Tradisi Curhat

Ilustrasi. (inet)Ghibah, itulah kosa kata yang membuat aku tertegun jika mengingat kebiasaan curhatku. Jika diingat-ingat kembali ternyata selama ini curahan hati itu dapat memberikan peluang untuk menceritakan aib orang lain atau berghibah dan jika dibumbui dengan tambahan informasi yang tidak terbukti kebenarannya, maka ia akan jatuh pada fitnah.

Allah berfirman (artinya), ”Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubah lagi Maha Penyayang,” (Al-Hujarat: 12).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, ”Tahukah kalian apa yang dimaksud dengan menggunjing?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau bersabda, ”Engkau menceritakan saudaramu tentang sesuatu yang ia benci.”Dikatakan, “Bagaimana pendapatmu apabila apa yang aku katakan memang ada pada dirinya?” Beliau menjawab, ”Apabila apa yang kamu katakan itu memang ada pada dirinya berarti engkau telah menggunjingnya dan apabila apa yang kamu katakan itu tidak benar berarti kamu telah memfitnahnya,” (HR Muslim [2589]). 

Anehnya, curhat tidak hanya menjadi tradisi di kalangan remaja saja, tetapi juga di kalangan orang dewasa dan anak-anak. Jika sudah bertemu dengan teman, maka duduk berdua berjam-jam menjadi pilihan untuk menceritakan segala isi hati. Tanpa peduli kalimat apa yang keluar apakah itu membuka aib orang lain ataupun membuka aib diri sendiri. Inilah sebuah tradisi yang tidak jelas dari mana asal usulnya. Padahal dalam Islam sendiri telah memberikan solusi untuk menyelesaikan masalah yaitu dengan bermusyawarah, tentunya dengan memohon pertolongan Allah SWT terlebih dahulu.

Sayangnya, ketika ditimpa masalah sebagian kita malah mencari orang lain untuk mencurahkan segala isi hati. Dengan air mata yang tengah berderai-derai kita malah sibuk dengan handphone kita, lalu mencari nomor sahabat yang bisa dihubungi dan kemudian curhat kepadanya. Dan tanpa di sadari arah pembicaraan pun entah ke mana-mana.

Jika kita pikir kembali, kenapa kita harus berkeluh kesah kepada makhluk? Padahal kita dan sahabat kita sama-sama makhluk Allah yang dhaif. Sahabat kita juga tidak tahu apa yang harus dia lakukan untuk kita. Toh, dia juga makhluk Allah yang penuh dengan masalah. Bukankah lebih baik kita mengambil air wudhu lalu shalat dua rakaat, menangis dan bersimpuh dihadapannya dengan rasa khusyuk. Menceritakan semua tentang apa yang kita rasakan kepada-Nya. Walau kita tahu bahwa sesungguhnya Dia Maha Mengetahui dan bahkan lebih mengetahui dari apa yang kita ketahui tentang diri kita.

Aku jadi malu dengan diri ini, mengapa lebih sering mencurahkan segala isi hati kepada makhluk yang sama sekali tidak tahu apa-apa tentang yang kita rasakan sebenarnya. Dan mengapa harus mencari orang lain, padahal jarak antara kening dan tanah sangat dekat sekali. Mengapa harus mencari perhatian orang lain, padahal ada yang memperhatikan keadaan kita tanpa harus kita cari-cari lagi yaitu Allah SWT.

Mengapa curhat kepada makhluk yang harus menjadi tradisi, padahal Allah SWT yang memberikan solusi. Semoga kita termasuk orang-orang yang senantiasa memperbaiki diri.

Wallahu‘alam.

Referensi:
http://alislamu.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2726&Itemid=67

Syafa Reny

Komentar

Postingan Populer