Uang dan Alat Tukar
Uang atau alat tukar menurut syariat Islam harus berupa ‘ayn (komoditas) hingga punya nilai intrinsik. Nota hutang atau voucher, atau dayn, hanya halal sebagai tanda terima privat antara dua pihak, dan haram digunakan sebagai alat tukar publik. Uang kertas adalah metamorfosa dari dayn ini. Dasar pemilihan jenis ‘ayn yang dapat digunakan sebagai alat tukar atau uang itu sendiri sepenuhnya bebas, sepanjang sama-sama ridho.
Jadi harus dipahami halal haramnya suatu transaksi bukan saja ditentukan oleh jenis dan prosedur (akad) transaksinya. Substansi atau jenis alat tukar yang digunakan juga menentukan halal haramnya. Tentu tidak semua jenis komoditas dapat digunakan sebagai uang atau alat tukar.
Bagaimana Nabi Muhammad, sallalahu alayhi wa sallam, mengajari kita memilih uang atau alat tukar ini?
Dalam hadits sahih Muslim, dari Abu Said al Khudri r.a, Rasul, sallalahu alayhi wa sallam, bersabda:
“Transaksi pertukaran emas dengan emas harus sama takaran dan timbangannya, dari tangan ke tangan (kontan), kelebihannya adalah riba; perak dengan perak harus sama takaran dan timbangannya, dan dari tangan ke tangan (kontan), kelebihannya adalah riba; tepung dengan tepung harus sama takarannya dan timbangannya, dan dari tangan ke tangan (kontan), kelebihannya adalah riba; korma dengan korma harus sama takaran dan timbangannya, dan dari tangan ke tangan (kontan), kelebihannya adalah riba; garam dengan garam harus sama takaran dan timbangannya, dan dari tangan ke tangan (kontan), kelebihannya adalah riba.”
Jenis benda niaga, atau ‘ayn, yang disebutkan oleh Rasulullah, sallalahu alayhi wa sallam, di atas (emas, perak, gandum, korma, dan garam) dapat digunakan sebagai alat tukar. Benda-benda ini memiliki ciri-ciri tertentu yang memungkinkannya berlaku sebagai alat tukar: daya simpannya yang panjang dan dapat distandarisasi dan dipecah dalam satuan berat/volume yang fixed, dan diterima secara umum sebagai alat tukar.
Sebelumnya juga telah dijelaskan bahwa transaksi harus memenuhi syarat keadilan, atau kesetaraan nilai, dalam benda (atau jasa) yang ditransaksikan. Dalam hal benda-benda sejenis namanya pertukaran atau sarf, antara benda tak sejenis, namanya jual-beli. Dalam sarf, contohnya emas dengan emas, bentuknya bisa saja tidak sama, misalnya Dinar emas dan kalung emas, tapi takaran dan timbangan keduanya harus persis sama, dan diserahkan secara kontan.
Kalau bendanya tak sejenis, boleh tidak sama takaran dan timbangannya, asal “suka sama suka” dan “kontan”. Itulah jual beli. Ketidaksamaan timbangan dan takaran (baca: nilai) ini adalah sumber keuntungan bagi penjualnya. Sedang ketidaksamaan takaran/timbangan dalam pertukaran benda sejenis adalah sumber riba. Riwayat dari Imam Malik, dalam Al Muwatta, berikut akan memperjelas pengertian ini:
Imam Malik: “Yang disepakati di antara kita mengenai apa pun yang dapat ditimbang selain emas dan perak, misalnya tembaga, kuningan, timah, timah hitam, besi, tumbuhan, buah ara, kapas, dan barang-barang lain semacam ini yang ditimbang, adalah tidak ada larangan untuk membarter semua jenis barang-barang ini dua banding satu, secara tunai. Tidak ada larangan untuk mengambil satu ritl [ukuran berat sekitar satu pon] besi untuk dua ritl besi, dan satu ritl kuningan untuk dua ritl kuningan.”
Kembali kepada pertanyaan di atas: lalu benda niaga apa sajakah yang dapat dijadikan alat tukar?
Secara umum telah disinggung di atas benda niaga yang dapat dijadikan uang adalah yang “lazim diterima sebagai alat tukar,” dan memiliki ciri fitrah sebagai alat tukar, yaitu “daya simpannya yang lama dan takaran atau timbangannya dapat distandarisasi hingga dapat memiliki unit hitung”.
Beberapa riwayat berikut akan memberikan jawaban lebih jelas. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani, Rasul, sallalahu alayhi wa sallam, mengatakan:
“Jangan kamu bertransaksi satu dinar dengan dua dinar, satu dirham dengan dua dirham; satu sa’ dengan dua sa’ karena aku khawatir akan terjadinya riba (al Rama’). Seseorang bertanya: ‘Wahai Rasul, bagaimana jika seseorang menjual seekor onta dengan beberapa ekor kuda atau seekor onta dengan beberapa ekor onta? Jawab Nabi, sallalahu alayhi wa sallam,, ‘Tidak mengapa, asal dilakukan dengan tangan ke tangan (kontan).”
Selain hadits ini, ada riwayat lain dari Imam Malik, yang meriwayatkan dari Yahya dari Malik dari Naf’i:
“Bahwa Abdullah ibn Umar membeli (menukar) seekor onta-tunggangan betina dengan empat ekor onta dan dia memastikan akan mengirimkan keempat-empatnya kepada pembeli di ar-Rabadha.”
Perhatikanlah isi dari hadits dan ‘amal penduduk Madinah di atas. Menukar Dinar dengan Dinar atau Dirham dengan Dirham, harus sama banyak dan kontan. Tetapi, menukarkan onta atau kuda dibolehkan dengan jumlah berbeda. Mengapa? Karena Dinar dan Dirham (begitu juga beberapa komoditi yang disebut bersamanya di atas seperti tepung, kurma, dan garam) adalah uang, sedangkan onta atau kuda tidak pernah dipakai sebagai uang atau alat tukar.
Ada lagi satu hadits yang dapat kita ajukan sebagai petunjuk dan bukti adanya benda-benda yang lazim dan tidak lazim digunakan sebagai uang. Dari sahih Bukhari Muslim, yang meriwayatkan dari Abu Said al Khudri, yang mengatakan bahwa:
“Bilal membawa sejumlah kurma Barni kepada Rasulullah, sallalahu alayhi wa sallam,, dan ketika beliau bertanya dari mana ia mendapatkannya, ia [Bilal] menjawab, ‘Saya memiliki sejumlah kurma inferior, maka saya menjualnya 2 sa’ untuk 1 sa’ kurma (yang bagus ini). Beliau berkata, ‘Ah! Inilah esensi Riba, inilah esensi Riba. Jangan lakukan itu, kalau kamu mau membelinya, jual kurmamu itu dalam transaksi terpisah, kemudian belilah yang kamu dapatkan ini’”.
Kurma, seperti halnya ‘ayn lain yang berfungsi sebagai alat tukar, atau uang, kalau dipertukarkan sesamanya, harus dalam jumlah dan jenis yang sama. Tapi, kalau mau diperjualbelikan maka harus dilakukan melalui alat tukar, atau uang, yang jenisnya lain, yaitu Dirham perak atau lainnya.
Dari berbagai kaidah di atas kita juga dapat memahami kalau di suatu daerah tidak ada atau kekurangan emas, perak, kurma, tepung, atau garam, maka beras, jagung, polong-polongan seperti kedelai dan kacang hijau, misalnya, bisa digunakan sebagai uang atau alat tukar. Maka tidak ada istilah kekurangan atau ketidakcukupan alat tukar.
Oleh: Zaim Saidi
Direktur Wakala Induk Nusantara
[Wakalanusantara]
Komentar
Posting Komentar