Catur, dari Rakyat hingga Raja

Permainan ini merupakan salah satu penemuan Muslim di abad pertengahan.

Siapa yang tidak kenal catur? Masyarakat di berbagai belahan dunia mengenal permainan yang menggunakan papan berseling hitam dan putih itu. Bermain catur dipercaya menjadi salah satu cara meningkatkan kemampuan otak.
Catur /  Fhs.d211.org
Catur adalah salah satu dari sekian banyak penemuan Muslim di abad pertengahan yang masih bertahan sampai saat ini. Terlepas dari ukuran dan tampilannya, catur dapat dimainkan dengan berbagai aturan yang bervariasi.

Bagaimana asal muasal, bentuk, dan siapa yang pertama kali menemukan catur masih menjadi misteri. Catur diduga berasal dari India atau Persia sekitar 600 Masehi. Pada abad ke-14, Ibnu Khaldun mengasosiasikan catur dengan orang bijak dari India bernama Sassa bin Dahir.

Permainan kuno serupa catur di India disebut chaturanga yang artinya “memiliki empat anggota tubuh”. Kemungkinan, hal itu merujuk pada empat cabang tentara India yang terdiri atas gajah, penunggang kuda, kereta tempur, dan infanteri. 

Tidak seperti catur di masa sekarang yang terdiri atas papan dengan 12x12 kotak, chaturanga terdiri atas delapan kali delapan kotak. Chaturanga menjadi cikal bakal catur seperti yang kita kenal sekarang.

Sebuah manuskrip Persia abad ke-14 menjelaskan, seorang utusan India membawa permainan “catur” ke pengadilan Persia. Catur itu kemudian dibawa ke Spanyol oleh orang Arab. Namun, sebelum mencapai daratan Eropa, masyarakat Persia telah memodifikasi permainan itu menjadi chatrang. Saat bersentuhan dengan Arab, namanya menjadi shatranj.

Pada saat itu, bidak yang dimainkan adalah Syah sebagai raja dan Firzan sebagai jenderal yang kemudian berubah menjadi ratu di permainan modern. Fil adalah gajah yang kemudian bertransformasi menjadi menteri, Faras atau kuda, Rukh atau kereta tempur yang berubah menjadi istana atau benteng, dan Baidaq atau pion.

Perubahan terbesar aturan bermain catur, yakni dulu orang-orang menggunakan dadu. Mereka melempar dadu sebelum bermain. Dalam filsafat Hindu di India, melempar dadu sama dengan melempar kesempatan yang berarti sebuah cara berkomunikasi dengan kosmos dan para dewa.

Referensi tertulis sebelum masa Islam mengenai permainan ini terdapat di Persia sekitar 600 Masehi. Tulisan ini menyebutkan catur dan periode terakhir penguasa Sasanid di Iran (224-651 Masehi).

Buku Karnamak-i Ardeshir-i Papakan (Perbuatan Ardeshir di Papakan) menyebut permainan chatrang sebagai salah satu pencapaian budaya tersendiri bagi Ardeshir sebagai pangeran muda.

Permainan catur sangat populer di masyarakat. Begitu juga di kalangan bangsawan, terutama khalifah Abbasiyah sangat menyenanginya. Mereka yang sangat mahir bermain catur di masa itu adalah al-Suli, al-Razi, al-Aadani, dan Ibnu al-Nadim.

Jangan lupakan grandmaster asal Rusia, Yuri Averbak. Banyak orang yang berpikir permainan ini adalah permainan baru, padahal sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Al-Suli menulis banyak catatan mengenai aturan dan strategi bermain. Catatannya pun tersebar di seluruh negeri Muslim.

Sebuah buku berjudul Book of the Examples of Warfare in the game of Chess yang ditulis pada 1370 M untuk pertama kali memperkenalkan permainan catur yang disebut “Kepala Biara Buta dan Biarawatinya”.

Seorang musisi dan pelopor Ziryab membawa catur ke Andalusia pada abad ke-9. Kata skakmat berasal dari Persia shahmat yang berarti “raja telah kalah”.

Dari Andalusia, permainan menyebar di tengah-tengah kaum Kristen Spanyol dan Mozarab hingga mencapai bagian utara dan selatan Spanyol.

Catatan Eropa pertama yang menyebut soal catur ditemukan pada 1058. Ketika itu, Countess Ermessind dari Barcelona menghadiahkan bidak catur kristal agar diletakkan di Gereja St Giles di Nimes.

Beberapa tahun kemudian, Kardinal Damianni dari Ostia menulis kepada Paus Gregory VII untuk melarang permainan yang disebutnya kafir itu agar tidak menyebar di kalangan pendeta. Ia melarangnya karena catur dibawa oleh Muslim. 

Kontroversi di Negeri Mullah
Catur juga menyebar karena dibawa para pedagang yang melalui rute Asia Tengah hingga ke perbatasan Rusia.

Perlu diketahui, bidak-bidak catur asal Persia dari abad ketujuh dan delapan ditemukan di Samarkand dan Farghana. Tahun 1000 saja catur telah menyebar lebih jauh lagi.

Para pedagang Viking membawanya ke Skandinavia bersama koin-koin Arab dan patung Buddha. Pada abad ke-11 catur bisa ditemukan di Islandia. Literatur Islandia yang ditulis pada 1155 menyebutkan, Raja Denmark Knut Agung bermain catur pada 1027.

Pada abad ke-14 catur diterima secara luas di Eropa. Raja Alfonso X alias “Si Bijak” menulis Buku Catur dan Permainan Lain abad ke-13. Bahkan, pada 1769 dibuat “robot” catur.

Selain itu, Wolfgang de Kempelen dari Hungaria memberi hadiah kepada ratunya, Permaisuri Maria Theresa, yang tergila-gila pada catur. Ia menghadiahkan “robot” yang diberi nama “Iron Muslim” yang kemudian diberi nama Turki Ottoman.

Robot ini mampu mengalahkan para pemain catur hebat saat itu. Robot tersebut merupakan gabungan antara desain mekanik dan tipuan. Robot itu hanya berbentuk kotak menyerupai lemari.

Jangan salah, di dalamnya duduk pemain catur yang bertugas menjalankan bidak-bidak catur. Robot ini bertahan selama 85 tahun dan 15 pemain secara bergantian memainkannya.

Meski sejarah catur tidak bisa dilepaskan dari Iran namun negeri para mullah ini pernah melarang permainan catur. Usai revolusi Islam pada 1979, catur dilarang dimainkan di tempat umum. Apa sebabnya? Bermain catur dinilai bisa memicu masyarakat berjudi dan bermain curang.

Pada 1988, ketika pemimpin spiritual Iran Ayatollah Khomeini akhirnya mencabut larangan tersebut, catur disambut kembali dengan luar biasa. Bahkan, Iran mengadakan kejuaraan catur.

Namun, pada 2000 pemimpin oposisi Gerakan Kebebasan Iran Ebrahim Yazdi menyatakan, permainan kuno itu haram. “Masalah yang dihadapi Iran adalah tidak adanya hukum,” katanya.

Secara teori, fatwa itu tidak memiliki nilai legal. Tapi, dalam praktiknya tokoh di Iran biasanya mempunyai kekuasaan untuk turut campur pada kebebasan rakyatnya. Iran harus menunggu hingga 2001 sebelum akhirnya pelarangan itu dicabut kembali.

Ani Nursalikah/Republika

Komentar

Postingan Populer