Dinar Dan Dirham Pada Zaman Nabi Adam Alaihis Salam
Dalam kitab Qishash al-Anbiya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh al-Hajj Azhari al-Khalidi (tanpa tahun: 28-29) disebutkan bahwa dinar (uang emas) dan dirham (uang perak) sudah ada sejak zaman Nabi Adam ‘alaihi salam. Hal ini sebagaimana tertulis dalam kitab tersebut:
“Hai Bapak kami, berilah akan kami suatu perbuatan akan belanja kami dan perniagaan kami”, maka kata Nabi Adam “segala anakku sabarlah kamu dahulu lagi akan kupohonkan kepada Allah ta’ala”.
Arkian maka Nabiyullah Adam ialaihi as-salam pun minta do’a kepada Allah ta’ala “Ya tuhanku bahwasanya Engkau jua Tuhan yang amat mengampuni akan hal segala hamba-Mu bahwa kehendak mereka itu dunia ini yang fana ini daripada negeri akhirat, maka jika Kau anugrahai harta dan belanja dan perniagaan akan mereka itu niscaya gururlah mereka itu akan dunia mereka itu dan jika tiada kau anugrahkan mereka itu sebagai lah? Ia mintai belanja dan dengan supaya berniaga mereka itu inilah bagi hamba-Mu memohonkan karunia-Mu”.Arkian maka jibril pun turun kepada Nabiyullah Adam membawa segenggam perak uang maka ujar jibril: “Ya Adam bahwa Tuhanmu berfirman kepada-Mu: “inilah emas segenggam dan perak segenggam anugrah daripada Allah ta’ala akan segala anak cucunya tuan hamba”, maka sahut Nabi Adam: “Ya Jibril bagaimana segala anak cucu hamba emas dan perak yang segenggam ini karena mereka itu amat banyak”, maka ujar Jibril: “Ya Adam bahwa firman Tuhan-Mu jangan Kau sangka demikian itu bahwasanya Tuhan seru alam amat kuasa, hendaklah tuan hamba hantarkan emas dan perak itu pada suatu bukit niscaya dianugrahakan Tuhan datang kepada anak cucu tuan hamba mengambil dia hingga datang kepada hari kiamat pun tiada akan habis. Bahwasanya Allah jua Tuhan yang kuasa pada membanyak kan dia hatta”.
Maka diambil Nabi Adam lah emas dan perak itu lalu dihantarkannya pada suatu bukit antara beberapa hari maka datang pula segala anak cucunya Nabiyullah. Adam menghadap, maka ujar mereka itu “Hai Bapak mana belanja dan perniagaan agama kami?”, maka sahut Nabi Adam “ambillah oleh kamu pada bukit itu emas dan perak dianugrahakan Allah ta’ala akan kamu sekalian.” Maka pergilah mereka itu mengambil emas dan perak kepada bukit itu.
Menurut Hamdan Hassan sebagaimana dikutip oleh Liaw Yock Fang (2011: (238-240), cerita-cerita Nabi-nabi yang paling terkenal ialah Qishash al-Anbiya yang disusun oleh al-Kisa’i sebelum abad ke-13. Ia adalah diakui sebagai tukang cerita yang ulung. Ia tidak membatasi sumbernya pada al-Quran dan tafsirnya saja. Ia juga menimba bahannya dari cerita setempat dan cerita-cerita khayalan seperti yang terdapat dalam Cerita Seribu Satu Malam.
Cerita al-Quran dalam bahasa Melayu terkenal dengan nama Kisah al-Biya. Naskahnya banyak sekali dan terdapat di perpustakaan-perpustakaan di Leiden, London dan Jakarta. Di Perpustkaan Nasional Jakarta terdapat enam naskah Kisah al-Anbiya. Empat dari naskah itu, yaitu kitab Ahlu Tafsir (vd. Wall 66), Qisasul-Anbiya (v.d. Wall 67), Hikayat Fir’aun (v.d. Wall 68) dan Anbiya (Cohen Stuart 122) telah dikaji oleh seorang sarjana Belanda yang bernama D. Gerth Van Wijk (Wijk, 1893: 239-245). Namun tidak dapat diketahui bila dan oleh siapakah naskah-naskah itu ditulis. Yang diketahui ialah Qisasul Anbiya disalin oleh Encik Husain, seorang Bugis yang tinggal di Kalang, Hikayat Fir’aun disalin oleh Encik Mohammad Syam yang berasal dari Lingga.
Suratul Anbiya pula asalnya adalah sebuah naskah yang dimiliki oleh seorang bernama Baharuddin, tinggal di di Gang Trunci, Kampung Norbek. Di dalam halaman pertama dinyatakan bahwa hikayat itu memerlukan waktu delapan bulan untuk menyalinnya. Seperti hadis juga, Kisas al-Anbiya selalu mulai dengan isnad yaitu daftar nama orang yang menurunkan cerita. Di antara nama yang sering disebut ialah Abdullah ibn Abbas (wafat 687), Muhammad al-Qalbi, Ka’ab al-Ahbar (wafat 652), Wahab Ibn Malik dan Sa’bi (wafat 1059).
Kisah al-Anbiya yang diterjemahkan oleh Hai Azhari Khalid dari bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu itu mempunyai jalan cerita yang sama dengan Suratul Anbiya (Cohen Stuart 22). Mungkin sekali keduanya berasal dari suatu sumber yang sama. Sayang sekali tahun penerjemahan dan penerbitan tidak disebut. Hanya disebut bahwa kitab itu pernah dibetulkan oleh Muhammad Tahir al-Indunisia, tukang tashih kitab Melayu di Mesir. Kitab ini pernah berkali-kali diterbitkan oleh berbagai penerbit, seperti Sulaiman Mar’i di Singapura, Darul Ma’arif di Pulau Pinang dan Menara Kudus di Jakarta. Menurut Muhammad Hasan, penerbit buku agama di Mesir seperti Mustafa al-babi al-Habi wa Awladihi di Mesir juga pernah menerbitkan Kisah al-Anbiya pada tahun 1348 H/1929 M (Hamdan Hassan, 1982: 72).
Kisah serupa juga sejalan dengan hasil penelusuran Soni Farkhani dari kitab Nashaih al-’Ibad yang hingga kini masih dikaji di pesantren-pesantren yang mengajarkan kitab kuning. Di dalam kitab karya Syaikh Nawawi Al-Jawi Al-Bantani (lahir 1230 H di Banten dan meninggal pada tahun 1314 H di Mekkah) yang merupakan syarah kitab al-Manbaĥatu ‘ala al-Isti’dad li yaum al-Mi’ad karya Ibn Hajar al-’Asqalani ini ditulis:
“Setelah Allah menurunkan Nabi Adam as. Dari syurga ke arcapada (dunia), maka sesungguhnya segala sesuatu mendampinginya, kecuali emas dan perak. Kemudian Allah berfirman kepada benda tersebut,” Aku mendampingi engkau dengan hamba-Ku, kemudian hamba itu Aku lepas dari sampingku dan semua pihak yang semula mendampinginya, merasa susah karenanya kecuali engkau berdua. “Maka keduanya menjawab, “Tuhan kami, Engkau Maha Mengetahui, bahwa justru membuat kami berdua berdampingan dengannya selagi ia menaati-Mu, maka kami tidak merasa susah atas nasib selanjutnya.” Lalu Allah berfirman kepada keduanya,” Demi kitinggian-Ku dan keagungan-Ku, niscaya Aku akan membuatmu berharga, sehingga tidak dapat di peroleh segala sesuatu melainkan denganmu berdua.”
Kisah tentang uang emas dan uang perak yang sudah ada sejak zaman Nabi Adam juga ditulis oleh Taqiyuddin Ahmad ibn Ali al-Maqrizi dalam Ighathat al-Ummah bi Kashf al-Ghummah. Di dalam kitab ini dinyatakan orang pertama yang mencetak uang emas (dinar) dan uang perak (dirham) adalah Nabi Adam a.s yang bersabda bahwa kehidupan ini tidak akan menyenangkan tanpa mata uang dinar dan dirham. Al-Maqrizi mengutip hal ini dari kitab Tarikh Dimashq yang ditulis Hafidh Ibn Asakir (Allouche, 1994: 55-56).
Di dalam Injil, menurut Bates (1998: 103 & 107) juga dijelaskan bahwa di awal-awal kehidupan manusia, emas dan perak merupakan barang bernilai yang tinggi dan Injil selalu mencatat emas dan perak sebagai uang.
“Hai Bapak kami, berilah akan kami suatu perbuatan akan belanja kami dan perniagaan kami”, maka kata Nabi Adam “segala anakku sabarlah kamu dahulu lagi akan kupohonkan kepada Allah ta’ala”.
Arkian maka Nabiyullah Adam ialaihi as-salam pun minta do’a kepada Allah ta’ala “Ya tuhanku bahwasanya Engkau jua Tuhan yang amat mengampuni akan hal segala hamba-Mu bahwa kehendak mereka itu dunia ini yang fana ini daripada negeri akhirat, maka jika Kau anugrahai harta dan belanja dan perniagaan akan mereka itu niscaya gururlah mereka itu akan dunia mereka itu dan jika tiada kau anugrahkan mereka itu sebagai lah? Ia mintai belanja dan dengan supaya berniaga mereka itu inilah bagi hamba-Mu memohonkan karunia-Mu”.Arkian maka jibril pun turun kepada Nabiyullah Adam membawa segenggam perak uang maka ujar jibril: “Ya Adam bahwa Tuhanmu berfirman kepada-Mu: “inilah emas segenggam dan perak segenggam anugrah daripada Allah ta’ala akan segala anak cucunya tuan hamba”, maka sahut Nabi Adam: “Ya Jibril bagaimana segala anak cucu hamba emas dan perak yang segenggam ini karena mereka itu amat banyak”, maka ujar Jibril: “Ya Adam bahwa firman Tuhan-Mu jangan Kau sangka demikian itu bahwasanya Tuhan seru alam amat kuasa, hendaklah tuan hamba hantarkan emas dan perak itu pada suatu bukit niscaya dianugrahakan Tuhan datang kepada anak cucu tuan hamba mengambil dia hingga datang kepada hari kiamat pun tiada akan habis. Bahwasanya Allah jua Tuhan yang kuasa pada membanyak kan dia hatta”.
Maka diambil Nabi Adam lah emas dan perak itu lalu dihantarkannya pada suatu bukit antara beberapa hari maka datang pula segala anak cucunya Nabiyullah. Adam menghadap, maka ujar mereka itu “Hai Bapak mana belanja dan perniagaan agama kami?”, maka sahut Nabi Adam “ambillah oleh kamu pada bukit itu emas dan perak dianugrahakan Allah ta’ala akan kamu sekalian.” Maka pergilah mereka itu mengambil emas dan perak kepada bukit itu.
Menurut Hamdan Hassan sebagaimana dikutip oleh Liaw Yock Fang (2011: (238-240), cerita-cerita Nabi-nabi yang paling terkenal ialah Qishash al-Anbiya yang disusun oleh al-Kisa’i sebelum abad ke-13. Ia adalah diakui sebagai tukang cerita yang ulung. Ia tidak membatasi sumbernya pada al-Quran dan tafsirnya saja. Ia juga menimba bahannya dari cerita setempat dan cerita-cerita khayalan seperti yang terdapat dalam Cerita Seribu Satu Malam.
Cerita al-Quran dalam bahasa Melayu terkenal dengan nama Kisah al-Biya. Naskahnya banyak sekali dan terdapat di perpustakaan-perpustakaan di Leiden, London dan Jakarta. Di Perpustkaan Nasional Jakarta terdapat enam naskah Kisah al-Anbiya. Empat dari naskah itu, yaitu kitab Ahlu Tafsir (vd. Wall 66), Qisasul-Anbiya (v.d. Wall 67), Hikayat Fir’aun (v.d. Wall 68) dan Anbiya (Cohen Stuart 122) telah dikaji oleh seorang sarjana Belanda yang bernama D. Gerth Van Wijk (Wijk, 1893: 239-245). Namun tidak dapat diketahui bila dan oleh siapakah naskah-naskah itu ditulis. Yang diketahui ialah Qisasul Anbiya disalin oleh Encik Husain, seorang Bugis yang tinggal di Kalang, Hikayat Fir’aun disalin oleh Encik Mohammad Syam yang berasal dari Lingga.
Suratul Anbiya pula asalnya adalah sebuah naskah yang dimiliki oleh seorang bernama Baharuddin, tinggal di di Gang Trunci, Kampung Norbek. Di dalam halaman pertama dinyatakan bahwa hikayat itu memerlukan waktu delapan bulan untuk menyalinnya. Seperti hadis juga, Kisas al-Anbiya selalu mulai dengan isnad yaitu daftar nama orang yang menurunkan cerita. Di antara nama yang sering disebut ialah Abdullah ibn Abbas (wafat 687), Muhammad al-Qalbi, Ka’ab al-Ahbar (wafat 652), Wahab Ibn Malik dan Sa’bi (wafat 1059).
Kisah al-Anbiya yang diterjemahkan oleh Hai Azhari Khalid dari bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu itu mempunyai jalan cerita yang sama dengan Suratul Anbiya (Cohen Stuart 22). Mungkin sekali keduanya berasal dari suatu sumber yang sama. Sayang sekali tahun penerjemahan dan penerbitan tidak disebut. Hanya disebut bahwa kitab itu pernah dibetulkan oleh Muhammad Tahir al-Indunisia, tukang tashih kitab Melayu di Mesir. Kitab ini pernah berkali-kali diterbitkan oleh berbagai penerbit, seperti Sulaiman Mar’i di Singapura, Darul Ma’arif di Pulau Pinang dan Menara Kudus di Jakarta. Menurut Muhammad Hasan, penerbit buku agama di Mesir seperti Mustafa al-babi al-Habi wa Awladihi di Mesir juga pernah menerbitkan Kisah al-Anbiya pada tahun 1348 H/1929 M (Hamdan Hassan, 1982: 72).
Kisah serupa juga sejalan dengan hasil penelusuran Soni Farkhani dari kitab Nashaih al-’Ibad yang hingga kini masih dikaji di pesantren-pesantren yang mengajarkan kitab kuning. Di dalam kitab karya Syaikh Nawawi Al-Jawi Al-Bantani (lahir 1230 H di Banten dan meninggal pada tahun 1314 H di Mekkah) yang merupakan syarah kitab al-Manbaĥatu ‘ala al-Isti’dad li yaum al-Mi’ad karya Ibn Hajar al-’Asqalani ini ditulis:
“Setelah Allah menurunkan Nabi Adam as. Dari syurga ke arcapada (dunia), maka sesungguhnya segala sesuatu mendampinginya, kecuali emas dan perak. Kemudian Allah berfirman kepada benda tersebut,” Aku mendampingi engkau dengan hamba-Ku, kemudian hamba itu Aku lepas dari sampingku dan semua pihak yang semula mendampinginya, merasa susah karenanya kecuali engkau berdua. “Maka keduanya menjawab, “Tuhan kami, Engkau Maha Mengetahui, bahwa justru membuat kami berdua berdampingan dengannya selagi ia menaati-Mu, maka kami tidak merasa susah atas nasib selanjutnya.” Lalu Allah berfirman kepada keduanya,” Demi kitinggian-Ku dan keagungan-Ku, niscaya Aku akan membuatmu berharga, sehingga tidak dapat di peroleh segala sesuatu melainkan denganmu berdua.”
Kisah tentang uang emas dan uang perak yang sudah ada sejak zaman Nabi Adam juga ditulis oleh Taqiyuddin Ahmad ibn Ali al-Maqrizi dalam Ighathat al-Ummah bi Kashf al-Ghummah. Di dalam kitab ini dinyatakan orang pertama yang mencetak uang emas (dinar) dan uang perak (dirham) adalah Nabi Adam a.s yang bersabda bahwa kehidupan ini tidak akan menyenangkan tanpa mata uang dinar dan dirham. Al-Maqrizi mengutip hal ini dari kitab Tarikh Dimashq yang ditulis Hafidh Ibn Asakir (Allouche, 1994: 55-56).
Di dalam Injil, menurut Bates (1998: 103 & 107) juga dijelaskan bahwa di awal-awal kehidupan manusia, emas dan perak merupakan barang bernilai yang tinggi dan Injil selalu mencatat emas dan perak sebagai uang.
Oleh: Nurman Kholis
Peneliti Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI
Peneliti Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI
Komentar
Posting Komentar