Selamat Datang, Zaman Mulkan Jabariyyan!
“Masa kenabian itu ada di tengah-tengah kalian, adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia menghendaki untuk mengangkatnya. Selanjutnya adalah masa Khilafah yang mengikuti jejak kenabian (Khilafah ’ala minhaj an-nubuwwah), adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia menghendaki untuk mengangkatnya. Selanjutnya masa kerajaan yang menggigit (Mulkan ’Adhan), adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia menghendaki untuk mengangkatnya. Setelah itu, masa kerajaan yang menyombong (Mulkan Jabariyyan), adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia menghendaki untuk mengangkatnya. Selanjutnya adalah masa Khilafah yang mengikuti jejak kenabian (Khilafah ’ala minhaj an-nubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam,” (H.R Ahmad).
Inilah babak keempat era akhir zaman yang sudah disebutkan oleh Nabi Muhammad SAW. Yaitu kehidupan di bawah kepemimpinan Mulkan Jabriyyan alias para penguasa yang memaksakan kehendak atau para diktator. Babak ini diawali dengan berakhirnya babak ketiga yaitu babak kepemimpinan Mulkan Aadhdhon atau para pemimpin yang menggigit. Yang dimaksud dengan para pemimpin yang menggigit ialah para khalifah Islam yang memimpin khilafah Islamiyyah sejak Kerajaan Daulat Umayyah lalu Daulat Abbasiyyah kemudian Kesultanan Turki Usmani yang dalam literatur Barat Eropa disebut The Ottoman Empire. Total masa berlangsungnya babak ketiga mencapai kurang lebih empat belas abad.
Ketika masih hidup di babak ketiga umat Islam memiliki para pemimpin yang dijuluki para khalifah namun dalam mekanisme suksesinya menggunakan pola kerajaan yang mewarisi kepemimpinan berdasarkan garis keturunan keluarga. Atau sistem oligarkhi. Namun para raja tersebut masih ”menggigit Al-Qur’an dan As-Sunnah” sehingga Nabi menjuluki mereka sebagai para Mulkan Aadhdhon atau Raja-raja yang Menggigit. Berbeda dengan babak sebelumnya yaitu babak kepemimpinan Khulafa Ar-Rasyidin yang ”menggenggam Al-Qur’an dan As-Sunnah”, maka ibarat mendaki bukit tentu lebih pasti dan aman menggenggam tali sampai puncak bukit daripada menggigitnya.
Oleh karenanya kita dapati pada babak ketiga terkadang ada ditemukan khalifah yang adil-bijaksana seperti Umar bin Abdul Aziz, namun pada babak yang sama ada juga yang berwatak kejam seperti Abul Baqa’ Al-Qaim Biamrillah di Mesir.
Betapapun banyaknya catatan atas babak ketiga, namun pada babak tersebut umat Islam masih memiliki sistem khilafah sebagai tatanan formal kehidupan bernegara. Hukum yang diberlakukan masih hukum Allah. Sedangkan sesudah itu umat bukan saja hidup di bawah kepemimpinan para Mulkan Jabriyyan yang merupakan para diktator bermasalah secara personal, tetapi juga bermasalah secara sistem.
Belum pernah umat Islam hidup tanpa naungan Khilafah Islamiyyah seperti yang dialami dewasa ini. Keadaan umat Islam dewasa ini mirip seperti keadaan Nabi dan para sahabat saat berjuang di Mekkah sebelum hijrah ke Madinah. Mereka mengalami pengusiran dari rumah, penganiayaan, penyiksaan, pemboikotan bahkan pembunuhan. Sedemikian hebatnya penderitaan yang dialami, sehingga sempat sahabat Khabab bin Arat datang dan mengeluh di hadapan Nabi. Apa jawaban Nabi saat itu?
“Ada seseorang dahulu yang ditanam badannya ke dalam bumi hingga sebatas lehernya lalu kepalanya digergaji sehingga terbelah dua namun hal itu tidak menghalanginya dari tetap beragama. Kemudian disisir dengan besi sehingga terkelupas dagingnya dan tampaklah tulangnya namun hal itu tidak menghalanginya dari tetap beragama. Demi Allah, sungguh urusan ini akan disempurnakan sehingga seorang pengembara berjalan dari San’a hingga Hadramaut tidak merasa takut kepada apapun selain Allah atau srigala yang menerkam gembalanya. Akan tetapi kalian tergesa-gesa…!” (HR Bukhari 3343).
Apa yang kita alami dewasa ini merupakan sunnatullah. Ini merupakan suatu cara bagi Allah untuk menyeleksi siapa di antara orang-orang yang mengaku beriman memang sungguh-sungguh beriman. Allah tidak berkenan memberikan kemenangan bagi umat Islam sebelum mereka mengalami penempaan yang semestinya. Bersabarlah. Jangan mengira bahwa sikap diam dan seolah tidak berbuat merupakan sikap pasif dan mengalah..! Jangan kira bahwa mereka yang menghiasi media-massa berlomba merebut panggung kekuasaan merupakan fihak yang paling berjasa bagi perjuangan umat dan perubahan sosial.
Pada tahap ini yang diperlukan adalah orang-orang beriman yang mampu menahan diri sambil terus membina pribadi dan keluarganya serta umat di sekelilingnya bersiap-siaga menghadapi masa-masa kritis peralihan dari babak keempat menuju babak kelima. Peralihan dari babak kepemimpinan Mulkan Jabriyyan menuju tegaknya kembali Khilafatun ’ala Minhaj An-Nubuwwah. Suatu bentuk peralihan yang seringkali digambarkan sebagai fase Huru-Hara Akhir Zaman. Suatu peralihan yang sudah barang tentu tidak akan dilalui seperti berjalan di taman bunga dan permadani mewah. Suatu peralihan yang sangat boleh jadi menuntut tertumpahnya tetesan airmata dan darah.
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS Ali Imran ayat 139-140)
[disarikan dari tausiyah ust. Ihsan Tandjung]
Komentar
Posting Komentar