Mengapa Harus Lari?
Khalifah Umar bin Khattab memiliki postur tinggi besar dan berwibawa. Suatu ketika berjalan melewati anak-anak yang sedang bermain di jalan. Melihat kedatangan Khalifah Umar mereka lari ketakutan kecuali Abdullah bin Zubair yang tetap berdiri tanpa takut sedikitpun, bahkan ia menatap wajah Umar.
Umar Bin Khattab melihat anak ini berbeda dengan teman seusianya dan mengagumi sikapnya, lalu bertanya: “ Mengapa engkau tidak lari bersama teman-temanmu?”
Abdullah bin Zubair kecil tanpa segan menjawab dengan lantang: “Wahai Amirul Mu’minin, aku tidak melakukan kejahatan apapun mengapa harus lari? Jalan ini tidak sempit, mengapa aku harus menyingkir memberi jalan untukmu?”
Luar biasa ketegaran dan keberanian anak ini. Ia putra tokoh Islam Zubair bin Awwam dan Asma yang telah membentuk karakter cerdas dan ksatria yang penting untuk kehidupannya di kemudian hari.
Menurut Aisyah ketika anak itu masih bayi, Rasulullah SAW mengusap anak tersebut dan memberi nama Abdullah. Ketika berusia tujuh atau delapan tahun Abdullah datang kepada Nabi untuk berbaiat. Rasulullah SAW tersenyum saat melihat anak itu menghadap. Kemudian dia membaiat Nabi (HR Muslim).
“Mengapa harus lari?” pertanyaan yang sekaligus menjadi jawaban bahwa dengan tidak lari dan menghindarpun toh akan selamat. Hanya orang yang berdosa dan melakukan kejahatanlah yang pantas untuk takut dan lari.
Memang kadang aneh, orang yang menyimpang dan melakukan kejahatan kadang berani menghadang tantangan dan risiko, padahal mereka berada di jalan yang tak selamat. Sementara itu orang yang benar dan jujur justru sebaliknya malah jadi penakut. Disinilah Abdullah bin Zubair memberi pelajaran.
Pendidikan karakter itu harus sejak dini. Yahya As kecil mendapat pendidikan dari Allah untuk dapat menyelamatkan kehidupannya sendiri. Keselamatan yang hakiki.
“Wahai Yahya ambilah Kitab dengan sungguh-sungguh. Dan Kami berikan hikmah kepadanya sejak anak-anak. Dan (Kami jadikan) rasa kasih sayang (kepada sesama), kesucian dan ketakwaan. Dan sangat berbakti kepada orangtua, tidak sombong dalam pergaulan dan tak durhaka. Keselamatan bagi dirinya saat dilahirkan, dimatikan, dan saat dibangkitkan” (QS Maryam 12-15).
Ada empat hal penting pendidikan karakter Allah SWT kepada Yahya. Pertama dasar dari nilai adalah Kitab karena celupan (sibghah) dari kepribadian yang mantap, kuat, dan berani adalah Kitab Allah. Kedua, terbangun kualitas intelektual yang baik dengan ilmu pengetahuan yang luas dan memahami hikmah dari berbagai sinyal Allah.
Ketiga, hati yang bersih dan memiliki kepekaan emosional serta empati yang tinggi terhadap berbagai penderitaan sesama. Dan keempat, berbuat baik kepada orang tua dan pergaulan sosial yang bagus dan tidak sombong.
Keempat aspek di atas telah membuat Yahya muda tidak pernah lari dari medan juang dan tidak pernah merasa sempit jalan walaupun mesti berhadapan dengan berbagai bentuk kezaliman penguasa dan kaumnya. Ia tegar menuntaskan misi kenabiannya.
Ketika kecil kita suka mendengar kisah sikap jika dikejar oleh seekor anjing. Jika kita lari terus saat anjing mengejar kita, maka anjing itu akan semakin kencang mengejar dan mungkin cepat untuk menggigit. Dikatakan kita harus segera diam, berjongkok seperti sedang mencari batu untuk melemparnya. Niscaya anjing itu akan berhenti mengejar. Meski hal itu tergantung pada keadaannya, namun mungkin ada benarnya. Anjing akan berhenti jika dia tahu sasarannya melawan dan berani.
Di tengah arus zaman yang keras seperti sekarang dimana kemaksiatan mengepung diri dan anak-anak kita, nilai-nilai moral mulai tergerus oleh budaya barat yang hedonis, kerakusan yang memangsa korban siapa saja termasuk saudara dan anggota keluarga sendiri, mistik-mistik yang berkembang membarengi jiwa frustrasi yang tidak mampu berkompetisi, maka tidak ada jalan lain selain dengan gigih kita harus menanamkan jiwa perlawanan, keberanian, dan harga diri pada anak anak dan pelanjut generasi.
Membesarkan jiwa mereka untuk mencapai keberhasilan di masa depan. Memberi gambaran bahwa lapangan kehidupan itu luas dengan rezeki yang Allah tebarkan dimana-mana. Jalan itu tidak sempit anakku, mengapa harus menyingkir? Sepanjang engkau tidak melakukan kejahatan apapun, mengapa harus lari?
Komentar
Posting Komentar