Inilah Enam Kekhasan Ibadah yang Tidak Dimiliki Amal Lainnya
Menurut kamus Al Muhiith, ibadah (al-‘ibaadah) secara bahasa adalah (al-thaa’ah) taat. Adapun menurut istilah, al-‘ibaadah memiliki dua makna, yaitu ibadah secara umum dan khusus. Makna al- ‘ibaadah secara umum yaitu ketaatan kepada perintah-perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Dalil dalam masalah ini adalah:
Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku (TQS. Adz Dzaariyaat [51]: 56).
Adapun makna khusus dari al-‘ibaadah adalah segala bentuk perintah dan larangan syari’at yang mengatur hubungan seorang muslim dengan Rabbnya saja. Yakni, yang disebut oleh para fuqaha’ (ahli fiqih) sebagai ibadah; seperti shalat, zakat, haji, puasa, dan jihad. Dalam pembahasan ini, yang dimaksud sebagai ibadah hanyalah ibadah dalam makna khusus saja. Kekhasan Ibadah
1. Ibadah bersifat tauqifiyyah
Dalam hal praktik ibadah, seorang muslim terikat dengan apa-apa yang telah disebutkan di dalam nash yang berasal dari wahyu Allah. Seorang muslim menunaikan shalat, haji, puasa, dan lain-lain dengan tatacara tertentu. Sebagai contoh, yaitu seseorang tidak boleh meletakkan kedua tangannya di punggungnya selama ia berdiri dalam keadaan sholat. Sebab, tata cara semaca ini tidak disebutkan di dalam nash manapun. Demikian juga ia tidak boleh menunaikan kewajiban haji pada bulan Ramadhan. Sebab, Allah telah menentukan pelaksanaan haji pada waktu tertentu. Sabda Rasulullah saw:
Sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku sholat.
Beliau juga bersabda:
«خُذُوْا عَنِّي مَناَ سِكَكُمْ»
Ambillah oleh kalian dariku amal ibadah (haji) kalian.
2. Ibadah tidak memiliki ‘illat
Hukum-hukum ibadah tidak mengandung ‘illat syar’iyyah. Kebersihan, misalnya, bukanlah ‘illat bagi wudhu. Begitu juga olah raga bukanlah ‘illat bagi shalat. Sebab, hukum sesuatu yang mengandung ‘illat (al-hukm al-mu’allal) adalah suatu hukum dimana ada dalil yang menyebutkan atas kandungan ‘illat hukum tersebut. Sedangkan hukum-hukum ibadah, tidak disebutkan adanya ‘illat syar’iyyah-nya. Definisi ‘illat itu sendiri adalah perkara-perkara yang dapat membangkitkan suatu hukum (al-amr al-baa-‘its ‘alaa al-hukm).
3. Ibadah Hanya Ditujukan Kepada Allah Semata
Ibadah ditujukan untuk mengatur hubungan manusia dengan Rabbnya. Seorang muslim tidak boleh menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun dalam hal beribadah. Allah Ta’ala berfirman:
…janganlah kalian menyeru tuhan lain selain Allah… (TQS. Al Qashash [28]: 88).
Begitu pula firman-Nya:
…dan janganlah dia menyekutukan Rabb-nya dengan seorangpun dalam beribadah (TQS. Al Kahfi [18]: 110).
4. Ibadah tidak akan diterima kecuali disertai niat yang ikhlas karena Allah.
Salah satu syarat diterimanya ibadah adalah niat yang ikhlash karena Allah. Misalnya, apabila seorang muslim melakukan sholat namun tidak diniatkan karena Allah maka sholatnya tidak akan diterima. Sholat semacam ini tidak akan mendapat pahala apa-apa. Maksudnya adalah kewajiban sholat itu tetap belum gugur bagi pelakunya. Sabda Rasulullah saw:
Sesungguhnya amal-amal itu dengan niatnya…
Makna ‘amal-amal’ dalam hadits tersebut adalah amal-amal ibadah. Sebab, selain dari amalan ibadah tidak disyaratkan adanya niat. Oleh karena itu jika Anda melepaskan peluru kepada seseorang (tanpa sengaja, penerj.), kemudian Anda membuatnya terbunuh, maka Anda tetap akan dianggap sebagai pelaku pembunuhan, sekalipun Anda membela diri dengan mengatakan bahwa Anda sama sekali tidak berniat untuk membunuhnya.
5. Tiada Perantara dalam Ibadah Antara Seorang Hamba dengan Allah
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (TQS. Al Baqarah[2]: 186).
Sedangkan doa merupakan otak (inti/pokok) dari ibadah (mukhkh ul ‘ibaadah). 6. Ada Kemudahan dan Keringanan dalam Penegakan Ibadah
Allah tidak membebankan kepada seseorang (manusia) melebihi dari apa yang disanggupinya. Allah berfirman swt:
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
Allah tidak membebankan atas diri seseorang kecuali sekedar kemampuannya… (TQS. Al Baqarah[2]: 286).
Allah telah menetapkan aturan tentang adanya keringanan (rukhshah) dalam ibadah. Misalnya Allah telah memberi rukhshah bagi orang sakit untuk sholat sambil duduk. Begitu pula bagi orang yang sedang safar (musaafir) diperbolehkan untuk berbuka (tidak shaum) di bulan Ramadhan, disamping Allah telah menggugurkan kewajiban jihad bagi orang yang buta, pincang, dan sakit. Rasulullah saw bersabda:
Sesungguhnya agama itu mudah.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku (TQS. Adz Dzaariyaat [51]: 56).
Adapun makna khusus dari al-‘ibaadah adalah segala bentuk perintah dan larangan syari’at yang mengatur hubungan seorang muslim dengan Rabbnya saja. Yakni, yang disebut oleh para fuqaha’ (ahli fiqih) sebagai ibadah; seperti shalat, zakat, haji, puasa, dan jihad. Dalam pembahasan ini, yang dimaksud sebagai ibadah hanyalah ibadah dalam makna khusus saja. Kekhasan Ibadah
1. Ibadah bersifat tauqifiyyah
Dalam hal praktik ibadah, seorang muslim terikat dengan apa-apa yang telah disebutkan di dalam nash yang berasal dari wahyu Allah. Seorang muslim menunaikan shalat, haji, puasa, dan lain-lain dengan tatacara tertentu. Sebagai contoh, yaitu seseorang tidak boleh meletakkan kedua tangannya di punggungnya selama ia berdiri dalam keadaan sholat. Sebab, tata cara semaca ini tidak disebutkan di dalam nash manapun. Demikian juga ia tidak boleh menunaikan kewajiban haji pada bulan Ramadhan. Sebab, Allah telah menentukan pelaksanaan haji pada waktu tertentu. Sabda Rasulullah saw:
«صَلُّوْا كَماَ رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي»
Sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku sholat.
Beliau juga bersabda:
«خُذُوْا عَنِّي مَناَ سِكَكُمْ»
Ambillah oleh kalian dariku amal ibadah (haji) kalian.
2. Ibadah tidak memiliki ‘illat
Hukum-hukum ibadah tidak mengandung ‘illat syar’iyyah. Kebersihan, misalnya, bukanlah ‘illat bagi wudhu. Begitu juga olah raga bukanlah ‘illat bagi shalat. Sebab, hukum sesuatu yang mengandung ‘illat (al-hukm al-mu’allal) adalah suatu hukum dimana ada dalil yang menyebutkan atas kandungan ‘illat hukum tersebut. Sedangkan hukum-hukum ibadah, tidak disebutkan adanya ‘illat syar’iyyah-nya. Definisi ‘illat itu sendiri adalah perkara-perkara yang dapat membangkitkan suatu hukum (al-amr al-baa-‘its ‘alaa al-hukm).
3. Ibadah Hanya Ditujukan Kepada Allah Semata
Ibadah ditujukan untuk mengatur hubungan manusia dengan Rabbnya. Seorang muslim tidak boleh menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun dalam hal beribadah. Allah Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَدْعُ مَعَ اللهِ إِلَهًا ءَاخَرَ
…janganlah kalian menyeru tuhan lain selain Allah… (TQS. Al Qashash [28]: 88).
Begitu pula firman-Nya:
وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
…dan janganlah dia menyekutukan Rabb-nya dengan seorangpun dalam beribadah (TQS. Al Kahfi [18]: 110).
4. Ibadah tidak akan diterima kecuali disertai niat yang ikhlas karena Allah.
Salah satu syarat diterimanya ibadah adalah niat yang ikhlash karena Allah. Misalnya, apabila seorang muslim melakukan sholat namun tidak diniatkan karena Allah maka sholatnya tidak akan diterima. Sholat semacam ini tidak akan mendapat pahala apa-apa. Maksudnya adalah kewajiban sholat itu tetap belum gugur bagi pelakunya. Sabda Rasulullah saw:
«إِنَّماَ اْلأَعْماَلُ بِالنِّياَتِ»
Sesungguhnya amal-amal itu dengan niatnya…
Makna ‘amal-amal’ dalam hadits tersebut adalah amal-amal ibadah. Sebab, selain dari amalan ibadah tidak disyaratkan adanya niat. Oleh karena itu jika Anda melepaskan peluru kepada seseorang (tanpa sengaja, penerj.), kemudian Anda membuatnya terbunuh, maka Anda tetap akan dianggap sebagai pelaku pembunuhan, sekalipun Anda membela diri dengan mengatakan bahwa Anda sama sekali tidak berniat untuk membunuhnya.
5. Tiada Perantara dalam Ibadah Antara Seorang Hamba dengan Allah
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (TQS. Al Baqarah[2]: 186).
Sedangkan doa merupakan otak (inti/pokok) dari ibadah (mukhkh ul ‘ibaadah). 6. Ada Kemudahan dan Keringanan dalam Penegakan Ibadah
Allah tidak membebankan kepada seseorang (manusia) melebihi dari apa yang disanggupinya. Allah berfirman swt:
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
Allah tidak membebankan atas diri seseorang kecuali sekedar kemampuannya… (TQS. Al Baqarah[2]: 286).
Allah telah menetapkan aturan tentang adanya keringanan (rukhshah) dalam ibadah. Misalnya Allah telah memberi rukhshah bagi orang sakit untuk sholat sambil duduk. Begitu pula bagi orang yang sedang safar (musaafir) diperbolehkan untuk berbuka (tidak shaum) di bulan Ramadhan, disamping Allah telah menggugurkan kewajiban jihad bagi orang yang buta, pincang, dan sakit. Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ
Sesungguhnya agama itu mudah.
Komentar
Posting Komentar