Apa Hukum Puasa Enam Hari Syawal?
Perbedaan terletak pada cara dan metode penyikapan hadis Rasulullah SAW.
Berpuasa enam hari di sepanjang Syawal adalah salah satu sunah Rasulullah SAW yang utama. Dalam hadis riwayat Muslim dan sejumlah imam pengarang Kitab Sunan dari Abu Ayyub al-Anshari disebutkankeutamaan berpuasa enam hari tersebut akan menyempurnakan puasa Ramadhan. Fadilahnya seperti berpuasa satu tahun penuh.
Berangkat dari hadis tersebut, ungkap Syekh Dr Muhammad Mushlih az-Za'abi dalam kitabnya yang berjudul Shiyam Sittin Min Syawal; Dirasah Haditsiyyah Fiqhiyyah, para ulama mazhab memiliki penyikapan dan cara pandang yang berbeda. Muncul perbedaan pendapat menyoal hukum puasa enam hari selama Syawal.
Pendapat yang pertama menyatakan, hukum berpuasa enam hari tersebut adalah sunat. Mayoritas ulama mazhab mengamini opsi ini. Mereka terdiri atas mazhab Syafi'i, Hanbali, sebagian dari mazhab Hanafi dan Maliki.
Bagi kelompok yang kedua, hukum berpuasa enam hari pada bulan Syawal adalah makruh. Ini merupakan salah satu opsi di kalangan mazhab Hanafi dan Maliki.
Sedangkan, pendapat yang ketiga mengatakan, hukum puasa enam hari di Syawal ialah makruh selama dilakukan secara berurutan.
Bila dilaksanakan tidak berurutan dan acak maka masih menurut kelompok yang ketiga, hukumnya boleh. Ini merupakan pandangan sebagian mazhab Maliki dan Abu Yusuf dari mazhab Hanafi.
Sementara, pendapat keempat menyatakan makruh bila dilakukan mulai 1 Syawal dan lima hari berikutnya secara berurutan.
Akan tetapi, jika dilaksanakan setelah 1 Syawal, baik secara berurutan atau terpisah, hukumnya boleh. Pendapat ini diutarakan sebagian mazhab Maliki dan Hanafi.
Perbedaan muncul akibat cara pandang dan metode penyikapan yang tak sama atas hadis Abu Ayyub al-Anshari di atas.
Menurut kubu yang pertama, hadis tersebut secara jelas dan kuat menyerukan kesunahan berpuasa enama hari di Syawal. Ini diperkuat dengan hadis lain.
Para ulama generasi salaf juga menguatkan opsi sunah tersebut. Di antaranya, Ibnu Abbas, Thawus, as-Sya'bi, Maimun bin Mahran, Ibn al-Mubarak, Imam Syafi'i, Ahmad, dan Ishaq.
Sedangkan, kelompok yang berpendapat makruh, menganalisis dasar kemakruhan puasa ini lantaran persamaan puasa enam hari di Syawal dengan puasa setahun penuh, tanpa ada jeda syiyam ad-dahr. Padahal, puasa dahr, seperti riwayat Bukhari, tidak diperbolehkan.
Selain itu, mereka merujuk pada pernyataan Imam Malik, seperti di kitab al-Muwattha'. Imam Malik, dalam riwayat yang dinukilkan oleh Yahya bin Yahya mengatakan bahwa belum pernah melihat satu pun ahli fikih melaksanakan puasa tersebut, termasuk dari generasi salaf.
Menurut Imam Malik, para ulama tersebut menghukumi makruh lantaran khawatir mereka terjerumus perkara bid'ah, seperti menyertai ibadah puasa apa pun pasca-Ramadhan.
Apalagi, jika bid'ah tersebut berasal dari orang-orang yang tak berilmu. Jika memang boleh, mengapa para salaf tidak berpuasa enam hari di Syawal? Kata Imam Malik.
Sedangkan, bagi pihak yang menyatakan makruh bila dikerjakan dengan berurutan menilai bahwa pola berpuasa enam hari di Syawal secara berurutan tersebut khawatir muncul persepsi bahwa puasa tersebut merupakan bagian dari Ramadhan.
Ini berpotensi menyerupai tradisi Nasrani. Apalagi, bila disertai keyakinan bahwa pelaksanaan secara berurutan dan langsung setelah Syawal adalah sunah.
Akan tetapi, jika dikerjakan secara terpisah, tak jadi soal. Alasan tak jauh berbeda juga dikemukakan oleh kalangan yang menganggap makruh bila dimulai sejak 1 Syawal lalu disertai dengan lima hari berikutnya.
Ini dikhawatirkan memantik anggapan bahwa sunah tersebut termasuk bagian Ramadhan atau tambahan atas puasa wajib, seperti tradisi yang berlaku di Nasrani atau Yahudi. Bila dilaksanakan di luar pola tersebut, seperti berpuasa setelah 1 Syawal, hukumnya tidak makruh, melainkan sunat.
Cara pelaksanaan
Lantas, bagaimana cara pelaksanaan puasa enam hari Syawal? Syekh az-Za'abi kembali menjelaskan para ulama yang menyatakan hukum berpuasa enam hari Syawal adalah sunat kembali berselisih pandangan terkait tata cara puasa enam hari Syawal.
Setidaknya, ada tiga pendapat utama, yaitu pertama puasa tersebut dianjurkan setelah 1 Syawal langsung tidak usah ditunda-tunda. Ini merupakan pendapat Imam Syafi'i, Ibn al-Mubarak, dan ulama lainnya.
Menurut mereka, lebih baik menyambung dan menyegerakan ibadah, tidak perlu menunda-nunda. Ingin berurutan atau terpisah, terserah. Tetap mendapat keutamaan sepanjang masih Syawal.
Kedua, tak ada ketentuan apakah harus berurutan atau terpisah. Hadis Abu Ayyub al-Anshari di atas, redaksinya mutlak. Hendak berpuasa di awal, pertengahan, atau akhir Syawal, tak mengapa. Baik berurutan atau pun terpisah-pisah. Ini adalah pendapat Imam Waki', Imam Ahmad, dan lainnya.
Ketiga, pelaksanaannya tidak boleh langsung setelah 1 Syawal dan separuh awal Syawal. Akan tetapi, hendaknya dikerjakan bergandengan dengan puasa ayyam al-baidh (13, 14, 15 bulan Qamariyah).
Dengan demikian, berdasarkan pendapat ini, maka waktu pelaksanaan puasa enam hari Syawal ialah 10, 11, 12, 13, 14, 15 Syawal.
Pandangan ini dikemukakan oleh Ma'mar, Abd ar-Razzaq, Atha', dan lainnya. Menurut mereka, hari-hari pertama Syawal adalah waktu untuk makan dan minum.
Pun, keutamaan enam hari Syawal itu mutlak selama sebulan penuh. Lebih utama lagi, diakhirkan lalu digabung dengan berpuasa 'belasan' seperti tersebut di atas. Sehingga, memperoleh dua keutamaan sekaligus, yakni puasa enam hari Syawal dan ayyam al-baidh.
Komentar
Posting Komentar