Mari Bercermin Sejenak
(1) K K N …. ? Hayhāta … Hayhāta, No Way … Abadan !
Segenap anggota klan Banī Makhzūm menjadi sangat resah dan gerah akibat sebuah kasus pencurian yang dilakukan oleh salah seorang wanita dari klan mereka yang ancaman hukumannya adalah potong tangan. Kalau hukuman ini benar-benar sampai dilaksanakan, maka akan merupakan sebuah aib, cela dan nista besar yang akan menjatuhkan martabat serta nama baik klan sebesar dan seterhormat Banī Makhzūm yang merupakan kumpulan dari orang-orang kaya pemilik modal besar dan pengusaha kakap, yang salah seorang tokohnya adalah Al-Mughīroh bin Abdillāh, kakek dari Khōlid bin al-Walīd.
Sebuah keputusan akhirnya diambil dalam sebuah rapat darurat terbatas. Mereka akan mengutus Usāmah bin Zaid, seorang yang mereka kenal amat dekat dengan Rosūlullōh ‘alai-hi ‘s-sholātu wa ‘s-salām untuk memintakan keringanan atau pengecualian hukum pada Rosūlullōh untuk kasus yang satu ini.
Mendengar permintaan “klasik” seperti ini Rosūlullōh langsung menjawab lugas, tegas, tandas dan tuntas begini : “Atasyaffa’u fī haddin min hudūdi ‘lLāh ? Innamā ahlaka ‘l-ladzīna min qobli-kum, inna-hum kānū idzā saroqo fī-himu ‘sy-syarīfu tarokū-hu, wa idzā saroqo fī-himu ‘dh-dho’īfu aqōmū alai-hi ‘l-hadda. Wa aymu ‘lLōhi, lau anna Fāthimata binta Muhammadin saroqot, la-qotho’tu yada-hā / la-qotho’a Muhammadun yada-hā !” ( Apakah pantas aku memberi keringanan pada hukuman yang telah diputuskan oleh Allah ? Ketahuilah, sesungguhnya hancurnya orang-orang yang terdahulu itu akibat ulah mereka yang selalu membebaskan hukuman pencurian yang dilakukan oleh orang-orang besar mereka, akan tetapi tetap melaksanakan hukumannya bila pencurian itu dilakukan oleh orang-orang kecil. Demi Allah, andaikata Fatimah putri Muhammad itu mencuri, pastilah akan aku potong tangannya / pastilah Muhammad akan memotong tangannya ! ). Wow super dahsyat. Ini baru pemimpin yang adil !
(2) The other side of …. Hārūn ar-Rasyīd
Hārūn ar-Rasyīd, sebuah nama yang tidak terlalu asing di telinga setiap orang. Banyak diantara kita mengenalnya sebagai khalifah kelima dari dinasti Abbasiyyah yang pada masa ke-khilafahan-nyalah, Islam mencapai salah satu puncak kejayaannya terutama di bidang ilmu pengetahuan. Tidak sedikit juga yang menganggapnya sebagai sosok khalifah yang memiliki “gaya” dalam kehidupan keduniaannya. Tapi banyak sekali dari kita yang tidak tahu, bahwa – di luar semua itu – beliau adalah tetap sebagai seorang anak manusia yang tidak pernah lupa pada pemenuhan sisi dahaga kerohanian dirinya. Karena itu beliau sangat sering meminta nasihat spiritual dari orang-orang sholeh yang berada di sekelilingnya. Berikut adalah salah satunya …… the other side of Hārūn ar-Rasyīd.
“ ’Izh-ni, ayyuha ‘sy-syaikh !“ ( Tolong nasihati hamba, wahai tuan guru ! ), katanya suatu hari. “Yā Hārūn, law dāmat li-ghoiri-ka, mā washolat-ka !“ ( Wahai Harun, andaikata sebuah kekuasaan itu bisa abadi di tangan seseorang, tentu kekuasaan itu tidak berada di tanganmu sekarang ! ). “Zid-ni, ayyuha ‘sy-syaikh !“ ( Tambahkan lagi, wahai guru ), pinta sang khalifah. Orang sholeh itupun melanjutkan : “Yā Hārūn, til-ka qushūru-hum, wa hādzi-hi qubūru-hum !“ ( Tengok wahai Harun, itu disana adalah istana-istana megah yang pernah mereka tempati dulu, dan di sebelah sini itu adalah kubur-kubur sepi yang kini harus mereka huni ), “Kafā bi ‘l-mauti wā’izhō !“ ( Jadikanlah kematian itu sebagai satu-satunya nasihat yang paling ampuh ). Mendengar nasihat ini sang khalifahpun menangis tersedu sejadi-jadinya sehingga jenggotnya basah oleh kucuran deras air matanya.
“Ayyuha ‘sy-syaikh, a ‘alai-ka dainun fa-naqdhī-hi ‘anka !“ ( Maaf tuan guru, apakah barangkali tuan guru memiliki hutang, biar izinkan kami yang akan melunasinya ! ), Harun mencoba menawarkan bantuan kepada tuan syeikh sebagai tanda terima kasihnya atas semua nasihat beliau, yang dijawab : “Yaqdhī-hi ‘annī man huwa aqdaru ‘alā qodhō-i-hi min-ka !“ ( Hutang-hutangku andai katapun ada, akan dilunasi oleh Dia yang lebih mampu melunasinya dari pada kamu ). Lalu Harun mencoba lagi tawaran lain, katanya : “Fa-khudz min mālī mā yakfī-ka rizqon la-ka wa li-‘iyāli-ka !“ ( Begini saja, ambil dari hartaku seberapapun kau butuh untuk keperluan hidupmu dan sanak keluargamu ! ). Mendengar tawaran istimewa Harun ini sang syeikh cuma tersenyum saja, lalu berkata : “Waiha-ka yā Hārūn, a tazhunnu anna ‘lloha yarzuqu-ka wa yansā-nī ?!“ ( Jangan keterlaluan begitu wahai Harun, apakah kau kira Alloh itu memberi rizki hanya untukmu saja dan melupakanku, begitu ?! ). Harunpun terdiam seribu bahasa. Oh … andaikata di zamanku ini ada seribu Harun dan seribu Syeikh saja yang seperti ini …, oh betapa ……… ! Betapa apa ? Entahlah !
(3) Dua nabi yang raja … yang pandai ber-SYUKUR
Nabi Daud ‘alai-hi ‘s-salām, pernah merasa belum sempurna dan tuntas dalam mengungkapkan rasa syukurnya kepada Allah jalla wa ‘alā atas segala ni’mat yang beliau terima sebagai seorang nabi sekaligus seorang raja yang amat kaya, perkasa dan berkuasa. Suatu ketika beliau sempat bermunajat : “Yā Robb, fa-arinī akhfā ni’ami-ka ‘alayya. Qōla : yā Dāwūda, tanaffas. Fa-tanaffasa Dāwūdu, fa-qōla ta’āla : man yuhshī hādzi-hi ‘n-ni’mata al-laila an-nahāro ?” ( Wahai Tuhan, tunjukkanlah ni’mat-Mu yang paling tersembunyi yang telah Engkau berikan kepadaku yang mungkin tak pernah kusadari dan belum sempat kusyukuri sepantasnya. Allah bertitah : wahai Daud, tariklah nafasmu. Daudpun melakukannya, lalu Allah bertanya : siapakah – selama ini – yang sempat menghitung besarnya ni’mat ( bernafas ) ini sehari semalam, lalu mensyukurinya ? ). Daudpun terhenyak diam karena malu. Dan mestinya kita …… juga, kan ? Lalu, Sulaiman ‘alai-hi ‘s-salām putra Daud yang juga seorang nabi dan raja yang amat berkuasa dan menguasai dunia jin, kekuatan angin dan bahasa binatang itu, diriwayatkan bahwa beliau selalu makan sya’īr ( gandum murah ) setiap hari dan tidak pernah sampai kenyang. Untuk keluarganya sendiri, beliau beri makan khusykār ( tepung jagung kasar ), sedang untuk para dhu’āfa’ dan orang-orang miskin yang tinggal dan berada di sekelilingnya selalu beliau beri makan darmak ( tepung putih halus ). Semua hal “aneh” ini membuat para pembantu dan orang-orang dekat Sulaiman jadi bertanya-tanya mengapa beliau melakukan ini semua, padahal beliau adalah seorang raja yang juga nabi. Sulaimanpun menjawab : “Akhōfu in syabi‘tu … an ansa ‘l-jiyā‘ !“ ( Aku cuma khawatir, bila aku selalu kenyang … aku jadi lupa pada orang-orang lapar yang tak bisa makan karena kepapaannya ).
Sumber :benzein4.wordpress.com/
Segenap anggota klan Banī Makhzūm menjadi sangat resah dan gerah akibat sebuah kasus pencurian yang dilakukan oleh salah seorang wanita dari klan mereka yang ancaman hukumannya adalah potong tangan. Kalau hukuman ini benar-benar sampai dilaksanakan, maka akan merupakan sebuah aib, cela dan nista besar yang akan menjatuhkan martabat serta nama baik klan sebesar dan seterhormat Banī Makhzūm yang merupakan kumpulan dari orang-orang kaya pemilik modal besar dan pengusaha kakap, yang salah seorang tokohnya adalah Al-Mughīroh bin Abdillāh, kakek dari Khōlid bin al-Walīd.
Sebuah keputusan akhirnya diambil dalam sebuah rapat darurat terbatas. Mereka akan mengutus Usāmah bin Zaid, seorang yang mereka kenal amat dekat dengan Rosūlullōh ‘alai-hi ‘s-sholātu wa ‘s-salām untuk memintakan keringanan atau pengecualian hukum pada Rosūlullōh untuk kasus yang satu ini.
Mendengar permintaan “klasik” seperti ini Rosūlullōh langsung menjawab lugas, tegas, tandas dan tuntas begini : “Atasyaffa’u fī haddin min hudūdi ‘lLāh ? Innamā ahlaka ‘l-ladzīna min qobli-kum, inna-hum kānū idzā saroqo fī-himu ‘sy-syarīfu tarokū-hu, wa idzā saroqo fī-himu ‘dh-dho’īfu aqōmū alai-hi ‘l-hadda. Wa aymu ‘lLōhi, lau anna Fāthimata binta Muhammadin saroqot, la-qotho’tu yada-hā / la-qotho’a Muhammadun yada-hā !” ( Apakah pantas aku memberi keringanan pada hukuman yang telah diputuskan oleh Allah ? Ketahuilah, sesungguhnya hancurnya orang-orang yang terdahulu itu akibat ulah mereka yang selalu membebaskan hukuman pencurian yang dilakukan oleh orang-orang besar mereka, akan tetapi tetap melaksanakan hukumannya bila pencurian itu dilakukan oleh orang-orang kecil. Demi Allah, andaikata Fatimah putri Muhammad itu mencuri, pastilah akan aku potong tangannya / pastilah Muhammad akan memotong tangannya ! ). Wow super dahsyat. Ini baru pemimpin yang adil !
(2) The other side of …. Hārūn ar-Rasyīd
Hārūn ar-Rasyīd, sebuah nama yang tidak terlalu asing di telinga setiap orang. Banyak diantara kita mengenalnya sebagai khalifah kelima dari dinasti Abbasiyyah yang pada masa ke-khilafahan-nyalah, Islam mencapai salah satu puncak kejayaannya terutama di bidang ilmu pengetahuan. Tidak sedikit juga yang menganggapnya sebagai sosok khalifah yang memiliki “gaya” dalam kehidupan keduniaannya. Tapi banyak sekali dari kita yang tidak tahu, bahwa – di luar semua itu – beliau adalah tetap sebagai seorang anak manusia yang tidak pernah lupa pada pemenuhan sisi dahaga kerohanian dirinya. Karena itu beliau sangat sering meminta nasihat spiritual dari orang-orang sholeh yang berada di sekelilingnya. Berikut adalah salah satunya …… the other side of Hārūn ar-Rasyīd.
“ ’Izh-ni, ayyuha ‘sy-syaikh !“ ( Tolong nasihati hamba, wahai tuan guru ! ), katanya suatu hari. “Yā Hārūn, law dāmat li-ghoiri-ka, mā washolat-ka !“ ( Wahai Harun, andaikata sebuah kekuasaan itu bisa abadi di tangan seseorang, tentu kekuasaan itu tidak berada di tanganmu sekarang ! ). “Zid-ni, ayyuha ‘sy-syaikh !“ ( Tambahkan lagi, wahai guru ), pinta sang khalifah. Orang sholeh itupun melanjutkan : “Yā Hārūn, til-ka qushūru-hum, wa hādzi-hi qubūru-hum !“ ( Tengok wahai Harun, itu disana adalah istana-istana megah yang pernah mereka tempati dulu, dan di sebelah sini itu adalah kubur-kubur sepi yang kini harus mereka huni ), “Kafā bi ‘l-mauti wā’izhō !“ ( Jadikanlah kematian itu sebagai satu-satunya nasihat yang paling ampuh ). Mendengar nasihat ini sang khalifahpun menangis tersedu sejadi-jadinya sehingga jenggotnya basah oleh kucuran deras air matanya.
“Ayyuha ‘sy-syaikh, a ‘alai-ka dainun fa-naqdhī-hi ‘anka !“ ( Maaf tuan guru, apakah barangkali tuan guru memiliki hutang, biar izinkan kami yang akan melunasinya ! ), Harun mencoba menawarkan bantuan kepada tuan syeikh sebagai tanda terima kasihnya atas semua nasihat beliau, yang dijawab : “Yaqdhī-hi ‘annī man huwa aqdaru ‘alā qodhō-i-hi min-ka !“ ( Hutang-hutangku andai katapun ada, akan dilunasi oleh Dia yang lebih mampu melunasinya dari pada kamu ). Lalu Harun mencoba lagi tawaran lain, katanya : “Fa-khudz min mālī mā yakfī-ka rizqon la-ka wa li-‘iyāli-ka !“ ( Begini saja, ambil dari hartaku seberapapun kau butuh untuk keperluan hidupmu dan sanak keluargamu ! ). Mendengar tawaran istimewa Harun ini sang syeikh cuma tersenyum saja, lalu berkata : “Waiha-ka yā Hārūn, a tazhunnu anna ‘lloha yarzuqu-ka wa yansā-nī ?!“ ( Jangan keterlaluan begitu wahai Harun, apakah kau kira Alloh itu memberi rizki hanya untukmu saja dan melupakanku, begitu ?! ). Harunpun terdiam seribu bahasa. Oh … andaikata di zamanku ini ada seribu Harun dan seribu Syeikh saja yang seperti ini …, oh betapa ……… ! Betapa apa ? Entahlah !
(3) Dua nabi yang raja … yang pandai ber-SYUKUR
Nabi Daud ‘alai-hi ‘s-salām, pernah merasa belum sempurna dan tuntas dalam mengungkapkan rasa syukurnya kepada Allah jalla wa ‘alā atas segala ni’mat yang beliau terima sebagai seorang nabi sekaligus seorang raja yang amat kaya, perkasa dan berkuasa. Suatu ketika beliau sempat bermunajat : “Yā Robb, fa-arinī akhfā ni’ami-ka ‘alayya. Qōla : yā Dāwūda, tanaffas. Fa-tanaffasa Dāwūdu, fa-qōla ta’āla : man yuhshī hādzi-hi ‘n-ni’mata al-laila an-nahāro ?” ( Wahai Tuhan, tunjukkanlah ni’mat-Mu yang paling tersembunyi yang telah Engkau berikan kepadaku yang mungkin tak pernah kusadari dan belum sempat kusyukuri sepantasnya. Allah bertitah : wahai Daud, tariklah nafasmu. Daudpun melakukannya, lalu Allah bertanya : siapakah – selama ini – yang sempat menghitung besarnya ni’mat ( bernafas ) ini sehari semalam, lalu mensyukurinya ? ). Daudpun terhenyak diam karena malu. Dan mestinya kita …… juga, kan ? Lalu, Sulaiman ‘alai-hi ‘s-salām putra Daud yang juga seorang nabi dan raja yang amat berkuasa dan menguasai dunia jin, kekuatan angin dan bahasa binatang itu, diriwayatkan bahwa beliau selalu makan sya’īr ( gandum murah ) setiap hari dan tidak pernah sampai kenyang. Untuk keluarganya sendiri, beliau beri makan khusykār ( tepung jagung kasar ), sedang untuk para dhu’āfa’ dan orang-orang miskin yang tinggal dan berada di sekelilingnya selalu beliau beri makan darmak ( tepung putih halus ). Semua hal “aneh” ini membuat para pembantu dan orang-orang dekat Sulaiman jadi bertanya-tanya mengapa beliau melakukan ini semua, padahal beliau adalah seorang raja yang juga nabi. Sulaimanpun menjawab : “Akhōfu in syabi‘tu … an ansa ‘l-jiyā‘ !“ ( Aku cuma khawatir, bila aku selalu kenyang … aku jadi lupa pada orang-orang lapar yang tak bisa makan karena kepapaannya ).
Sumber :benzein4.wordpress.com/
Komentar
Posting Komentar