Apa Motivasi Kita Beribadah?
Mafhum bagi kita bahwa tujuan utama penciptaan manusia adalah untuk beribadah. “Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku” (Ad-Dzariyat: 56). Ibadah di sini mencakup pengertian mahdlah dan mustafadah, yaitu setiap perbuatan baik yang bermanfaat dan diniatkan semata karena dan untuk Allah.
Kata Sayid Quthb dalam tafsir Fi Dzilal Al-Quran, ibadah merupakan al-wadhifah al-ilahiyyah, tugas yang diembankan Allah kepada manusia. Jadi, manusia yang menjalankan ibadah, maka ia telah memfungsikan hakikat penciptaannya. Sebaliknya, manusia yang melalaikan ibadah, berarti telah mendisfungsikan hakikat penciptaanya. Ibarat kata, lampu dibeli untuk tujuan penerangan. Ketika lampu tidak bisa lagi menerangi, berarti telah disfungsi. Itulah analogi bagi manusia yang enggan beribadah.
Tetapi, motivasi (niat) menjadi unsur penentu dalam ibadah. Dan motivasi ibadah setiap orang ternyata tidak pernah sama. Ada lima tingkat motivasi ibadah.
Pertama, ibadah al-mukrohin. Ini adalah tingkat motivasi terendah. Pada tingkat ini, ibadah hanya dipahami sebagai kewajiban. Ibarat anak SD yang mengerjakan PR, orang beribadah bukan didorong dari dalam, melainkan karena paksaan dari luar. Malah kerap sekadar untuk kepantasan. “...mereka tidak mengerjakan shalat, kecuali dengan malas dan tidak pula menafkahkan harta, kecuali dengan rasa enggan” (At-Taubah: 54).Kedua, ibadah al-ummal. Ibadah pada tingkat ini penuh vested interest. Ibarat seorang kuli, orang rela bekerja siang dan malam karena mengharap upah. Digambarkan Rasulullah dalam sebuah hadis riwayat Muslim, besok di hari kiamat ada tiga kelompok orang yang menghadap Allah dengan segudang kebaikan, tetapi mereka justru dilemparkan Allah ke neraka. Siapa mereka? Yaitu syuhada yang gugur di medan juang demi status pahlawan, cerdik pandai yang sibuk mengajarkan ilmu agar disebut ulama, dan orang berharta yang selalu berderma supaya dianggap dermawan. Kebaikan mereka tidak berharga sama sekali di mata Allah.
Ketiga, ibadah at-tujjar. Inilah ibadah cara pedagang. Ibadahnya semata karena tergiur imbalan lebih besar. Diceritakan, dalam suasana panas menyengat, Khalifah Umar bin Khattab meminta segelas air. Saat air sudah terhidang, mendadak sang khalifah menolak, sembari berkata, “Terima kasih. Aku tidak jadi minum, agar kenikmatan yang disediakan untukku di akhirat kelak tidak berkurang”.
Terlepas dari kebenaran kisah ini, sikap Umar jelas menunjukkan betapa ia ogah melakukan sesuatu demi menerima imbalan yang menyenangkan di dunia. Khalifah berjuluk Al-Faruq itu teringat firman Allah, “Dan ingatlah ketika orang-orang kafir dihadapkan ke neraka. Kepada mereka dikatakan, kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan dunia dan kamu telah bersenang-senang dengannya. Maka hari ini kamu dibalas dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik” (Al-Ahqaf: 20).
Keempat, ibadah al-muthi’in. Kualitasnya lebih bagus dari tiga tingkat sebelumnya. Motivasi ibadah pada tingkat ini adalah ketundukan kepada Allah. Ibadah bukan lagi karena paksaan dari luar, melainkan sudah tumbuh dari dalam. Bukan karena takut ancaman atau mengharap imbalan, melainkan karena ingin “balas jasa” atas segala nikmat dan karunia Allah kepada dirinya. Juga didorong keyakinan bahwa hikmah dan manfaat ibadah akan kembali kepada diri manusia. Ikrar hatinya, “Sungguh shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan sarwa sekalian alam” (Al-An’am: 162).
Kelima, ibadah al-mutaladzidzin. Inilah puncak motivasi ibadah seorang hamba. Pada tingkat ini, ibadah tidak lagi untuk “balas jasa” apalagi karena tergiur pernik dunia. Ada kelezatan ibadah yang tiada tara. Sekejap saja waktu senyap dari ibadah, muncullah gemuruh rindu dan cinta yang menyesakkan dada. Ia telah keranjingan ibadah kepada Sang Maha Segalanya.
Pasti inilah yang dirasakan Rasulullah. Beliau dijamin surga, tetapi terus shalat sampai kaki bengkak. Juga Ali bin Abi Thalib yang begitu menikmati shalat, sampai pernah minta agar anak panah yang menancap di badannya dicabut ketika sedang shalat. Abdurrahman bin Auf, saudagar kaya sekaligus satu dari sepuluh sahabat yang mendapat garansi surga, bahkan ikhlas membagikan tiga kantung berisi uang hasil keuntungan dagangnya kepada mereka yang membutuhkan.
Nah, dimanakah posisi kita dari kelima tingkat motivasi ibadah di atas?
Oleh M Husnaini
Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya
Kata Sayid Quthb dalam tafsir Fi Dzilal Al-Quran, ibadah merupakan al-wadhifah al-ilahiyyah, tugas yang diembankan Allah kepada manusia. Jadi, manusia yang menjalankan ibadah, maka ia telah memfungsikan hakikat penciptaannya. Sebaliknya, manusia yang melalaikan ibadah, berarti telah mendisfungsikan hakikat penciptaanya. Ibarat kata, lampu dibeli untuk tujuan penerangan. Ketika lampu tidak bisa lagi menerangi, berarti telah disfungsi. Itulah analogi bagi manusia yang enggan beribadah.
Tetapi, motivasi (niat) menjadi unsur penentu dalam ibadah. Dan motivasi ibadah setiap orang ternyata tidak pernah sama. Ada lima tingkat motivasi ibadah.
Pertama, ibadah al-mukrohin. Ini adalah tingkat motivasi terendah. Pada tingkat ini, ibadah hanya dipahami sebagai kewajiban. Ibarat anak SD yang mengerjakan PR, orang beribadah bukan didorong dari dalam, melainkan karena paksaan dari luar. Malah kerap sekadar untuk kepantasan. “...mereka tidak mengerjakan shalat, kecuali dengan malas dan tidak pula menafkahkan harta, kecuali dengan rasa enggan” (At-Taubah: 54).Kedua, ibadah al-ummal. Ibadah pada tingkat ini penuh vested interest. Ibarat seorang kuli, orang rela bekerja siang dan malam karena mengharap upah. Digambarkan Rasulullah dalam sebuah hadis riwayat Muslim, besok di hari kiamat ada tiga kelompok orang yang menghadap Allah dengan segudang kebaikan, tetapi mereka justru dilemparkan Allah ke neraka. Siapa mereka? Yaitu syuhada yang gugur di medan juang demi status pahlawan, cerdik pandai yang sibuk mengajarkan ilmu agar disebut ulama, dan orang berharta yang selalu berderma supaya dianggap dermawan. Kebaikan mereka tidak berharga sama sekali di mata Allah.
Ketiga, ibadah at-tujjar. Inilah ibadah cara pedagang. Ibadahnya semata karena tergiur imbalan lebih besar. Diceritakan, dalam suasana panas menyengat, Khalifah Umar bin Khattab meminta segelas air. Saat air sudah terhidang, mendadak sang khalifah menolak, sembari berkata, “Terima kasih. Aku tidak jadi minum, agar kenikmatan yang disediakan untukku di akhirat kelak tidak berkurang”.
Terlepas dari kebenaran kisah ini, sikap Umar jelas menunjukkan betapa ia ogah melakukan sesuatu demi menerima imbalan yang menyenangkan di dunia. Khalifah berjuluk Al-Faruq itu teringat firman Allah, “Dan ingatlah ketika orang-orang kafir dihadapkan ke neraka. Kepada mereka dikatakan, kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan dunia dan kamu telah bersenang-senang dengannya. Maka hari ini kamu dibalas dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik” (Al-Ahqaf: 20).
Keempat, ibadah al-muthi’in. Kualitasnya lebih bagus dari tiga tingkat sebelumnya. Motivasi ibadah pada tingkat ini adalah ketundukan kepada Allah. Ibadah bukan lagi karena paksaan dari luar, melainkan sudah tumbuh dari dalam. Bukan karena takut ancaman atau mengharap imbalan, melainkan karena ingin “balas jasa” atas segala nikmat dan karunia Allah kepada dirinya. Juga didorong keyakinan bahwa hikmah dan manfaat ibadah akan kembali kepada diri manusia. Ikrar hatinya, “Sungguh shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan sarwa sekalian alam” (Al-An’am: 162).
Kelima, ibadah al-mutaladzidzin. Inilah puncak motivasi ibadah seorang hamba. Pada tingkat ini, ibadah tidak lagi untuk “balas jasa” apalagi karena tergiur pernik dunia. Ada kelezatan ibadah yang tiada tara. Sekejap saja waktu senyap dari ibadah, muncullah gemuruh rindu dan cinta yang menyesakkan dada. Ia telah keranjingan ibadah kepada Sang Maha Segalanya.
Pasti inilah yang dirasakan Rasulullah. Beliau dijamin surga, tetapi terus shalat sampai kaki bengkak. Juga Ali bin Abi Thalib yang begitu menikmati shalat, sampai pernah minta agar anak panah yang menancap di badannya dicabut ketika sedang shalat. Abdurrahman bin Auf, saudagar kaya sekaligus satu dari sepuluh sahabat yang mendapat garansi surga, bahkan ikhlas membagikan tiga kantung berisi uang hasil keuntungan dagangnya kepada mereka yang membutuhkan.
Nah, dimanakah posisi kita dari kelima tingkat motivasi ibadah di atas?
Oleh M Husnaini
Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya
Komentar
Posting Komentar