Manifestasi Shalat untuk Perubahan

Kesalehan shalat mestinya termanifestasikan secara baik di kehidupan sehari-hari
Shalat berjamaah di mushala. (Ilustrasi) /Republika
Seorang bijak, Luqman, seperti terabadikan di Surah Luqman ayat 17, pernah berwasiat kepada anak-anaknya. Nasihat itu adalah seruan untuk mendirikan shalat dan menjadikannya sebagai daya dorong mengajak ke arah kebajikan dan mencegah mungkar. 

Ini pertanda kuat bahwa kesalehan spiritual shalat semestinya tidak terpisahkan dari kesalehan sosial. 

Makna itu, kata Ustaz Abdul Rojak, akan tampak jelas dengan merujuk hadis Rasulullah SAW: “Laa shalaata li man la tanhaahu shalatuhu 'anil fakhsya'i wal mungkar (Tak melakukan shalat orang-orang yang shalatnya tak menghindarkannya dari kekejian dan kemungkaran).”

Jadi, kata dia, alih-alih sebagai jaminan bahwa orang yang shalat pasti tercegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ayat tersebut mesti dipahami sebagai definisi shalat yang sesungguhnya. 

Menurutnya, shalat yang benar akan termanifestasikan dalam kebaikan akhlak. Shalat merupakan anugerah Allah SWT untuk manusia sebagai penghalang dan pemisah dari keburukan. 

Siapa yang ingin mengetahui sejauh mana manfaat shalatnya, hendaklah ia memperhatikan apakah shalatnya mampu menjadi penghalang dan pemisah dirinya dari perbuatan keji dan mungkar.

Shalat yang tak memiliki sifat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar tak memiliki nilai sebagai shalat yang benar, sehingga ia tertolak, sekalipun ia tetap shalat terus menerus selama 50 tahun. Selama tak berbuah apa pun di kehidupan sehari-hari, maka sangat disayangkan. “Allah tidak menerima satu pun shalatnya,” tegas Rojak dengan mengutip sebuah hadis. 

Wakil Pimpinan Pondok Pesantren Baitul Arqam, Jember, Jawa Timur, KH Izzat Fahd, menyatakan, khusyuk bermakna kesadaran penuh akan kerendahan kehambaan sebagai manusia di hadapan keagungan Tuhan.

Sikap khusyuk timbul sebagai konsekuensi kecintaan sekaligus ketakutan kepada Zat Yang Mahakasih dan Mahadahsyat. Orang yang memiliki sikap seperti ini akan berupaya memusatkan seluruh pikiran--seluruh keberadaannya--kepada Kehadiran-Nya dan membersihkannya dari apa saja yang selain Allah.

Maknanya adalah kehadiran hati. Tanpa kehadiran hati, shalat kehilangan nilainya. Rasulullah bersabda: “Shalat yang diterima adalah sekadar hadirnya hati.” Diriwayatkan pula, “Dua rakaat shalat orang yang khusyuk lebih bernilai ketimbang 1000 rakaat shalat orang yang tak peduli.” 

Kepada Abu Dzar, Rasul SAW mengajarkan: “Dua rakaat shalat pendek yang disertai dengan tafakur adalah lebih baik dari shalat sepanjang malam dengan hati yang lalai.”

Izzat menyatakan, khusyuk dan kehadiran hati masihlah kurang. Shalat masih harus dibarengi dengan zakat. “Shalat tidak sempurna melainkan dengan zakat.” Inilah kiranya hikmah di balik penjajaran ibadah shalat dengan membayar zakat di banyak ayat-ayat Alquran.

Dapat disimpulkan bahwa shalat yang benar memiliki baik dimensi individual maupun sosial. Banyak orang menunjuk kenyataan bahwa shalat dimulai dengan takbir dan ditutup dengan salam menyimbolkan kedua dimensi ini. 

Takbir yang dihayati merupakan perwujudan khusyuk, yakni kesadaran penuh bahwa Allah Maha Agung dan bahwa kita adalah hambanya yang rendah dan kecil.

Sedangkan salam, khususnya salam kepada manusia, adalah simbol bagi keharusan menjalankan fungsi kekhalifahan manusia untuk menyebarkan rahmat bagi seluruh bagian alam semesta.


Oleh: Erdy Nasrul /republika

Komentar

Postingan Populer