Meneguk Air Laut
Dalam pembendaraan lama, Nusantara ini ternyata sangat kaya dengan butur-butir kearifan sebagai sari pati sub-kultur dari ratusan suku yang kita miliki. Kearifan ini merupakan puncak-puncak pengalaman manusia yang berasal dari pertarungan hidup yang panjang, berliku, dan bahkan penuh kekerasan.
Pantun, bidal, sloka, pribasa, dan sebutan lain sebangsanya itu, adalah di antara bentuk warisan lama yang masih hidup di lingkungan sub-kultur Indonesia. Maka peribahasa “Meneguk air laut” yang merupakan kependekan dari “Ibarat meneguk air laut, semakin diteguk semakin haus” adalah kiasan yang dikemas dalam nuansa puitis yang masih hidup dalam suku Melayu. Peribahasa ini masih sering diucapkan saat membaca fenomena anomali dan kumuh dalam kehidupan seseorang atau dalam sistem kekuasaan.
Bila kita pasangkan peribahasa ini pada kelakuan seorang perwira tinggi Polri yang punya rumah sekian banyak, uang simpanan ratusan miliar, bini yang bertebaran di berbagai kota, maka ungkapan “meneguk air laut” sungguh tepat mengenai sasaran. Air laut jika diminum tidak akan menghilangkan dahaga. Bahkan semakin diminum, kerongkongan semakin terasa kering, karena airnya asin. Jika seseorang tak punya visi moral yang jelas dan tajam dalam hidup, nafsu memburu harta, kekuasaan, dan kesenangan duniawi tidak akan pernah terpuaskan sampai malaikat maut merenggut nyawanya. Makna ungkapan dalam ayat pertama dan kedua surat al-Takâstur: “Kamu telah dilengahkan oleh [nafsu] bermegah-megah. Sampai kamu mendatangi kubur.” Bermegah-megah dengan uang miliaran, rumah di berbagai kota, dan bini yang banyak, adalah di antara sasaran strategis yang dibidik oleh firman itu.
Kasus perwira Polri di atas hanyalah satu dari sekian ratus kelakuan busuk yang telah puluhan tahun “dipelihara” oleh institusi polri ini.
Jika semuanya dibongkar dan dibuka di pengadilan, maka seluruh penjara tidak akan bisa menampung jumlah nara pidana yang biasa “meneguk air laut” ini.
Kasus-kasus serupa di dunia APBN/APBD, perpajakan, pelabuhan, BUMN/BUMD, bea-cukai, dan di ranah basah lainnya, sudah bukan berita lagi, karena demikian mewabahnya. Sebagian aparat penegak hukum kita juga punya hobi “meneguk air laut” ini, untuk kemudian yang ketahuan diadili dan masuk bui. Ada pun yang tidak ketahuan, kasusnya pasti akan digelar di Mahkamah Akhirat tanpa didampingi pengacara yang biasa mahir dalam mengakali fasal-fasal hukum dan UU. Tetapi di lingkungan kultur pragmatisme tunamoral dan tunavisi, siapa yang masih mau percaya kepada doktrin eskatologis yang menyangkut adanya kehidupan pasca kematian?
Situasinya menjadi semakin runyam dan batas moral semakin kabur, ketika mereka yang berlagak suci juga berlomba dalam “meneguk air laut” itu.
Inilah Indonesia kita yang perlu secepatnya dibenahi dan diluruskan dengan menampilkan para pemimpin yang berhati nurani, akal sehat, dan punya nyali luar biasa untuk menghentikan semua anomali yang jelas menyengsarakan rakyat banyak ini. Bangsa ini pasti punya tipe pemimpin serupa itu, tetapi perlu dicari dalam tempo dekat ini agar para “peneguk air laut” itu dihentikan dalam pesta petualangan hitamnya yang biadab itu.
Pantun, bidal, sloka, pribasa, dan sebutan lain sebangsanya itu, adalah di antara bentuk warisan lama yang masih hidup di lingkungan sub-kultur Indonesia. Maka peribahasa “Meneguk air laut” yang merupakan kependekan dari “Ibarat meneguk air laut, semakin diteguk semakin haus” adalah kiasan yang dikemas dalam nuansa puitis yang masih hidup dalam suku Melayu. Peribahasa ini masih sering diucapkan saat membaca fenomena anomali dan kumuh dalam kehidupan seseorang atau dalam sistem kekuasaan.
Bila kita pasangkan peribahasa ini pada kelakuan seorang perwira tinggi Polri yang punya rumah sekian banyak, uang simpanan ratusan miliar, bini yang bertebaran di berbagai kota, maka ungkapan “meneguk air laut” sungguh tepat mengenai sasaran. Air laut jika diminum tidak akan menghilangkan dahaga. Bahkan semakin diminum, kerongkongan semakin terasa kering, karena airnya asin. Jika seseorang tak punya visi moral yang jelas dan tajam dalam hidup, nafsu memburu harta, kekuasaan, dan kesenangan duniawi tidak akan pernah terpuaskan sampai malaikat maut merenggut nyawanya. Makna ungkapan dalam ayat pertama dan kedua surat al-Takâstur: “Kamu telah dilengahkan oleh [nafsu] bermegah-megah. Sampai kamu mendatangi kubur.” Bermegah-megah dengan uang miliaran, rumah di berbagai kota, dan bini yang banyak, adalah di antara sasaran strategis yang dibidik oleh firman itu.
Kasus perwira Polri di atas hanyalah satu dari sekian ratus kelakuan busuk yang telah puluhan tahun “dipelihara” oleh institusi polri ini.
Jika semuanya dibongkar dan dibuka di pengadilan, maka seluruh penjara tidak akan bisa menampung jumlah nara pidana yang biasa “meneguk air laut” ini.
Kasus-kasus serupa di dunia APBN/APBD, perpajakan, pelabuhan, BUMN/BUMD, bea-cukai, dan di ranah basah lainnya, sudah bukan berita lagi, karena demikian mewabahnya. Sebagian aparat penegak hukum kita juga punya hobi “meneguk air laut” ini, untuk kemudian yang ketahuan diadili dan masuk bui. Ada pun yang tidak ketahuan, kasusnya pasti akan digelar di Mahkamah Akhirat tanpa didampingi pengacara yang biasa mahir dalam mengakali fasal-fasal hukum dan UU. Tetapi di lingkungan kultur pragmatisme tunamoral dan tunavisi, siapa yang masih mau percaya kepada doktrin eskatologis yang menyangkut adanya kehidupan pasca kematian?
Situasinya menjadi semakin runyam dan batas moral semakin kabur, ketika mereka yang berlagak suci juga berlomba dalam “meneguk air laut” itu.
Inilah Indonesia kita yang perlu secepatnya dibenahi dan diluruskan dengan menampilkan para pemimpin yang berhati nurani, akal sehat, dan punya nyali luar biasa untuk menghentikan semua anomali yang jelas menyengsarakan rakyat banyak ini. Bangsa ini pasti punya tipe pemimpin serupa itu, tetapi perlu dicari dalam tempo dekat ini agar para “peneguk air laut” itu dihentikan dalam pesta petualangan hitamnya yang biadab itu.
Komentar
Posting Komentar