Krisis Ukraina dan Imbasnya Terhadap Dunia

Ukraina. Sebuah negara yang baru merdeka dari Uni Sovyet pada 24 Agustus 1991. Pasalnya, krisis Ukraina, tidak bisa dianggap sepele apalagi dinilai tak bakal berresonansi ke Indonesia.
Headline
Cepat atau lambat, besar atau kecil, imbasnya bakal dirasakan oleh dunia termasuk Indonesia sebagai bagian dari komunitas dunia. Apalagi dalam beberapa hal, yang dihadapi Ukraina mirip dengan situasi yang dihadapi Indonesia.

Seperti kerancuan dalam sistem politik dan merajalelanya korupsi. UU yang ada tidak memungkinkan seorang Presiden atau Perdana Menteri mampu memerintah secara kuat, berwibawa sebagaimana seharusnya.

Hal ini terjadi antara lain, karena masa transisi dari sistem otoriter ke demokrasi liberal belum lagi selesai. Adaptasi pada sistem politik yang baru belum lancar, korupsi sudah merajalela.

Korupsi di kalangan elit, antara lain 'dipelopori' oleh para elit pemimpin. Seperti Presiden dan Perdana Menteri. Periode sebelumnya Perdana Menteri Yulia Tymoshenko terlibat skandal korupsi raksasa.

Pada 2011 wanita pertama Ukraina yang menjadi Perdana Menteri itu dijatuhi hukuman penjara 7 tahun dan diharuskan membayar ke negara uang sejumlah US$188 juta. Kini Presiden (terguling) Viktor Yanukovych sedang dikejar-kejar sekalipun belum tahu berapa besar dana negara yang dikorupsinya.

Kemerdekaan Ukraina di 1991, hampir sama dengan karakter lahirnya reformasi di Indonesia. Dari sistem totaliter komunis ala Uni Sovyet menjadi negara demokratis ala Barat. Reformasi di Indonesia juga kurang lebih sama. Lahir dari rezim totaliter militeristik menjadi negara paling demokratis di Asia Tenggara.

Ternyata kemerdekaan, tidak segera menjadikan bangsa Ukraina terbebas dari belenggu keterpurukan. Reformasi di Indonesia juga justru ikut membawa Indonesia ke ruang keterpurukan.

Krisis Ukraina, negara berpenduduk 45 juta jiwa itu, bereskalasi dengan cepat. Tanpa didahului semacam pra kondisi, krisis Ukraina, tiba-tiba sudah mengundang keterlibatan Rusia dan Amerika Serikat.

Dampak dan efek domino keterlibatan kedua negara ini patut diantisipasi. Sebab bukan mustahil keadaan Ukraina bertambah runyam. Terbentuklah sebuah arena pertarungan langsung antara kekuatan yang memiliki persenjataan pemusnah, Rusia dan Amerika Serikat.

Mengapa begitu ?
Dua negara ini dikenal pernah bermusuhan selama hampir satu abad. Keduanya baru 'berdamai' setelah Uni Sovyet pecah menjadi beberapa negara pada 1990. Dalam referensi umum, Uni Sovyet digantikan Rusia.

Presiden Rusia saat ini, Vladimir Putin, merupakan anggota KGB (dinas rahasia) di era Uni Sovyet. KGB merupakan saingan utama agen intelejens Amerika Cerikat, CIA. Persaingan antara agen CIA dengan agen Rusia, masih berlangsung. Hingga sekarang label Vladimir Putin sebagai penerus legacy KGB, masih terus melekat. Sebab Putin tidak pernah membantah apalagi mengeleminirnya.

Sekalipun Rusia dan Amerika Serikat sudah berdamai, tetapi dalam kehidupan sehari-hari, perdamaian mereka belum bisa disebut sebagai sesuatu yang permanen.

Krisis Ukraina Bakal Picu Perang Dunia Ketiga?
Headline
Rusia tidak lagi identik dengan Uni Soviet. Rusia sudah bergabung dalam Kelompok Delapan (Group of Eight/G-8) bersama Amerika Serikat. Sesuatu yang tidak terjadi di era Uni Soviet.

Rusia dan Amerika Serikat juga sama-sama anggota APEC (Asia Pacific Economic Cooperation). Keduanya juga anggota Kelompok Duapuluh (Group of Twenty/G-20). Rusia juga tidak lagi berstatus negara komunis. Pemeluk agama, bebas melaksanakan ibadahnya.

Jika ini yang menjadi ukuran, antara Rusia dan Amerika Serikat tak akan ada permasalahan. Namun kenyataannya tidak demikian. Di APEC dan G-8, Rusia dan Amerika Serikat saling menyabot.

Pada KTT APEC 2013 di Vladivostok, Presiden Obama absen. Ketidakhadiran Obama di KTT Vladivostok sebagai balasan atas ketidak hadiran Presiden Vladimir Putin di KTT G-8 di Camp David pada tahun yang sama.

Dalam banyak hal sisa-sisa permusuhan Rusia dengan Amerika Serikat masih dilanjutkan atau berlanjut. Keputusan Rusia membentuk blok BRIC (Brazil, Rusia, India, China) di 2009 yang tujuan utamanya menghapus mata uang dolar Amerika Serikat sebagai alat tukar resmi di perdagangan internasional, merupakan bukti berlanjutnya permusuhan Rusia dan Amerika Serikat.

Pada 2011, BRIC berubah menjadi BRICS, setelah South Africa, Afrika Selatan bergabung. Bergabungnya Afrika Selatan membuat BRICS yang dimotori Rusia, bertambah kuat sebagai sebuah blok yang berseberangan dengan Amerika Serikat. Hal ini semakin menandai berlanjutnya konkurensi Rusia dan Amerika Serikat.

Begitu juga, keinginan Rusia untuk mengembosi badan dunia seperti IMF (International Monetary Fund - Dana Moneter Internasioal) dan World Bank (Bank Dunia). Dan yang hangat saat ini, keinginan Rusia menjadikan Ukraina sebagai salah satu blok ekonominya. Untuk tujuan itu Rusia menawarkan bantuan US$15 miliar bagi reformasi ekonomi Ukraina.

Sementara Amerika Serikat yang memiliki perjanjian militer Atlantik Utara (NATO/North Atlantic Treaty Organization) dengan sejumlah negara Eropa Barat, juga melakukan hal yang serupa. Jumlahnya jauh lebih kecil, hanya US$1 miliar. Tapi nilainya bisa bertambah besar dan bisa melebihi bantuan Rusia, apabila digabungkan dengan tawaran bantuan 28 negara anggota Uni Eropa.

Jadi untuk mendapatkan bantuan lebih besar, Amerika Serikat berharap Ukraina bergabung dengan Uni Eropa, sebuah pasar sekaligus komunitas global yang penduduknya mencapai 510 juta jiwa.

Bantuan berskala besar dari Rusia sangat beralasan. Karena di Krimea salah satu provinsi bagian Selatan Ukraina, Rusia masih menempatkan pangkalan militernya. Di Sevastopol, kota pelabuhan Laut Mati, Rusia menempatkan sejumlah kapal induknya termasuk kapal-kapal selam bertenaga nuklir.

Kehadiran pangkalan militer Rusia di Ukraina, walaupun tidak dipersoalkan secara terbuka, tetapi menjadi sebuah gangguan bagi Amerika Serikat. Terutama ketika sudah berbicara soal persaingan dalam persenjataan dan keunggulan teknologi dengan Rusia.

Amerika Serikat tak akan pernah merasa tenang dengan kehadiran pangkalan militer Rusia di Ukraina. Tetapi Washington juga tidak punya alasan kuat untuk mengusir. Karena Ukraina merupakan sebuah negara berdaulat.

Tapi munculnya krisis Ukraina dimana Rusia melakukan invasi ke negara tetangga itu bisa dijadikan alasan Amerika Serikat. Sama dengan yang dilakukan Amerika Serikat di Kuwait, ketika pasukan Saddan Husein, Irak menginvasi negeri liliput tersebut.

Oleh sebab itu kekhawatiran munculnya perang baru antara Rusia dan Amerika Serikat, masuk akal. Lokasinya, yah di Ukraina. Kalau itu terjadi, kawasan yang paling cepat terimbas, seluruh wilayah Eropa. Sekali sebuah perang meletus di Eropa. imbasnya akan ke seluruh dunia.

Umat manusia kembali berada dalam ancaman peperangan, perang dunia baru, sebuah perang dahsyat yang sejatinya - pada awal mula hanya dipicu oleh pertentangan elit politik. 

Peringatan Barack Obama pada Vladimir Putin
Presiden AS Barack Obama dan Presiden Rusia Vladimir Putin - ist
Tanda-tanda ke arah terjadinya perang, sudah mulai muncul. Sabtu 1 Maret 2014, dini hari WIB atau sekitar tengah hari 28 Februari 2014 waktu Washington, Presiden Amerika Serikat Barack Obama mendadak menggelar konperensi pers.

Dari Gedung Putih, Obama langsung mengingatkan Presiden Rusia, Vladimir Putin agar menghindari provokasi yang tidak penting di Ukraina. Obama meminta supaya Rusia menghormati kedaulatan sebuah negara dan perjanjian-perjanjian internasional yang ditanda-tanganinya.

Peringatan Obama keluar setelah laporan intelejen Amerika Serikat menyebutkan, Rusia telah mengirimkan pasukannya ke Krimea. Selain laporan intelejen, sejumlah wartawan Barat mengirimkan gambar dan suara ke kantor-kantor mereka di Amerika Serikat atau Inggris.

Isinya berupa fakta tentang hadirnya sejumlah militer bersenjata yang tidak mengenakan atribut, yang semakin memperkuat kecurigaan bahwa mereka semuanya militer Rusia yang sengaja diperintahkan Moskow hadir di wilayah Ukraina tersebut.

Karena tidak ada pengakuan dari Moskow, para analis Barat mengatakan, selama Moskow diam, tidak berreaksi atas tudingan Barat, berarti kehadiran militer Rusia di wilayah Ukraina, memang benar.

Krimea yang merupakan oblast atau provinsi yang terletak di bagian Selatan Ukraina ini, berbatasan dengan Rusia. Penduduk setempat memang beretnik Rusia dan bahasa resmi mereka, juga Rusia.

Hampir bersamaan dengan hadirnya militer Rusia di Krimea, Presiden Ukraina yang terguling, Viktor Yanukovych muncul di sebuah kota di Rusia yang tidak disebutkan namanya. Disana ia menggelar pertemuan pers dengan penegasan bahwa sampai saat ini ia masih merupakan Presiden yang sah negara Ukraina.

Ia mengungsi ke Rusia karena keselamatan atas dirinya serta para pendukungnya, sangat terancam. Selain berjanji akan berjuang terus menjadi Presiden Ukraina, iapun meminta Rusia untuk melindungi dan membantu perjuangannya.

Perlawanan bekas Presiden itu, sekalipun hanya dari pengasingan, tetap memiliki pengaruh ke dalam Ukraina. Sebab di dalam negeri, dia pun masih memiliki pengikut dan sahabat dekatnya.

Ukraina Negara Damai Berubah Kacau
Headline
Ukraina, secara geografis bisa disebut berada di Eropa Tengah. Hingga pertengahan 2012 lalu masih merupakan salah satu spot dunia yang memiliki kehidupan tenang dan damai. Tapi awal 2014, hanya sekitar 18 bulan, tiba-tiba berubah menjadi satu negara kacau di permukaan bumi. Nyawa manusia bisa hilang dengan mudah oleh sesuatu yang tidak jelas alasannya.

Jika di musim panas 2012 Ukraina menjadi negara yang banyak dikunjungi wisatawan, antara lain untuk menyaksikan final kejuaraan sepakbola Piala Eropa, awal tahun ini, Ukraina menjadi wilayah panas, paling berisiko untuk dikunjungi.

Bahkan orang Ukraina pun berusaha kabur dari negeri mereka. Demikian berbahayanya kehidupan di Ukraina sehingga liga sepakbolanya yang banyak melahirkan pemain-pemain kelas dunia, tak bisa digelar. Ditunda entah sampai kapan.

Krisis Ukraina yang diawali oleh perseteruan antara elit politik, berubah menjadi perebutan kekuasaan. Presiden Viktor Yanukovych yang berkuasa sejak 2010 pada 22 Februari 2014 dilengserkan oleh parlemen.

Pemicunya berawal pada November 2013. Terjadi perdebatan sengit di kalangan politisi. Antara mereka yang pro bergabung dengan Uni Eropa dan yang ingin berafiliasi dengan Rusia, bekas pecahan Uni Soviet.

Mayoritas rakyat Ukraina memang ingin bergabung dengan Uni Eropa. Tetapi sebagian kecil yang merasa tidak nyaman. Mereka yang tidak merasa nyaman, sekalipun masuk kategori minoritas, tetap kelompok itu tetap punya pengaruh. Di antaranya Presiden Viktor Yanukovych. Sehingga kekuatan mayoritas tidak serta mengalahkan minoritas.

Ketidaksetujuannya inilah yang mendorong oposisi melancarkan demonstrasi dan penggembosan yang berujung pada penggulingan Presiden Yanukovych oleh parlemen pada Sabtu 22 Februari 2014.

Presiden Vicktor Yanukovych yang dikenal dekat dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin, punya alasan untuk membawa Ukraina bergabung dengan Rusia. Sebab Ukaina sesungguhnya banyak bergantung pada bantuan Rusia.

Tapi sejarah juga menunjukkan ketika Nazi berkuasa di Jerman, banyak warga Ukraina yang menjadi kolaborator Nazi. Dan warga yang dimaksud pada umumnya beretnik Rusia. Inilah yang tidak dikehendaki oleh mayoritas Ukraina - jika negara tersebut bergabung dengan Rusia.
[mdr/inilah]

Komentar

Postingan Populer