Siluet Izroil
Sering terbesit, kala diri ini sedang terbaring tak berdaya meringkuk kesakitan, tentang sesosok yang aku pun tak mampu menciptakan ilustrasi wajahnya dalam ruang imajinasiku. Ya … dia sang penjemput maut utusan Allah yang akan memanggil sukma kita agar berpisah dari sang raga, dia sempat menjadi pangeran impianku tahun 2006 lalu yang selalu kunanti di antara gerimis kala senja, yang aku tunggu di sudut kamar tepi jendela, dia … Izroil.
Tersadar, perjumpaanku dengannya adalah kepastian, aku tak mampu mengelak apalagi dustai fakta. Yang aku tau, dia datang tanpa isyarat, mengikut titah sang Penguasa tanpa ada toleransi untuk kita menawar penangguhan.
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya …” (QS. Ali ‘Imran: 145)
Aku mengerti, dengan jasadku yang baru saja berada dalam fase pemulihan, itu menjadikan diriku jauh merasa lebih dekat dengannya. Dekat mendekat, kian dekat namun tak nampak. Berpendar bersama ruang kesadaran, membias dalam pengharapan penjagaan kualitas diri.
Setiap individu punya jatah berjumpa dengannya, hanya saja masing-masing menempuh proses berbeda tentang bagaimana perjumpaan itu.
Mundur menghidar? Tak ada jalan untuk berpaling. Membidik jeli tanpa lalai. Sembunyi berselimut juga tak lepas dari bidikan. Ketakutan hanya omong kosong dalam kedangkalan kesadaran, karena dia pasti datang.
Bangkit, semangat dan optimis. Sakit memang perantara paling global perjumpaan dengannya, namun itu tak bernilai mutlak, sekali lagi takdir punya rahasia. Tergores paten dalam lembar lauhul mahfuzh sejak ruh ini ditiupkan dalam jasad.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan” (QS.Al-Anbiyaa’: 35)
Bukan, bukan memasung diri dalam bilik ketakutan namun harus menciptakan energi positif dalam diri yang terbentuk oleh optimisme akan kebenaran takdir.
Jangan… jangan pernah takut. Refleksikan ketakutan itu dengan muhasabah, berdiri di depan cermin besar, menatap lekat pada diri, mengais segenap noktah kealpaan yang terbentuk oleh jejak memoar kemudian berusaha menghapus noktah itu dengan ikhtiar perbaikan diri, ikuti petunjuk Rasulullah dengan “Bertakwalah engkau kepada Allah di mana saja berada, dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik niscaya perbuatan baik tersebut akan menghapuskannya, serta bergaullah bersama manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad dan Al-Tirmidzi dari Abu Dzar dan Mu’ad bin Jabal Radhiyallahu ‘Anhuma. Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahihul Jami’ no. 97)
Sulit memang sulit, namun diri harus tetap terproteksi dalam penjagaan kualitas iman agar senantiasa siap kapan pun dia akan datang dengan terus mengumpulkan pundi-pundi bekal, seperti perintah-Nya dalam QS. Al-Hasyr: 18, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Sanggup dan siap berjumpa, namun tak mendamba, berjuang mencapai puncak kedekatan seorang hamba dengan Sang Pemilik ruh. Menunggu bukan dalam diam, tanpa meminta percepatan ataupun penangguhan waktu. Berharap berjumpa dalam keadaan taqwa dan kekal di jannah-Nya layaknya yang tertera dalam janji Allah, “… orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya, bagi mereka surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya sebagai tempat tinggal (anugerah) dari sisi Allah. Dan apa yang di sisi Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbakti.” (QS. Ali ‘Imran: 198)
Komentar
Posting Komentar