi saw berdakwah dengan kearifan dan kesantunan hati, sehingga orang Yahudi yang sangat keras permusuhannya terhadap orang-orang beriman (QS. al-Maidah [5]: 82) itu pun mengakui kemuliaan dan keluhuran moralitas Islam yang diteladankan Nabi SAW.
Dari kearifan pemimpin seperti itulah, Islam sebagai rahmat bagi semua patut diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang semakin jauh dari keluhuran moral.
Belajar menjadi arif merupakan terhormat bagi siapapun, lebih-lebih bagi pemimpin. Karena menjadi arif jauh lebih mulia daripada bersikap emosional dan mudah mengambil keputusan tanpa pertimbangan yang matang.
Kearifan memang menjadi kunci kecintaan sang pemimpin terhadap rakyat. Hanya pemimpin ariflah yang akan selalu melayani dan mencitai rakyat sendiri. Wallahu a'lam bish Shawab.
Oleh Muhbib Abdul Wahab
Komentar
Posting Komentar