Kafarat
“Suatu saat, aku aku akan jauh lebih hebat darimu!”
Dulu aku sering berpikir begitu ketika merasa kesal, sebal, atau merasa didzalimi orang lain. Sedang orang itu lebih dewasa atau terlihat punya kelebihan tertentu dariku.
Ya, kesombongan diri kadang muncul, menggelegak dalam dada. Meski sesungguhnya dalam banyak hal aku merasa tak banyak neko-neko. Hidup apa adanya, menerima ketentuan Yang Kuasa. Tentu tanpa mengabaikan usaha untuk menjadi diri yang lebih baik.Manusia adalah zoon politicon, makluk sosial. Kita tak mungkin pungkiri kebenarannya. Setiap manusia perlu untuk bersosialisasi, berkomunikasi dan membina hubungan dengan orang lain. Dalam kehidupan muamalah inilah kita sering mengalami konflik. Lihat berita di teve, baca di koran! Tak habis berita tentang pembunuhan, pemerkosaan, perampokan dan sebagainya. Itu contoh ekstrim, konflik antara kebaikan dan keburukan, orang baik dengan orang jahat.
Akan tetapi, dalam hidup ini, konflik tak semata muncul karena adanya orang yang benar-benar jahat. Bahkan di lingkungan orang-orang shalih yang berjuang demi tegaknya agama Allah, demi dakwah, demi kehidupan yang baik di akhirat, sering pula muncul konflik. Tentu bukan karena ada yang jahat. Akan tetapi karena setiap menusia memiliki nafsu yang sering tak mudah dilawan. Juga adanya syetan yang senantiasa siap menggelincirkan langkah manusia. Di samping, setiap manusia memiliki pengalaman hidup yang berbeda-beda. Masing-masing telah mengalami tangis, tawa, gemuruh dada, sakit, terluka, bahagia, ragu, semangat, dan gelora yang berbeda-beda. Semua itu telah membentuk pribadi-pribadi yang unik. Maka muncullah pandangan yang penuh warna, sikap yang berbeda-beda dalam menghadapi permasalahan yang sama. Muncullah konflik.
Dalam menghadapi konflik tertentu, kadang diri cukup kuat untuk berlapang dada. Memaafkan bila orang lain dalam posisi bersalah. Atau mengakui kesalahan dan memohon maaf bila memang diri yang keliru. Atau setidak-tidaknya mengalah. Menghentikan konflik dengan diam atau melupakan, membiarkan. Memang, ada konflik-konflik tertentu yang dapat reda dan selesai, justru dengan pembiaran. Biarkan waktu menjadi penyembuh luka dan mengokohkan kembali cinta dan kasih sayang yang sempat goyah.
Namun dalam kondisi tertentu, satu sisi jiwa kita berontak. Ingin marah, ingin menumpahkan kesal, atau tangis yang menderu. Keakuan diri pun meraja. Aku yang benar. Aku yang terdzalimi. Aku sudah banyak mengalah. Aku sudah berbuat baik. Dia sudah keterlaluan. Dia tak termaafkan. Dia jahat.
Maka dalam kondisi punya posisi, mungkin akan muncul ucapan-ucapan keras. Mencerca. Bahkan mengancam. Sebaliknya, dalam kondisi tak berdaya, mungkin hanya akan memunculkan ketakaburan dalam diri. “Lihat saja nanti, aku pasti lebih hebat darimu!” Atau rasa terluka yang melanda-landa. Merajalah perasaan sengsara, hilang rasa syukur atas karunia Allah yang melimpah. Diri terfokus pada persoalan pelik yang seakan membelit dada.
Ya, aku pun pernah mengalami hal semacam itu. Akan tetapi pada akhirnya aku sadar, bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah. Setiap kemudahan ataupun sebaliknya, kesulitan, adalah ujian dari Allah. Dua-duanya adalah baik bila kita mampu mengambil hikmah dan menentukan sikap dengan benar. Sabar berpadu dengan rasa syukur. Demikian amal shalih yang kita lakukan adalah ujian. Kita harus senantiasa bersyukur dan meningkatkan. Jangan sampai terjebak, merasa sudah shalih, merasa sudah bertakwa, merasa lebih dari orang lain. Pun ketergelinciran diri pada dosa, maksiat atau perbuatan dzalim terhadap orang lain adalah juga ujian. Agar kita bertaubat, belajar dan mengambil hikmah. Karena tak seorang pun lepas dari kesalahan. Karena manusia juga diuji dengan kelemahan-kelemahan, nafsu duniawi.
Maka ketika aku melihat orang lain berbuat kesalahan, khilaf, sungguh tak perlu untuk mencerca atau membicarakannya di mana-mana. Malah ikut terjebak dosa juga kalau seperti itu. Ghibah, dosa yang bukan sederhana. Maka sebisa mungkin harus menutupi kekurangan saudara kita. Di samping, tak boleh aku merasa lebih dari orang itu. Karena sesungguhnya bergunung pula dosa dan kesalahan yang kulakukan. Kesalahan orang itu pastilah bukan apa-apanya dibanding kesalahan diri.
Pun apa yang aku anggap salah belum tentu benar-benar kesalahan. Bisa jadi aku yang salah tafsir, salah pandang, salah info atau belum sampai ilmunya. Pada akhirnya hanya Allahlah yang berhak menentukan benar salah. Amal shalih atau dosa. Karena pada ilmu fiqih pun berlaku konteks. Apa yang kita lihat sebagai perbuatan dzalim atau dosa belum tentu benar-benar keburukan di mata Allah. Bila tidak, bahkan Nabi pun mungkin akan kita anggap penjahat besar. Seperti Khidir yang sengaja merusak perahu orang miskin dan membunuh seorang anak. Tapi bukan berarti pula kita boleh mentolelir diri untuk berbuat dosa dan maksiat, lalu berdalih.
Sebaliknya, terkadang orang lain mengetahui sebagian aib yang kita simpan. Berbicaralah orang-orang. Lalu mungkin kita tidak dipercaya, tak dianggap, diremehkan. “Lah ngomong apa?! Sok dakwah, sok baik, sok memberi nasihat, sok alim. Padahal isinya njiji’i. Kulitnya saja berkilau, tapi isinya busuk.” Orang mungkin akan berpikir begitu, atau justru keluar lewat kata-kita.
Yah, bukan saatnya untuk membalas, bukan waktu untuk berdalih. Kita juga harus berani mengakui bahwa kita punya aib. Bahkan punya segunung aib yang kita selalu coba tutupi. Bila ada satu dua yang kebetulan mencolok keluar dan dilihat orang-orang, itu masih belum seberapa dengan aib yang masih tersembunyi. Mudah-mudahan karena Allah masih sayang kita. Bukan karena Allah hendak memberikan istidraj, hingga kita berlama-lama dalam dosa dan kemaksiatan.
Nasihat seorang guru, menanggapi hal demikian, kita anggap saja kafarat atas dosa-dosa kita. Semoga bila kita bersabar, itu akan menjadi jalan datangnya ampunan. Toh memang kita punya kesalahan. Biarlah orang membicarakan atau meremehkan. Semoga kita dapat mengambil hikmah. Semoga kita dapat dapat menutup dosa dengan segera meningkatkan amal shalih. Semoga kita layak untuk mendapatkan ampunan dari Allah SWT. Aamiin ya Rabbal ‘alamin. Wallahu a’lam bishawab.
Dulu aku sering berpikir begitu ketika merasa kesal, sebal, atau merasa didzalimi orang lain. Sedang orang itu lebih dewasa atau terlihat punya kelebihan tertentu dariku.
Ya, kesombongan diri kadang muncul, menggelegak dalam dada. Meski sesungguhnya dalam banyak hal aku merasa tak banyak neko-neko. Hidup apa adanya, menerima ketentuan Yang Kuasa. Tentu tanpa mengabaikan usaha untuk menjadi diri yang lebih baik.Manusia adalah zoon politicon, makluk sosial. Kita tak mungkin pungkiri kebenarannya. Setiap manusia perlu untuk bersosialisasi, berkomunikasi dan membina hubungan dengan orang lain. Dalam kehidupan muamalah inilah kita sering mengalami konflik. Lihat berita di teve, baca di koran! Tak habis berita tentang pembunuhan, pemerkosaan, perampokan dan sebagainya. Itu contoh ekstrim, konflik antara kebaikan dan keburukan, orang baik dengan orang jahat.
Akan tetapi, dalam hidup ini, konflik tak semata muncul karena adanya orang yang benar-benar jahat. Bahkan di lingkungan orang-orang shalih yang berjuang demi tegaknya agama Allah, demi dakwah, demi kehidupan yang baik di akhirat, sering pula muncul konflik. Tentu bukan karena ada yang jahat. Akan tetapi karena setiap menusia memiliki nafsu yang sering tak mudah dilawan. Juga adanya syetan yang senantiasa siap menggelincirkan langkah manusia. Di samping, setiap manusia memiliki pengalaman hidup yang berbeda-beda. Masing-masing telah mengalami tangis, tawa, gemuruh dada, sakit, terluka, bahagia, ragu, semangat, dan gelora yang berbeda-beda. Semua itu telah membentuk pribadi-pribadi yang unik. Maka muncullah pandangan yang penuh warna, sikap yang berbeda-beda dalam menghadapi permasalahan yang sama. Muncullah konflik.
Dalam menghadapi konflik tertentu, kadang diri cukup kuat untuk berlapang dada. Memaafkan bila orang lain dalam posisi bersalah. Atau mengakui kesalahan dan memohon maaf bila memang diri yang keliru. Atau setidak-tidaknya mengalah. Menghentikan konflik dengan diam atau melupakan, membiarkan. Memang, ada konflik-konflik tertentu yang dapat reda dan selesai, justru dengan pembiaran. Biarkan waktu menjadi penyembuh luka dan mengokohkan kembali cinta dan kasih sayang yang sempat goyah.
Namun dalam kondisi tertentu, satu sisi jiwa kita berontak. Ingin marah, ingin menumpahkan kesal, atau tangis yang menderu. Keakuan diri pun meraja. Aku yang benar. Aku yang terdzalimi. Aku sudah banyak mengalah. Aku sudah berbuat baik. Dia sudah keterlaluan. Dia tak termaafkan. Dia jahat.
Maka dalam kondisi punya posisi, mungkin akan muncul ucapan-ucapan keras. Mencerca. Bahkan mengancam. Sebaliknya, dalam kondisi tak berdaya, mungkin hanya akan memunculkan ketakaburan dalam diri. “Lihat saja nanti, aku pasti lebih hebat darimu!” Atau rasa terluka yang melanda-landa. Merajalah perasaan sengsara, hilang rasa syukur atas karunia Allah yang melimpah. Diri terfokus pada persoalan pelik yang seakan membelit dada.
Ya, aku pun pernah mengalami hal semacam itu. Akan tetapi pada akhirnya aku sadar, bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah. Setiap kemudahan ataupun sebaliknya, kesulitan, adalah ujian dari Allah. Dua-duanya adalah baik bila kita mampu mengambil hikmah dan menentukan sikap dengan benar. Sabar berpadu dengan rasa syukur. Demikian amal shalih yang kita lakukan adalah ujian. Kita harus senantiasa bersyukur dan meningkatkan. Jangan sampai terjebak, merasa sudah shalih, merasa sudah bertakwa, merasa lebih dari orang lain. Pun ketergelinciran diri pada dosa, maksiat atau perbuatan dzalim terhadap orang lain adalah juga ujian. Agar kita bertaubat, belajar dan mengambil hikmah. Karena tak seorang pun lepas dari kesalahan. Karena manusia juga diuji dengan kelemahan-kelemahan, nafsu duniawi.
Maka ketika aku melihat orang lain berbuat kesalahan, khilaf, sungguh tak perlu untuk mencerca atau membicarakannya di mana-mana. Malah ikut terjebak dosa juga kalau seperti itu. Ghibah, dosa yang bukan sederhana. Maka sebisa mungkin harus menutupi kekurangan saudara kita. Di samping, tak boleh aku merasa lebih dari orang itu. Karena sesungguhnya bergunung pula dosa dan kesalahan yang kulakukan. Kesalahan orang itu pastilah bukan apa-apanya dibanding kesalahan diri.
Pun apa yang aku anggap salah belum tentu benar-benar kesalahan. Bisa jadi aku yang salah tafsir, salah pandang, salah info atau belum sampai ilmunya. Pada akhirnya hanya Allahlah yang berhak menentukan benar salah. Amal shalih atau dosa. Karena pada ilmu fiqih pun berlaku konteks. Apa yang kita lihat sebagai perbuatan dzalim atau dosa belum tentu benar-benar keburukan di mata Allah. Bila tidak, bahkan Nabi pun mungkin akan kita anggap penjahat besar. Seperti Khidir yang sengaja merusak perahu orang miskin dan membunuh seorang anak. Tapi bukan berarti pula kita boleh mentolelir diri untuk berbuat dosa dan maksiat, lalu berdalih.
Sebaliknya, terkadang orang lain mengetahui sebagian aib yang kita simpan. Berbicaralah orang-orang. Lalu mungkin kita tidak dipercaya, tak dianggap, diremehkan. “Lah ngomong apa?! Sok dakwah, sok baik, sok memberi nasihat, sok alim. Padahal isinya njiji’i. Kulitnya saja berkilau, tapi isinya busuk.” Orang mungkin akan berpikir begitu, atau justru keluar lewat kata-kita.
Yah, bukan saatnya untuk membalas, bukan waktu untuk berdalih. Kita juga harus berani mengakui bahwa kita punya aib. Bahkan punya segunung aib yang kita selalu coba tutupi. Bila ada satu dua yang kebetulan mencolok keluar dan dilihat orang-orang, itu masih belum seberapa dengan aib yang masih tersembunyi. Mudah-mudahan karena Allah masih sayang kita. Bukan karena Allah hendak memberikan istidraj, hingga kita berlama-lama dalam dosa dan kemaksiatan.
Nasihat seorang guru, menanggapi hal demikian, kita anggap saja kafarat atas dosa-dosa kita. Semoga bila kita bersabar, itu akan menjadi jalan datangnya ampunan. Toh memang kita punya kesalahan. Biarlah orang membicarakan atau meremehkan. Semoga kita dapat mengambil hikmah. Semoga kita dapat dapat menutup dosa dengan segera meningkatkan amal shalih. Semoga kita layak untuk mendapatkan ampunan dari Allah SWT. Aamiin ya Rabbal ‘alamin. Wallahu a’lam bishawab.
Oleh: Rahman Hanifan
Komentar
Posting Komentar