Tak Ada Habibie tanpa Ainun

Rekor jumlah penonton terus dipecahkan oleh film Habibie & Ainun (H&A). Jumlah penonton dalam satu hari 191 ribu orang pada Sabtu, 27 Desember 2012. Jumlah penonton dalam sepekan 1 juta orang. Jumlah penonton dalam dua pekan 2,1 juta orang. Hingga Ahad pekan lalu ada 2.503.289 penonton. Film ini sudah melampaui film 5cm, yang ditayangkan sepekan lebih dulu, yang sudah mencetak 2.121.518 penonton.

Film H&A yang ditayangkan perdana pada 20 Desember 2012 diperkirakan masih akan terus dibanjiri penonton. Yang orang tunggu adalah apakah akan melampaui rekor yang dipegang Laskar Pelangi (2008) dengan 4.606.785 penonton? Atau justru tak mampu melampaui dua film dengan jumlah penonton terbanyak kedua dan ketiga? Ayat-ayat Cinta (2008) dan Ketika Cinta Bertasbih (2009) masing-masing ditonton 3.581.947 orang dan 3.100.906 orang. Meledaknya film H&A – maupun 5cm – merupakan rebound bagi perfilman nasional. Ini karena pada 2011 rekor tertinggi 'hanya' 748.842 penonton untuk film Surat Kecil untuk Tuhan. Sedangkan pada 2010 masih bisa tembus di atas satu juta orang untuk film Sang Pencerah yang menggaet 1.206.000 penonton.

Meledaknya film Habibie sudah didahului oleh meledaknya buku otobiografi perjalanan hidup dua sejoli ini, yang berjudul sama. Buku yang diterbitkan pada 2010 itu ditulis oleh Habibie sendiri. Cetakan pertama 25 ribu eksemplar. Habis dalam satu bulan. Cetakan kedua 50 ribu eksemplar. Habis dalam lima bulan.
Cetakan ketiga 50 ribu eksemplar, yang hingga kini tinggal lima ribu eksemplar. Meledaknya film dan buku tersebut menjadi jawaban terhadap kesangsian Habibie terhadap bangsanya. Dalam film itu, ia mendatangi hanggar IPTN di Bandung – setelah pertanggungjawabannya sebagai presiden ditolak MPR. Usai mengusap pesawat yang tak terurus dan berdebu, Habibie berucap: “Dengan pesawat ini, buatan mereka sendiri, seluruh pulau di Indonesia bisa terhubung. Bayangkan infrastruktur yang berkembang, kemajuan ekonomi di pulau-pulau itu. Mereka bisa mandiri. Tapi ternyata bangsa ini tidak mau....” Ratapan dan kekecewaan itu terbantahkan dengan sendirinya dari meledaknya buku dan filmnya.

Sejak awal, kedatangan Habibie memang menimbulkan kekhawatiran bagi pihak-pihak tertentu. Dalam film itu, dan tak ada dalam buku, ada adegan seorang jenderal berbintang tiga yang selalu membuntuti gerak-gerik Habibie. Juga ada seorang pengusaha yang di film itu bernama Sumohadi, juga tak ada dalam buku. Dia berusaha menyuap dengan jam mewah, uang, dan terakhir wanita. Bagi sebagian wartawan yang pernah bertugas liputan di kementerian ristek tentu pernah mendengar kisah itu dan siapa sebenarnya si pengusaha itu. Dalam film itu digambarkan dia diwawancara wartawan dan jelas arahnya untuk menjatuhkan Habibie dengan argumen “reformasi 100 persen”. Pengusaha itu memang memiliki kaitan dengan jenderal
berbintang tiga tersebut. Melalui film H&A kita jadi makin tahu perilaku asli sang pengusaha yang namanya sering dikutip media massa sebagai tokoh yang hebat.

Namun tak salah juga Habibie meratap. Dia habiskan seluruh hidupnya untuk negerinya. Bahkan waktunya untuk keluarga pun tersita habis untuk urusan negara. Dalam film itu tergambar dengan jelas dia tak cukup dekat dengan anak-anaknya. Namun ia dibalas menjadi pusat “olok-olok nasional”. Bahkan ada yang khusus menirukan Habibie dan dipentaskan di berbagai kota dan disiarkan di televisi-televisi. Padahal sumbangsih dia terhadap negeri ini tak seujung kukunya jika dibandingkan dengan Habibie. Dan yang lebih penting, apa yang dia dan orang-orang lainnya tuduhkan pada Habibie sama sekali tak benar. Semua hanya berdasarkan prasangka dan kedengkian. Olok-olok yang massif itu seolah-olah berhasil menguburkan puja-puji bangsa ini pada Habibie. Karena sebelumnya, bagi anak-anak Indonesia, jika ditanya cita-citanya maka akan dijawab ingin pintar seperti Habibie.

Walau alur film itu berisi kisah cinta Habibie dan Ainun, namun film ini bukan sekadar kisah romantis sepasang anak manusia. Juga bukan sekadar menyampaikan pesan cinta yang murni, suci, sejati, sempurna, dan abadi. Juga bukan sekadar nilai-nilai keluarga sakinah. Film H&A sarat dengan pesan nasionalisme, anti-korupsi, dan cita-cita memajukan dan memakmurkan bangsa dan negara. Di dalamnya ada intrik politik dan keculasan. Ada perjuangan dan juga kedengkian.

Di dalam buku H&A, dan tak ada dalam versi film, ada pesan tegas dari Pak Harto kepada Habibie: “Mulai saat ini saya minta agar Habibie tidak menerima makanan dan minuman kecuali yang disediakan oleh Ainun.” Itu setelah Habibie setengah dipaksa Soeharto untuk menjadi ketua umum ICMI. Habibie yang semula teknokrat dan teknolog murni, sejak itu juga menjadi figur politik. Kita ingat bagaimana aktivis Munir diracun. Juga ada sejumlah tokoh lain yang mati diracun, namun tak pernah bisa dibuktikan karena keluarganya menolak otopsi.

Walau hanya 17 bulan menjadi presiden, prestasi Habibie tetap dicatat dengan tinta emas. Ia yang memberi landasan demokrasi terutama kebebasan pers dengan seketika, membebaskan seluruh tahanan politik, menurunkan nilai tukar rupiah dari sekitar Rp 15 ribu menjadi Rp 5 ribu per dolar AS. Yang jarang orang catat adalah keberhasilan Habibie menurunkan indeks gini rasio, jurang antara kaya dan miskin. Di awal Soeharto menjadi presiden, indeks gini rasio adalah 0,40, dan ketika turun menjadi 0,32. Dalam waktu singkat, oleh Habibie diturunkan lagi menjadi 0,31. Pada tahun 2012, indeks gini rasio naik lagi menjadi 0,41. Lebih tinggi dibanding awal Orde Baru. Makin tinggi berarti makin lebar jurang kaya dan miskin.

Meledaknya film H&A menandakan bangsa ini masih waras. Mereka bisa melihat kebenaran. Apalagi akting Reza Rahadian sangat ciamik sebagai Habibie. Walau sejak awal pembuatan publik sudah menyampaikan kekecewaan karena pemeran Ainun adalah Bunga Citra Lestari, namun publik tetap pergi menonton. Daya tarik Habibie terlalu kuat. Kehadiran film ini bisa menjadi penolong bagi generasi penerus. Mereka tak beruntung. Mereka tak bisa menjadi saksi kiprah teknokrat dan teknolog dengan visi luar biasa. Tak setiap generasi bisa melahirkan tokoh besar, bahkan bisa di atas 100 tahun.

Kelahiran tokoh selalu melalui proses. Jiwa Habibie mekar karena distimulasi oleh pidato Bung Karno. Habibie yang saat itu mahasiswa ITB mengejar mimpi ke Jerman. Namun Ainun lah yang membuat karakter Habibie bisa mewujud. Tak ada Habibie jika tak ada Ainun. Semuanya untuk Indonesia.

Oleh Nasihin Masha

Komentar

Postingan Populer