Inception: Ide Sebuah Mimpi
What is the most resilient parasite?
Bacteria? A virus? An intestinal worm?
An idea. Resilient… highly contagious. Once an idea has taken hold of the brain it’s almost impossible to eradicate. An idea that is fully formed – fully understood – that sticks; right in there somewhere.
-Cobb (Inception)Rilis perdana di Indonesia tiga tahun lalu, tepatnya pada tanggal 16 Juli 2010. Film dengan judul Inception telah menyedot banyak perhatian penggemar film di seluruh dunia, entah itu melalui kritik, pujian atau bahkan pertanyaan. Bertutur tentang kisah seseorang yang bekerja sebagai penyusup ulung dengan spesialisasi mencuri data atau ide dalam alam bawah sadar (mimpi), Inception memberikan kita sebuah alur cerita yang cukup rumit bagi sebagian orang. Kerumitan mermahami film ini biasanya terletak pada pemahaman akan ide sebuah mimpi, yang kalau mau kita telusuri sedikit lebih dalam maka akan kita temukan konstruksi bangunan filosofis didalamnya.
Meminjam istilah yang digunakan Prof SMN Al Attas dalam bukunya Prolegomena to The Methaphysics of Islam dalam bab The Intuition of Existance, ada tahapan ketika kita melihat sebuah konsep, jika orang pada umumnya hanya melihat Inception sebagai sebuah fenomena film dengan cerita yang menarik, music yang mendebarkan, aksi yang memukau, atau romansa yang menyentuh (First Separation), maka dengan mengambil bird point view untuk melihat secara luas dan kembali lalu membandingkan dan menilai apa yang dikonsep oleh pola pandang umum, maka kita akan dapati konsepsi baru yang lebih menyeluruh dan mungkin sangat berbeda dari pandangan umum sebelumnya (Second Separation). Hal ini sangat diperlukan untuk mencegah kekurangpahaman atau kesalahpahaman yang berakibat pada respon sikap yang kurang tepat atau salah sama sekali saat kita dihadapkan dengan sebuah konsep.
Is This The Real life? Is This Just Fantasy
Pertanyaan dalam lirik awal lagu Bohemian Rhapsody ini adalah juga pertanyaan yang diajukan oleh para pemirsa saat selesai menyaksikan Inception. Mimpi yang merupakan refleksi dari fantasi, khayalan dan angan-angan dapat wujud dengan “nyata” dan berpengaruh begitu besar pada kehidupan manusia, bahkan dalam kondisi tertentu, kita tidak bisa membedakan secara jelas dan definitive mana yang mimpi mana yang “nyata”, karena pun dalam mimpi, baik panca indera maupun rasio kita tidak menemukan sesuatu yang menjadi pembeda atau pemberi batas antara kenyataan dan mimpi.
Cobb: You create the world of the dream. We bring the subject into that dream and fill it with their subconscious.
Ariadne: How could I ever acquire enough detail to make them think that it’s reality?
Cobb: Well, dreams, they feel real while we’re in them right? Its only when we wake up then we realize that something was actually strange.
Contoh lain kita dapati dalam film Matrix Trilogy, digambarkan secara gamblang, bagaimana panca indera dan rasio dilecehkan statusnya sebagai “sumber pengetahuan” menjadi hanya sekedar impulse fisik (otak) yang sangat mudah untuk dikontrol dan dimanipulasi. Berbeda dengan The Matrix yang melihat bahwa ada tiran diluar sana yang menguasai dan mengontrol pikiran manusia (Machine Empire), Inception lebih melihat bahwa ide lah yang memiliki pengaruh, control dan bahkan yang mendefinisikan manusia itu sendiri. Sedangkan panca indera dan rasio tidak lebih dari sekedar instumen pencari dan penjewantah ide tersebut.
Dunia Ide Plato dan Postmodernisme
Inception yang menyangkal kemampuan panca indera dan rasio dalam mencerna serta memahami realitas dan menjadikan ide sebagai tolok ukur tentunya mengingatkan kita pada konsep ide yang dibawa oleh Plato, disini kita perlu betul betul memperhatikan bahwa walau terkesana ada persamaan, sejatinya konsep keduanya jauh berbeda.
Saito: If you can steal an idea, why can’t you plant one there instead?
Arthur: Okay, this is me, planting an idea in your mind. I say: don’t think about elephants. What are you thinking about?
Saito: Elephants?
Arthur: Right, but it’s not your idea. The dreamer can always remember the genesis of the idea. True inspiration is impossible to fake.
Plato berpendapat bahwa ide adalah bawaan lahir (innate), general, dan berada dalam dunia ideal yang mentransmisikan informasinya lewat otak dan tidak dapat diinterfensi baik secara langsung ataupun tidak langsung oleh manusia. Sedangkan dalam Inception, ide adalah bentukan kehidupan, spesifik, jelas, dapat dimanipulasi walau sangat sulit, serta bertempat didalam otak. Yang satu ide dalam wujud non materi sedangkan yang lain seolah hendak (memaksa) mematerikan ide.
Ketika ide sebagai genuine inspiration dapat dengan sedemikian rupa dimanipulasi dalam Inception, maka konsekuensinya adalah bahwa tiada lagi jalan untuk mencapai suatu konklusi akan kebenaran atau hakikat sesuatu karena segala instrumennya, baik indera, rasio, dan ide itu sendiri tidak lebih dari proyeksi subjektif seseorang. Di sinilah tampak dengan jelas batang hidung pemikiran postmodernisme.
Islam Dengan Jawaban
Problem pemikiran di atas sejatinya lahir dari keyakinan bahwa manusia dan hanya manusia yang mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Sebagai raja pemimpin specimen makhluk hidup dan pemenang evolusi, tidak mungkin dan tidak pantas bagi manusia untuk bersandar pada suatu apapun. Kecongkakan inilah yang menjerumuskan manusia untuk mencari dalil justifikasi yang sedemikian rupa agar apa yang diperbuatnya tampak sebagai perbuatan yang baik lagi benar.
Dan ketika muncul pertanyaan tentang akan “apa itu kebenaran sejati” akal yang terbatas dengan hati yang congkak itu alih-alih menemukan jawaban, justru terjebak dalam kredo Freidrich Neitzsche: “tidak ada perbedaan antara benar dan salah, keduanya hanyalah kepercayaan yang salah (delusory) yang keduanya tidak dapat diandalkan.”.
Sebagai Muslim dengan Iman kita memahami bahwa ilmu sejatinya bukan hanya soal perjuangan dan pencarian semata, karena hakikat dari ilmu dan pengetahuan adalah anugerah yang Allah berikan kepada hambaNya yang pantas setelah melalui cobaan yang Ia berikan. Ilmu pengetahuan yang membawa kepada kebenaran bukanlah hasil pemikiran spekulatif yang sangat berpotensi untuk menyesatkan. Karena sejatinya kita bukan apa-apa, melainkan hambaNya semata.
Sebagai penutup, Surat Al Baqarah ayat 31 tentunya menjadi dalil yang kuat bahwa ilmu adalah anugerah dariNya, bukan semata-mata hasil usaha kita.
Wallahu a’lamu bisshowwab
وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman:` Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!
Bacteria? A virus? An intestinal worm?
An idea. Resilient… highly contagious. Once an idea has taken hold of the brain it’s almost impossible to eradicate. An idea that is fully formed – fully understood – that sticks; right in there somewhere.
-Cobb (Inception)Rilis perdana di Indonesia tiga tahun lalu, tepatnya pada tanggal 16 Juli 2010. Film dengan judul Inception telah menyedot banyak perhatian penggemar film di seluruh dunia, entah itu melalui kritik, pujian atau bahkan pertanyaan. Bertutur tentang kisah seseorang yang bekerja sebagai penyusup ulung dengan spesialisasi mencuri data atau ide dalam alam bawah sadar (mimpi), Inception memberikan kita sebuah alur cerita yang cukup rumit bagi sebagian orang. Kerumitan mermahami film ini biasanya terletak pada pemahaman akan ide sebuah mimpi, yang kalau mau kita telusuri sedikit lebih dalam maka akan kita temukan konstruksi bangunan filosofis didalamnya.
Meminjam istilah yang digunakan Prof SMN Al Attas dalam bukunya Prolegomena to The Methaphysics of Islam dalam bab The Intuition of Existance, ada tahapan ketika kita melihat sebuah konsep, jika orang pada umumnya hanya melihat Inception sebagai sebuah fenomena film dengan cerita yang menarik, music yang mendebarkan, aksi yang memukau, atau romansa yang menyentuh (First Separation), maka dengan mengambil bird point view untuk melihat secara luas dan kembali lalu membandingkan dan menilai apa yang dikonsep oleh pola pandang umum, maka kita akan dapati konsepsi baru yang lebih menyeluruh dan mungkin sangat berbeda dari pandangan umum sebelumnya (Second Separation). Hal ini sangat diperlukan untuk mencegah kekurangpahaman atau kesalahpahaman yang berakibat pada respon sikap yang kurang tepat atau salah sama sekali saat kita dihadapkan dengan sebuah konsep.
Is This The Real life? Is This Just Fantasy
Pertanyaan dalam lirik awal lagu Bohemian Rhapsody ini adalah juga pertanyaan yang diajukan oleh para pemirsa saat selesai menyaksikan Inception. Mimpi yang merupakan refleksi dari fantasi, khayalan dan angan-angan dapat wujud dengan “nyata” dan berpengaruh begitu besar pada kehidupan manusia, bahkan dalam kondisi tertentu, kita tidak bisa membedakan secara jelas dan definitive mana yang mimpi mana yang “nyata”, karena pun dalam mimpi, baik panca indera maupun rasio kita tidak menemukan sesuatu yang menjadi pembeda atau pemberi batas antara kenyataan dan mimpi.
Cobb: You create the world of the dream. We bring the subject into that dream and fill it with their subconscious.
Ariadne: How could I ever acquire enough detail to make them think that it’s reality?
Cobb: Well, dreams, they feel real while we’re in them right? Its only when we wake up then we realize that something was actually strange.
Contoh lain kita dapati dalam film Matrix Trilogy, digambarkan secara gamblang, bagaimana panca indera dan rasio dilecehkan statusnya sebagai “sumber pengetahuan” menjadi hanya sekedar impulse fisik (otak) yang sangat mudah untuk dikontrol dan dimanipulasi. Berbeda dengan The Matrix yang melihat bahwa ada tiran diluar sana yang menguasai dan mengontrol pikiran manusia (Machine Empire), Inception lebih melihat bahwa ide lah yang memiliki pengaruh, control dan bahkan yang mendefinisikan manusia itu sendiri. Sedangkan panca indera dan rasio tidak lebih dari sekedar instumen pencari dan penjewantah ide tersebut.
Dunia Ide Plato dan Postmodernisme
Inception yang menyangkal kemampuan panca indera dan rasio dalam mencerna serta memahami realitas dan menjadikan ide sebagai tolok ukur tentunya mengingatkan kita pada konsep ide yang dibawa oleh Plato, disini kita perlu betul betul memperhatikan bahwa walau terkesana ada persamaan, sejatinya konsep keduanya jauh berbeda.
Saito: If you can steal an idea, why can’t you plant one there instead?
Arthur: Okay, this is me, planting an idea in your mind. I say: don’t think about elephants. What are you thinking about?
Saito: Elephants?
Arthur: Right, but it’s not your idea. The dreamer can always remember the genesis of the idea. True inspiration is impossible to fake.
Plato berpendapat bahwa ide adalah bawaan lahir (innate), general, dan berada dalam dunia ideal yang mentransmisikan informasinya lewat otak dan tidak dapat diinterfensi baik secara langsung ataupun tidak langsung oleh manusia. Sedangkan dalam Inception, ide adalah bentukan kehidupan, spesifik, jelas, dapat dimanipulasi walau sangat sulit, serta bertempat didalam otak. Yang satu ide dalam wujud non materi sedangkan yang lain seolah hendak (memaksa) mematerikan ide.
Ketika ide sebagai genuine inspiration dapat dengan sedemikian rupa dimanipulasi dalam Inception, maka konsekuensinya adalah bahwa tiada lagi jalan untuk mencapai suatu konklusi akan kebenaran atau hakikat sesuatu karena segala instrumennya, baik indera, rasio, dan ide itu sendiri tidak lebih dari proyeksi subjektif seseorang. Di sinilah tampak dengan jelas batang hidung pemikiran postmodernisme.
Islam Dengan Jawaban
Problem pemikiran di atas sejatinya lahir dari keyakinan bahwa manusia dan hanya manusia yang mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Sebagai raja pemimpin specimen makhluk hidup dan pemenang evolusi, tidak mungkin dan tidak pantas bagi manusia untuk bersandar pada suatu apapun. Kecongkakan inilah yang menjerumuskan manusia untuk mencari dalil justifikasi yang sedemikian rupa agar apa yang diperbuatnya tampak sebagai perbuatan yang baik lagi benar.
Dan ketika muncul pertanyaan tentang akan “apa itu kebenaran sejati” akal yang terbatas dengan hati yang congkak itu alih-alih menemukan jawaban, justru terjebak dalam kredo Freidrich Neitzsche: “tidak ada perbedaan antara benar dan salah, keduanya hanyalah kepercayaan yang salah (delusory) yang keduanya tidak dapat diandalkan.”.
Sebagai Muslim dengan Iman kita memahami bahwa ilmu sejatinya bukan hanya soal perjuangan dan pencarian semata, karena hakikat dari ilmu dan pengetahuan adalah anugerah yang Allah berikan kepada hambaNya yang pantas setelah melalui cobaan yang Ia berikan. Ilmu pengetahuan yang membawa kepada kebenaran bukanlah hasil pemikiran spekulatif yang sangat berpotensi untuk menyesatkan. Karena sejatinya kita bukan apa-apa, melainkan hambaNya semata.
Sebagai penutup, Surat Al Baqarah ayat 31 tentunya menjadi dalil yang kuat bahwa ilmu adalah anugerah dariNya, bukan semata-mata hasil usaha kita.
Wallahu a’lamu bisshowwab
وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman:` Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!
Oleh: Azeza Ibrahim Rizki
Komentar
Posting Komentar