Kenegarawanan Khalifah Umar bin Abdul Aziz
Sosok Khalifah Umar bin Abdul Aziz r.a mewarisi darah dan ideologi Khalifah Umar bin Al Khaththab r.a. Seorang penguasa yang jujur dan berpegang teguh pada amanah yang diembannya. Walaupun memangku jabatan dalam usia 33 tahun, keadilan dan kebijaksanaan khalifah yang disebut-sebut sebagai khulafaur rasyidin kelima ini terasa oleh rakyat secara umum. Kesalihannya sebagai seorang penguasa pantas dijadikan teladan oleh penguasa muslim dimanapun dan sampai kapanpun.
Sejarah mencatat langkah beliau yang spektakuler dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan memulai babak baru pemerintahan yang bersih.
Gebrakan pertama beliau sebagai seorang pemimpin yang kreatif dan inovatif tatkala menerima amanah jaba-tan sebagai khalifah adalah mengembalikan semua harta dan tanah yang diambil oleh pemerintahan khilafah Bani Umayyah sebelum beliau dari masyarakat melalui tekanan kekuasaan kepada para pemiliknya. Bilamana pemilik tanah dan harta aslinya sudah tidak diketahui lagi maka hata dan tanah itu dikembalikan kepada baitul mal, untuk digunakan bagi keperluan kaum muslimin. Para pejabat dari kalangan Bani Umayyah melepaskan seluruh harta yang mereka bagi-bagikan, harta sumbangan, dan harta yang mereka ambil. Khalifah Umar bin Abdul Aziz memulai dari dirinya sendiri dengan cara menyerahkan seluruh harta yang di-milikinya, seluruh kuda tunggangannya, dan seluruh minyak wanginya serta seluruh perhiasannya. Kemudian dijual seharga 23 ribu dinar atau sekitar 11,5 miliar rupiah dan dia masukkan ke Baitul Mal.
Tentu saja langkah tersebut diikuti secara serempak oleh para pejabat dari kalangan Bani Umayyah sehingga dengan gerakan yang beliau lakukan dalam tempo sekitar dua tahun, krisis ekonomi yang terjadi pada pemerintahan sebelumnya bisa diatasi. Bahkan distribusi kekayaan sedemikian merata sehingga tidak ada rakyat yang menjadi mustahiq zakat lantaran fakir atau miskin. Pengentasan kemiskinan yang beliau lakukan bukan sekedar retorika. Karena memang terjadi gerakan ekonomi pro rakyat tersebut dari atas secara nyata.
Bila para pejabat sebelumnya selalu ingat kepentingan pribadinya saat menjalankan tugasnya sebagai pejabat negara, maka Khalifah Umar bin Abdul Aziz memberikan teladan gerakan para pejabat yang selalu ingat tugas negara yang dipikulkan oleh Allah SWT kepada-nya saat sedang menikmati kehidupan pribadi. Dengan cara berfikir seperti itu niscaya tidak ada kemaslahatan rakyat yang tidak diurus dan tidak ada kebutuhan rakyat yang tak terpenuhi serta tidak ada keinginan rakyat yang terabaikan.
Pejabat seperti khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah pejabat yang sadar betul bahwa jabatan adalah amanat Allah yang bakal dimintai pertangungjawaban kelak di hari kiamat ketika mulut terkunci, tangan yang berbicara, dan kaki menjadi saksi. Sungguh Rasululullah SAW menga-jarkan kepada kita memilih pejabat yang amanah seperti Umar bin Abdul Aziz yang terbukti nyata mampu menjalankan amanah mengurus rakyat dengan hukum syariah-Nya.
Bagaimana bisa demikian?
Sebab khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah seorang pejabat yang memiliki visi dan karakter kenegarawanan. Yakni, seorang pejabat yang:
Pertama, memiliki pandangan hidup yang mendasar, yakni pemikiran yang menyeluruh tentang kehidupan, manusia, dan alam semesta, sehingga dia paham bahwa hidup bukanlah semata hari ini, saat dia bergelimang kekuasaan, tapi juga nanti saat dia ditanya tentang seluruh perbuatannya tatkala dia berkuasa. Lihatlah ucapan beliau kepada sang istri: 'Engkau tahu, aku telah diserahi urusan seluruh umat ini, yang berkulit putih maupun hitam, lalu aku ingat akan orang yang terasing, peminta-minta yang merendah, orang kehilangan, orang-orang fakir yang sangat membu-tuhkan, tawanan yang tertekan jiwanya dan lain sebagainya di berbagai tempat di bumi ini. Dan aku tahu persis, Allah SWT pasti akan menanyaiku tentang mereka, dan Muhammad saw akan membantahku dalam masalah mereka (jika aku mangkir); karena itulah aku takut akan diriku sendiri”. Beliau tidak berkata : “Ayo kamu minta apa saja pasti kukabulkan, karena sekarang aku menjadi orang nomor satu di Negara ini!”.
Kiranya beliau yang juga dikenal sebagai pejabat yang memiliki ilmusiyasah syar'iyyah faham betul bagaimana mengimplementasikan sabda Nabi: “Seorang Imam yang diberi amanat memimpin manusia adalah laksa penggembala dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyat yang dipimpinnya”.
Kedua, memiliki pandangan hidup yang jelas bagaimana mewujudkan kebahagiaan yang nyata, yakni melakukan sesuatu yang menyebabkan Allah SWT penguasa alam semesta dan penguasa hari kiamat meridoinya. Dari ungkapan beliau r.a. kepada sang istri di atas jelas bahwa perhatian beliau adalah bagaimana menjalankan tanggung jawab-nya sebagai penguasa agar mendaptkan ridlo Allah dan terhindar dari murka Allah SWT. Bukan seperti para penguasa muslim hari ini yang hanya sekedar berdoa: Allahumma ini as aluka ridloka wal jannah wa a'udzubika min skhotika wan naar (Ya Allah aku mohon ridlo-Mu dan surga-Mu dan aku berlindung dari murka-Mu daqn neraka-Mu) sementara kebijakan yang dibuatnya justru me-ngantarkannya kepada murka Allah dan menjauhi ridlo-Nya.
Ketiga, memiliki pengetahuan dan pemahaman peradaban yang mengangkat kehidupan rakyat yang dengan peradaban tersebut mereka memiliki kondisi kehidupan yang lebih baik, memiliki taraf berfikir yang lebih tinggi disertai nilai-nilai luhur dan ketentraman abadi. Dari ungkapan beliau kepada sang istri di atas tampak jelas bahwa memiliki visi dan misi negarawan yang mengangkat derajat kaum dhuafa dan para tawanan agar mendapatkan kebebasan dan terpenuhi kecukupan kebutuhan hidup mereka sehingga perasaan mereka aman dan hati mereka menjadi tentram.
Dengan visi dan misi kenegarawan tersebut Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengambil berbagai kebijakan yang pro rakyat. Antara lain beliau memberikan gaji kepada para hakim (qadli) lebih tinggi daripada para pegawai yang lain, yakni sekitar 400 dinar atau sekitar 200 juta per tahun. Ini diberikan agar qadli menjalan-kan tugasnya dengan adil dan dilandasi ketaqwaan sehingga tidak mudah dibeli oleh orang-orang yang hendak berlaku curang dalam perkara. Beliau juga melarang para pejabat dan gubernur melakukan bisnis. Sebab bisnis penguasa itu akan menimbulkan fasad atau kerusakan jiwa bagi yang bersangkutan dan akan menimbulkan kehancuran (mahlakat) bagi rakyat. Sebab penguasa akan melakukan monopoli dan memak-sakan harganya kepada rakyat demi penumpukan modal bagi dirinya.
Mengangkat pejabat tanpa menghi-raukan ada orang yang sejatinya lebih layak menjabat --hanya karena menda-patkan suara terbanyak akibat dukungan kampanye yang menakjubkan dan berbagai tipudaya sebagaimana yang terjadi dalam pilpres dan pilkada ala sistem demokrasi-- hanyalah sebuah pengkhianatan yang menyakitkan umat. Fakta menunjukkan tak ada satu contohpun dari hasil pilihan demokratis yang mampu berkiprah sebagai pejabat tulen seperti khalifah Umar bin Abdul Aziz atau para khalifah yang lain yang memiliki sifat kenegarawanan sejati.
Sistem pemerintahan Islam yang diterapkan sejak masa Nabi dan sahabat-nya hingga masa-masa kekuatan daulah Utsmaniyyah merupakan lahan subur dari tumbuhnya para negarawan, baik mereka memegang tampuk pemerintahan seperti Khalifah Umar bin al Khaththab, Khalifah Ali bin Abi Thalib, Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Khalifah Mu'tashim Billah, Sultan Shalahudin Al Ayyubi, Sultan Sulaiman Al Qanuni, maupun yang tidak memegang tampuk pemerintahan seperti Abu Dzar Al Ghifari, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ibnu Taimiyyah, dan para ulama lainnya.
Hari ini para penguasa yang seolah-olah merupakan pilihan hati rakyat terbukti banyak menyakiti hati rakyat karena kebijakan mereka yang tidak pro raykat, malah pro kepada kaum kapitalis asing yang menjajah negeri-negeri kaum muslimin.
Masa sekarang inilah masa fitnah karena kaum muslimin miskin pemimpin yang memiliki visi kenegarawanan. Mereka tidak lebih seperti yang digambarkan oleh Rasulullah SAW : ”Akan datang kepada kalian tahun-tahun tipu daya. Pada waktu itu pendus-ta di benarkan sedangkan orang yang benar didustakan. Pengkhianat diper-caya sedangkan yang amanah dianggap khianat. Pada saat itu akan berbicara ar ruwaibidloh”. Ditanyakan apakah ar ruwaibidloh? Nabi Menjawab: ”Orang-orang yang bodoh tentang urusan publik”. Akan kondisi fitnah ini terus berlang-ung? Wallahua'lam!
Muhammad Al Khaththath
Sejarah mencatat langkah beliau yang spektakuler dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan memulai babak baru pemerintahan yang bersih.
Gebrakan pertama beliau sebagai seorang pemimpin yang kreatif dan inovatif tatkala menerima amanah jaba-tan sebagai khalifah adalah mengembalikan semua harta dan tanah yang diambil oleh pemerintahan khilafah Bani Umayyah sebelum beliau dari masyarakat melalui tekanan kekuasaan kepada para pemiliknya. Bilamana pemilik tanah dan harta aslinya sudah tidak diketahui lagi maka hata dan tanah itu dikembalikan kepada baitul mal, untuk digunakan bagi keperluan kaum muslimin. Para pejabat dari kalangan Bani Umayyah melepaskan seluruh harta yang mereka bagi-bagikan, harta sumbangan, dan harta yang mereka ambil. Khalifah Umar bin Abdul Aziz memulai dari dirinya sendiri dengan cara menyerahkan seluruh harta yang di-milikinya, seluruh kuda tunggangannya, dan seluruh minyak wanginya serta seluruh perhiasannya. Kemudian dijual seharga 23 ribu dinar atau sekitar 11,5 miliar rupiah dan dia masukkan ke Baitul Mal.
Tentu saja langkah tersebut diikuti secara serempak oleh para pejabat dari kalangan Bani Umayyah sehingga dengan gerakan yang beliau lakukan dalam tempo sekitar dua tahun, krisis ekonomi yang terjadi pada pemerintahan sebelumnya bisa diatasi. Bahkan distribusi kekayaan sedemikian merata sehingga tidak ada rakyat yang menjadi mustahiq zakat lantaran fakir atau miskin. Pengentasan kemiskinan yang beliau lakukan bukan sekedar retorika. Karena memang terjadi gerakan ekonomi pro rakyat tersebut dari atas secara nyata.
Bila para pejabat sebelumnya selalu ingat kepentingan pribadinya saat menjalankan tugasnya sebagai pejabat negara, maka Khalifah Umar bin Abdul Aziz memberikan teladan gerakan para pejabat yang selalu ingat tugas negara yang dipikulkan oleh Allah SWT kepada-nya saat sedang menikmati kehidupan pribadi. Dengan cara berfikir seperti itu niscaya tidak ada kemaslahatan rakyat yang tidak diurus dan tidak ada kebutuhan rakyat yang tak terpenuhi serta tidak ada keinginan rakyat yang terabaikan.
Pejabat seperti khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah pejabat yang sadar betul bahwa jabatan adalah amanat Allah yang bakal dimintai pertangungjawaban kelak di hari kiamat ketika mulut terkunci, tangan yang berbicara, dan kaki menjadi saksi. Sungguh Rasululullah SAW menga-jarkan kepada kita memilih pejabat yang amanah seperti Umar bin Abdul Aziz yang terbukti nyata mampu menjalankan amanah mengurus rakyat dengan hukum syariah-Nya.
Bagaimana bisa demikian?
Sebab khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah seorang pejabat yang memiliki visi dan karakter kenegarawanan. Yakni, seorang pejabat yang:
Pertama, memiliki pandangan hidup yang mendasar, yakni pemikiran yang menyeluruh tentang kehidupan, manusia, dan alam semesta, sehingga dia paham bahwa hidup bukanlah semata hari ini, saat dia bergelimang kekuasaan, tapi juga nanti saat dia ditanya tentang seluruh perbuatannya tatkala dia berkuasa. Lihatlah ucapan beliau kepada sang istri: 'Engkau tahu, aku telah diserahi urusan seluruh umat ini, yang berkulit putih maupun hitam, lalu aku ingat akan orang yang terasing, peminta-minta yang merendah, orang kehilangan, orang-orang fakir yang sangat membu-tuhkan, tawanan yang tertekan jiwanya dan lain sebagainya di berbagai tempat di bumi ini. Dan aku tahu persis, Allah SWT pasti akan menanyaiku tentang mereka, dan Muhammad saw akan membantahku dalam masalah mereka (jika aku mangkir); karena itulah aku takut akan diriku sendiri”. Beliau tidak berkata : “Ayo kamu minta apa saja pasti kukabulkan, karena sekarang aku menjadi orang nomor satu di Negara ini!”.
Kiranya beliau yang juga dikenal sebagai pejabat yang memiliki ilmusiyasah syar'iyyah faham betul bagaimana mengimplementasikan sabda Nabi: “Seorang Imam yang diberi amanat memimpin manusia adalah laksa penggembala dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyat yang dipimpinnya”.
Kedua, memiliki pandangan hidup yang jelas bagaimana mewujudkan kebahagiaan yang nyata, yakni melakukan sesuatu yang menyebabkan Allah SWT penguasa alam semesta dan penguasa hari kiamat meridoinya. Dari ungkapan beliau r.a. kepada sang istri di atas jelas bahwa perhatian beliau adalah bagaimana menjalankan tanggung jawab-nya sebagai penguasa agar mendaptkan ridlo Allah dan terhindar dari murka Allah SWT. Bukan seperti para penguasa muslim hari ini yang hanya sekedar berdoa: Allahumma ini as aluka ridloka wal jannah wa a'udzubika min skhotika wan naar (Ya Allah aku mohon ridlo-Mu dan surga-Mu dan aku berlindung dari murka-Mu daqn neraka-Mu) sementara kebijakan yang dibuatnya justru me-ngantarkannya kepada murka Allah dan menjauhi ridlo-Nya.
Ketiga, memiliki pengetahuan dan pemahaman peradaban yang mengangkat kehidupan rakyat yang dengan peradaban tersebut mereka memiliki kondisi kehidupan yang lebih baik, memiliki taraf berfikir yang lebih tinggi disertai nilai-nilai luhur dan ketentraman abadi. Dari ungkapan beliau kepada sang istri di atas tampak jelas bahwa memiliki visi dan misi negarawan yang mengangkat derajat kaum dhuafa dan para tawanan agar mendapatkan kebebasan dan terpenuhi kecukupan kebutuhan hidup mereka sehingga perasaan mereka aman dan hati mereka menjadi tentram.
Dengan visi dan misi kenegarawan tersebut Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengambil berbagai kebijakan yang pro rakyat. Antara lain beliau memberikan gaji kepada para hakim (qadli) lebih tinggi daripada para pegawai yang lain, yakni sekitar 400 dinar atau sekitar 200 juta per tahun. Ini diberikan agar qadli menjalan-kan tugasnya dengan adil dan dilandasi ketaqwaan sehingga tidak mudah dibeli oleh orang-orang yang hendak berlaku curang dalam perkara. Beliau juga melarang para pejabat dan gubernur melakukan bisnis. Sebab bisnis penguasa itu akan menimbulkan fasad atau kerusakan jiwa bagi yang bersangkutan dan akan menimbulkan kehancuran (mahlakat) bagi rakyat. Sebab penguasa akan melakukan monopoli dan memak-sakan harganya kepada rakyat demi penumpukan modal bagi dirinya.
Mengangkat pejabat tanpa menghi-raukan ada orang yang sejatinya lebih layak menjabat --hanya karena menda-patkan suara terbanyak akibat dukungan kampanye yang menakjubkan dan berbagai tipudaya sebagaimana yang terjadi dalam pilpres dan pilkada ala sistem demokrasi-- hanyalah sebuah pengkhianatan yang menyakitkan umat. Fakta menunjukkan tak ada satu contohpun dari hasil pilihan demokratis yang mampu berkiprah sebagai pejabat tulen seperti khalifah Umar bin Abdul Aziz atau para khalifah yang lain yang memiliki sifat kenegarawanan sejati.
Sistem pemerintahan Islam yang diterapkan sejak masa Nabi dan sahabat-nya hingga masa-masa kekuatan daulah Utsmaniyyah merupakan lahan subur dari tumbuhnya para negarawan, baik mereka memegang tampuk pemerintahan seperti Khalifah Umar bin al Khaththab, Khalifah Ali bin Abi Thalib, Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Khalifah Mu'tashim Billah, Sultan Shalahudin Al Ayyubi, Sultan Sulaiman Al Qanuni, maupun yang tidak memegang tampuk pemerintahan seperti Abu Dzar Al Ghifari, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ibnu Taimiyyah, dan para ulama lainnya.
Hari ini para penguasa yang seolah-olah merupakan pilihan hati rakyat terbukti banyak menyakiti hati rakyat karena kebijakan mereka yang tidak pro raykat, malah pro kepada kaum kapitalis asing yang menjajah negeri-negeri kaum muslimin.
Masa sekarang inilah masa fitnah karena kaum muslimin miskin pemimpin yang memiliki visi kenegarawanan. Mereka tidak lebih seperti yang digambarkan oleh Rasulullah SAW : ”Akan datang kepada kalian tahun-tahun tipu daya. Pada waktu itu pendus-ta di benarkan sedangkan orang yang benar didustakan. Pengkhianat diper-caya sedangkan yang amanah dianggap khianat. Pada saat itu akan berbicara ar ruwaibidloh”. Ditanyakan apakah ar ruwaibidloh? Nabi Menjawab: ”Orang-orang yang bodoh tentang urusan publik”. Akan kondisi fitnah ini terus berlang-ung? Wallahua'lam!
Muhammad Al Khaththath
Komentar
Posting Komentar