Tawar-Menawar Wahyu

Manusia memiliki kecenderungan untuk “menawar-nawar” atau berkompromi ketika dikaitkan dengan wahyu. Hal ini sudah terjadi puluhan abad lalu, bahkan sebelum Rasulullah saw diutus untuk membawa ajaran yang sempurna (Islam). Kejadian ini bisa dilihat dalam beberapa ayat Al-Qur’an seperti An-Nisaa: 150-151, Al-Baqarah: 85, dan Al-Hujuraat: 7.

Kenapa bisa terjadi demikian? Salah satu penyebab kecenderungan tersebut adalah hakikat wahyu yang memiliki kebenaran abadi. Kebenaran wahyu tidak terikat ruang dan waktu. Ia hadir bagi seluruh umat manusia yang ada di segala penjuru dunia dan yang hidup di semua periode waktu. 

Sedangkan di sisi yang lain, pemahaman manusia mengenai “kebenaran” bersifat empiris –terbatas oleh ruang dan waktu. Sehingga “kebenaran” yang berasal dari hasil pemikiran manusia bersifat relatif. Sesuatu yang benar kemarin belum tentu benar hari ini, dan yang hari ini benar belum tentu diterima sebagai kebenaran esok hari.

Ketika wahyu yang bersifat absolut ini harus diterapkan kepada manusia yang cenderung berpikir empiris, maka terjadilah “tawar-menawar” didalam menerima wahyu. Dan kadar “tawar-menawar” (bargaining) ini bermacam-macam. Ada yang menawar sedikit, ada yang banyak. Sehingga terjadi pemisahan-pemisahan kelompok berfikir. Mereka yang menawar sedikit (atau tidak menawar sama sekali) cenderung mereka disebut fundamentalis, mereka yang menawar ditengah-tengah disebut golongan moderat, dan yang kebanyakan nawar disebut liberal.

Jika kita memahami hal ini, maka pantaslah apabila Rasulullah saw sebagai seorang pembawa kebenaran sangat dikenal karena kejujurannya. Jujur (siddiq), menyampaikan (tabligh), dan dapat dipercaya (amanah) merupakan tiga dari empat sifat wajib yang ada dalam diri Rasulullah saw yang merupakan syarat mutlak untuk menjadi pembawa kabar yang tanpa cacat. Sedangkan sifat cerdas (fatanah) merupakan tanda kesempurnaannya sebagai seorang pembawa kabar (Rasul).

Ketika keempat sifat mulia ini dikumpulkan dalam satu jiwa, yaitu Muhammad saw sang utusan Alloh (Rasulullah), maka kecenderungan sifat manusia yang suka tawar-menawar itu secara otomatis hilang dalam diri Rasulullah, maka dari itu Rasulullah saw tidak pernah menawar perintah Alloh sedikitpunsebagaimana nabi Ibrahim as menaati perintah Alloh meskipun beliau harus menyembelih anak kesayangannya sendiri, tanpa pertanyaan, tanpa penawaran.

Sikap tanpa “penawaran” itu justru sangat jauh dari kehidupan umat Islam saat ini. Dewasa ini umat Islam cenderung mendahulukan kebenaran relatif yang berasal dari ilmu-ilmu empiris (seperti sosiologi, ekonomi, sejarah, dll) dan menempatkan wahyu (yang direpresentasikan oleh Al-Qur’an dan Sunnah) sebagai pembanding, atau sebagai pembenar akan kebenaran-kebenaran semu itu. Bukan sebaliknya.

Maka tidak mengherankan ketika kehidupan umat Islam sangat jauh dari cita-cita ke-Islaman. Muslim saat ini seakan terbiasa hidup di tengah-tengah riba, tasyabbuh, dan bahkan thaghut. Pertanyaannya kemudian apakah kita termasuk golongan itu?

Mudah-mudahan kita termasuk golongan orang-orang yang selamat ketika dimintai pertanggungjawaban kelak. Sebagai kewajiban untuk saling mengingatkan, Rasulullah saw bersabda:

“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika dia tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan hati, dan demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)

Angga pragina <angga.santri@gmail.com>

Komentar

Postingan Populer