China Ulangi Kesalahan Ekonomi Jepang?
Meski memiliki sejarah konflik dan persaingan, China dan Jepang memiliki model pembangunan yang sama. Bila salah langkah, China pun berpotensi berbagi nasib ekonomi dengan Jepang.
Pemulihan ekonomi kedua negara, baik Jepang pascaperang dan pertumbuhan terkini China, sama-sama didasarkan pada ekspor dan tenaga kerja murah. Nilai mata uang yang rendah, memberikan eksportir keunggulan kompetitif, dan ekspor digenjot dengan mengorbankan pendapatan dan konsumsi rumah tangga.
China dan Jepang juga mendorong tingginya tingkat tabungan domestik, untuk membiayai investasi. Tak heran, bila kedua negara mencatatkan surplus perdagangan dari investasi di luar negeri, terutama dalam sekuritas pemerintah AS.Hal ini untuk menghindari tekanan pada mata uang mereka dan membantu pembiayaan ekspor. Mereka juga menggunakan investasi tingkat tinggi yang dibiayai secara domestik, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Untuk Jepang, situasi ini sempat berhenti pada September 1985, ketika Plaza Accord memaksa yen menguat, sehingga mengurangi ekspor dan menekan pertumbuhan ekonomi.
Plaza Accord atau Plaza Agreement adalah kesepakatan antara pemerintah Perancis, Jerman Barat, Jepang, AS, dan Britania Raya yang menyetujui depresiasi atas dolar AS terhadap yen Jepang dan Mark Jerman, melalui intervensi di pasar-pasar mata uang. Kesepakatan ditandatangani pada 22 September 1985 di Hotel Plaza, kota New York.
Demi memulihkan pertumbuhan, otoritas kebijakan Jepang merekayasa booming investasi yang didorong kredit, untuk mengimbangi efek penguatan yen dan mengendalikan gelembung harga aset, yang akhirnya runtuh.
Pengeluaran pemerintah dan suku bunga rendah yang sejak itu digunakan untuk menghindari jatuhnya aktivitas ekonomi, ternyata hanya memperburuk ketidakseimbangan. Jepang mengalami defisit anggaran yang besar, utang pemerintah tinggi, dan membesarnya neraca bank sentral, sebagian untuk membiayai pemerintah dan mendukung harga aset finansial.
Krisis perbankan
Hingga 1990, Jepang sangat sukses, tumbuh dengan kuat dengan gangguan tidak signifikan. Sejak 1990, setelah ledakan gelembung ekonomi, Jepang terperosok hampir dalam dua dekade stagnasi.
Sementara itu, resistensi China untuk revaluasi renminbi yang tiba-tiba, menuju pada situasi serupa yang dialami Jepang. Adapun revaluasi adalah kebijakan untuk menaikkan kembali nilai mata uang dalam negeri terhadap valuta asing, setelah mengalami penurunan.
Respon China terhadap krisis keuangan global, yang memicu penurunan tajam dalam ekspor dan perlambatan kegiatan ekonomi, mirip dengan kondisi yang dialami Jepang setelah Plaza Accord.
Alih-alih belanja pemerintah, China berusaha mendorong pertumbuhan dengan ekspansi kredit yang cepat dari sistem perbankan milik negara, yang telah menggerakkan ledakan investasi.
Dan seperti Jepang, sistem perbankan China rentan. Daripada defisit anggaran, China telah menggunakan pinjaman bank tertentu untuk proyek-proyek yang ditargetkan khusus untuk mempertahankan tingkat pertumbuhan tinggi.
Ketergantungan China terhadap aset murah sebagai jaminan, dan proyek infrastruktur dengan aliran uang tunai untuk melayani hutang, berarti bahwa banyak pinjaman tidak akan dibayar.
Kredit buruk ini dapat memicu krisis perbankan atau menyerap porsi yang signifikan dari tabungan dan pendapatan China, serta mengurangi potensi pertumbuhan ekonomi.
Perlu diingat, pada awal krisis, Jepang adalah negara yang jauh lebih kaya daripada China, dan memiliki keuntungan signifikan dalam menangani perlambatan. Jepang memiliki sistem pendidikan yang baik, inovasi dan teknologi yang kuat, dan etos kerja yang membantu menyesuaikan diri. Keterampilan manufaktur kelas dunia Jepang dan properti intelektual yang signifikan di elektronik dan industri berat juga memberikan keuntungan.
Sebaliknya, China mengandalkan tenaga kerja murah untuk merakit atau memproduksi produk-produk untuk ekspor, dengan menggunakan bahan impor. Kekurangan tenaga kerja dan meningkatnya upah akan mengurangi daya saing. Upaya China pada inovasi dan manufaktur teknologi tinggi masih terbilang sangat baru.
Pemerintah China mengakui bahwa strategi investasi berbasis kredit telah menyebabkan misalokasi modal, investasi tidak produktif dan kerugian kredit di bank-bank milik pemerintah.
Tantangan China
Dalam beberapa tahun terakhir, kekaguman atas pencapaian China telah meningkat. Tapi sangat mungkin, kesuksesan spektakuler China berakhir dengan kegagalan mengejutkan, karena mereka tidak berhasil membuat transisi ekonomi yang dibutuhkan.
Lalu, mampukah China menghindari masalah ekonomi yang dihadapi Jepang?
China menghadapi tantangan yang signifikan untuk beralih dari model pertumbuhan yang digerakkan investasi. Pertumbuhan yang berdasarkan ekspansi bersubsidi untuk kapasitas, semakin tidak layak.
Di sisi lain, upaya untuk melanjutkan strategi atau penyesuaian, dapat menyebabkan perlambatan ekonomi yang lebih besar dari estimasi, dengan konsekuensi bagi stabilitas sosial dan politik China.
Dunia mengasumsikan China akan melanjutkan pertumbuhan, meskipun pada tingkat yang lebih moderat dibandingkan beberapa tahun terakhir. Pandangan ini merujuk pada apa kebutuhan ekonomi global, bukan fakta.
Novelis CS Lewis mengatakan, "Jika Anda mencari kebenaran, Anda mungkin menemukan kenyamanan pada akhirnya. Jika Anda mencari kenyamanan, Anda tidak akan mendapatkan kenyamanan atau kebenaran, hanya sapuan lembut dan angan-angan untuk memulai, sebelum akhirnya putus asa.” [ast/inilah]
Pemulihan ekonomi kedua negara, baik Jepang pascaperang dan pertumbuhan terkini China, sama-sama didasarkan pada ekspor dan tenaga kerja murah. Nilai mata uang yang rendah, memberikan eksportir keunggulan kompetitif, dan ekspor digenjot dengan mengorbankan pendapatan dan konsumsi rumah tangga.
China dan Jepang juga mendorong tingginya tingkat tabungan domestik, untuk membiayai investasi. Tak heran, bila kedua negara mencatatkan surplus perdagangan dari investasi di luar negeri, terutama dalam sekuritas pemerintah AS.Hal ini untuk menghindari tekanan pada mata uang mereka dan membantu pembiayaan ekspor. Mereka juga menggunakan investasi tingkat tinggi yang dibiayai secara domestik, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Untuk Jepang, situasi ini sempat berhenti pada September 1985, ketika Plaza Accord memaksa yen menguat, sehingga mengurangi ekspor dan menekan pertumbuhan ekonomi.
Plaza Accord atau Plaza Agreement adalah kesepakatan antara pemerintah Perancis, Jerman Barat, Jepang, AS, dan Britania Raya yang menyetujui depresiasi atas dolar AS terhadap yen Jepang dan Mark Jerman, melalui intervensi di pasar-pasar mata uang. Kesepakatan ditandatangani pada 22 September 1985 di Hotel Plaza, kota New York.
Demi memulihkan pertumbuhan, otoritas kebijakan Jepang merekayasa booming investasi yang didorong kredit, untuk mengimbangi efek penguatan yen dan mengendalikan gelembung harga aset, yang akhirnya runtuh.
Pengeluaran pemerintah dan suku bunga rendah yang sejak itu digunakan untuk menghindari jatuhnya aktivitas ekonomi, ternyata hanya memperburuk ketidakseimbangan. Jepang mengalami defisit anggaran yang besar, utang pemerintah tinggi, dan membesarnya neraca bank sentral, sebagian untuk membiayai pemerintah dan mendukung harga aset finansial.
Krisis perbankan
Hingga 1990, Jepang sangat sukses, tumbuh dengan kuat dengan gangguan tidak signifikan. Sejak 1990, setelah ledakan gelembung ekonomi, Jepang terperosok hampir dalam dua dekade stagnasi.
Sementara itu, resistensi China untuk revaluasi renminbi yang tiba-tiba, menuju pada situasi serupa yang dialami Jepang. Adapun revaluasi adalah kebijakan untuk menaikkan kembali nilai mata uang dalam negeri terhadap valuta asing, setelah mengalami penurunan.
Respon China terhadap krisis keuangan global, yang memicu penurunan tajam dalam ekspor dan perlambatan kegiatan ekonomi, mirip dengan kondisi yang dialami Jepang setelah Plaza Accord.
Alih-alih belanja pemerintah, China berusaha mendorong pertumbuhan dengan ekspansi kredit yang cepat dari sistem perbankan milik negara, yang telah menggerakkan ledakan investasi.
Dan seperti Jepang, sistem perbankan China rentan. Daripada defisit anggaran, China telah menggunakan pinjaman bank tertentu untuk proyek-proyek yang ditargetkan khusus untuk mempertahankan tingkat pertumbuhan tinggi.
Ketergantungan China terhadap aset murah sebagai jaminan, dan proyek infrastruktur dengan aliran uang tunai untuk melayani hutang, berarti bahwa banyak pinjaman tidak akan dibayar.
Kredit buruk ini dapat memicu krisis perbankan atau menyerap porsi yang signifikan dari tabungan dan pendapatan China, serta mengurangi potensi pertumbuhan ekonomi.
Perlu diingat, pada awal krisis, Jepang adalah negara yang jauh lebih kaya daripada China, dan memiliki keuntungan signifikan dalam menangani perlambatan. Jepang memiliki sistem pendidikan yang baik, inovasi dan teknologi yang kuat, dan etos kerja yang membantu menyesuaikan diri. Keterampilan manufaktur kelas dunia Jepang dan properti intelektual yang signifikan di elektronik dan industri berat juga memberikan keuntungan.
Sebaliknya, China mengandalkan tenaga kerja murah untuk merakit atau memproduksi produk-produk untuk ekspor, dengan menggunakan bahan impor. Kekurangan tenaga kerja dan meningkatnya upah akan mengurangi daya saing. Upaya China pada inovasi dan manufaktur teknologi tinggi masih terbilang sangat baru.
Pemerintah China mengakui bahwa strategi investasi berbasis kredit telah menyebabkan misalokasi modal, investasi tidak produktif dan kerugian kredit di bank-bank milik pemerintah.
Tantangan China
Dalam beberapa tahun terakhir, kekaguman atas pencapaian China telah meningkat. Tapi sangat mungkin, kesuksesan spektakuler China berakhir dengan kegagalan mengejutkan, karena mereka tidak berhasil membuat transisi ekonomi yang dibutuhkan.
Lalu, mampukah China menghindari masalah ekonomi yang dihadapi Jepang?
China menghadapi tantangan yang signifikan untuk beralih dari model pertumbuhan yang digerakkan investasi. Pertumbuhan yang berdasarkan ekspansi bersubsidi untuk kapasitas, semakin tidak layak.
Di sisi lain, upaya untuk melanjutkan strategi atau penyesuaian, dapat menyebabkan perlambatan ekonomi yang lebih besar dari estimasi, dengan konsekuensi bagi stabilitas sosial dan politik China.
Dunia mengasumsikan China akan melanjutkan pertumbuhan, meskipun pada tingkat yang lebih moderat dibandingkan beberapa tahun terakhir. Pandangan ini merujuk pada apa kebutuhan ekonomi global, bukan fakta.
Novelis CS Lewis mengatakan, "Jika Anda mencari kebenaran, Anda mungkin menemukan kenyamanan pada akhirnya. Jika Anda mencari kenyamanan, Anda tidak akan mendapatkan kenyamanan atau kebenaran, hanya sapuan lembut dan angan-angan untuk memulai, sebelum akhirnya putus asa.” [ast/inilah]
Komentar
Posting Komentar