Kisah Hidup Uje (Jeffry Al Buchori )
Perjalanan hidup Jeffry Al Buchori sungguh dahsyat. Penuh gejolak dan tikungan tajam. Proses pergulatan yang luar biasa ia alami sampai ia menemukan kehidupan yang tenang dan menenteramkan. Simak kisahnya berikut ini yang disarikan dari berbagai sumber.
Uje mengaku bahwa masa lalunya sangat kelam. Adapun kemudian ia mau menceritakannya, ia berharap perjalanan hidupnya bisa menjadi pelajaran bagi orang lain.
Terlahir dengan nama Jeffry Al Buchori Modal pada 12 April 1973 di Jakarta, Uje adalah anak tengah, ke-3 dari lima bersaudara. Tiga saudara kandung Uje laki-laki, dan yang bungsu adalah perempuan. Layaknya bersaudara, hubungan Uje dan saudara-saudaranya berlima cukup dekat. Kadang-kadang ditingkahi dengan persilihan kecil namun dalam tahap wajar saja. Apalagi, jarak usia mereka tidak berjauhan.Apih (panggilan Jefri untuk ayahnya, Red.), M. Ismail Modal, adalah pria bertubuh tinggi besar asli Ambon, sedangkan Umi, begitu Uje biasa memanggil ibu, Tatu Mulyana asli Banten. Apih mendidik Uje bersaudara dengan sangat keras. “Tapi, kalau tidak begitu, aku tidak akan merasakan manfaat seperti sekarang. Kalau kami sampai lupa shalat atau mengaji, wah, jangan ditanya hukuman yang akan diberikan Apih,” tutur Uje suatu kali suatu media.
Dalam hal agama, Apih dan Umi memang mendidik Uje dan saudaranya secara ketat. Namun, sebetulnya Umi adalah seorang ibu yang amat sabar dan lembut dalam menghadapi anak-anaknya. Apih pun orang yang selalu bersikap obyektif. Apih akan membela keluarganya mati-matian bila memang keluarganya yang benar. Sebaliknya dia tidak segan-segan menyalahkan Uje dan saudaranya bila memang berbuat salah.
Berada di lingkungan keluarga yang taat agama membuat Uje menyukai pelajaran agama. Sewaktu kelas 5 SD, Uje pernah ikut kejuaraan MTQ sampai tingkat provinsi. Selain agama, pelajaran yang juga disukai adalah kesenian. “Entah mengapa, aku suka sekali tampil di depan orang banyak. Oh ya, setelah kenaikan kelas, dari kelas 3 aku langsung melompat ke kelas 5. Jadilah aku sekelas dengan kakakku yang kedua,” kata Uje.
BERKEPRIBADIAN GANDA
Lulus SD, Apih memasukkan Uje dan kedua kakaknya ke sebuah pesantren modern di Balaraja, Tangerang. Papa Uje ingin anak-anaknya mendalami pelajaran agama. Rupanya tidak semua keinginannya bersambut, semua ini karena kenakalan Uje sendiri.
Orang bilang, anak tengah biasanya agak nakal. Dan itu itu berlaku pada Uje. Sebagai anak tengah, Uje sering membuat orang tua kesal. Di pesantren, Uje juga sering berulah.
Menurut pengakuan Uje, salah satu kenalakannya, di saat yang lain shalat, ia malah diam-diam tidur. Kenakalan lain, kabur dari pesantren untuk main atau nonton di bioskop adalah hal biasa. Sebagai hukumannya, kepala Uje sering dibotaki. Tapi, tetap saja Uje tak jera.
“Tampaknya aku seperti punya kepribadian ganda, ya. Di satu sisi aku nakal, di sisi lain keinginan untuk melantunkan ayat-ayat suci begitu kuat. Tiap ada kegiatan keagamaan, aku selalu terlibat,” ujar Uje. Bersama kedua kakaknya, Uje juga pernah membuat drama tanpa naskah berjudul Kembali Ke Jalan Allah yang diperlombakan di pesantren. Ternyata karya mereka itu dinilai sebagai drama terbaik se-pesantren.
Bahkan, Uje juga juara lomba azan, lomba MTQ, dan qasidah. Akan tetapi, entah kenapa, Uje masih juga nakal. Tinggal dalam lingkungan pesantren, kelakuan buruk Uje bukannya berkurang, malah makin menjadi. Puncaknya, Uje bosan bersekolah di pesantren.
Akhirnya, hanya empat tahun Uje di pesantren. Dua tahun sebelum menamatkan pelajaran, Uje keluar. “Lalu, Apih memasukkanku ke sekolah aliyah (setingkat SMA, Red.). Rupanya keluar dari pesantren tidak membuatku lebih baik. Aku yang mulai beranjak remaja justru jadi makin nakal.”
SETIAP ada acara keagamaan Uje tak pernah ketinggalan. Namun, Uje juga selalu mau bila ada teman yang mengajaknya ke kantin sekolah. Bukan untuk jajan, tapi memakai narkoba! “Aku juga sering kabur dan pergi tanpa tujuan yang jelas. Ya, aku seperti burung lepas dari sangkar, terbang tak terkendali,” akunya.
Menurut Uje, masa SMA adalah masa paling suram baginya. Uje merasa tak pernah teman sebaya. Usianya memang masih 15 tahun ketika itu, namun ia bergaul dengan pemuda berusia 20 tahunan. Pacaran pun dengan perempuan yang lebih tua. Di sekolah ini Uje hanya bertahan setahun. Pindah ke SMA lain, keseharian Uje tak jauh berbeda. Malah makin parah.
Dari perkenalan dengan beberapa teman, Uje mengenal petualangan baru. Umur 16 tahun, Uje mulai kenal dunia malam. Ia masuk sekolah hanya saat ujian. “Buatku, yang penting lulus. Aku lebih suka mendatangi diskotek untuk menari. Terus terang, aku memang tertarik pada tarian di diskotek. Tiap ke sana, diam-diam aku selalu mempelajari gerakan orang-orang yang nge-dance. Lalu kutirukan,” ujarnya.
Uje pun lantas jadi seorang penari, bertualang dari satu diskotek ke diskotek lain, tenggelam dalam dunia malam. Saat ada lomba dance, Uje mencoba ikut. Usahanya tak sia-sia. Beberapa kali ia berhasil memboyong piala ke rumahnya sebagai the best dancer. Selain itu, ia juga berhasil jadi penari di Dufan pada tahun 1990, meski hanya selama setahun. Sampai sekarang masih banyak teman Uje yang jadi penari di sana.
Yang paling menarik adalah Uje kemudian jadi foto model, bahkan ikut fashion show di diskotek. “Mungkin waktu itu aku merasa sangat cakep, ya. Tapi menurutku, kegiatan-kegiatan itu masih positif, meski terkadang aku suka minum. Dengan segala kebengalanku, tahun 1990 aku berhasil lulus SMA,” paparnya.
UJE mengalami masa yang menurutnya paling dahsyat setelah tamat SMA. Ceritanya salah seorang teman penari, memperkenalkan Uje pada Aditya Gumai yang saat itu aktif di dunia seni peran. Aditya Gumai adalah orang yang melahirkan Lenong Rumpi yang melambungkan nama Oki Lukma.
Dari Aditya, Uje mengenal dunia akting. Waktu itu, Uje masih latihan menari di Taman Ismail Marzuki. Saat latihan pindah ke Gedung Pemuda di Senayan, mulailah Uje main sinetron. Mulanya Uje hanya mengamati para pemain yang sedang syuting, sambil diam-diam belajar.
“Aku memang suka mencuri ilmu. Waktu tidur di kos salah satu temanku di dekat kampus Institut Kesenian Jakarta, aku sering mencuri ilmu juga dari para mahasiswa. Kalau mereka sedang kuliah atau praktik, aku sering mengamati mereka,” aku Uje.
Nah, ketika para pemain sinetron sedang latihan, terkadang Uje menggantikan salah satunya. Ternyata Uje ditertawakan. Karena pada dasarnya Uje orang yang tidak suka diperlakukan seperti itu, Uje malah jadi terpacu. Uje makin giat berlatih akting secara otodidak. Akhirnya, saat yang senior belum juga dapat giliran main, Uje sudah mendapat peran. Uje pun diajak Aditya main sinetron. Waktu dikasting, Uje berhasil mendapat peran.
Tahun 1990, Uje main sinetron Pendekar Halilintar. Saat itu, sinetron masih dipandang sebelah mata oleh bintang film. Dari keluarga, Apih mati-matian menentang Uje. Kenapa? Usut punya usut, rupanya Apih tahu persis seperti apa lingkungan dunia film. Dulu, beliau juga pernah main film aksi, antara lain Macan Terbang dan Pukulan Berantai. Dari Apila, Uje menuruni darah seni.
Ditentang Apih tak membuat langkah Uje surut. “Tak satu pun larangan Apih yang mampir ke otakku untuk kujadikan bahan pikiran. Nasihat Apih tak lagi kudengarkan. Tawaran untuk main sinetron yang berdatangan membuatku makin yakin, inilah yang kucari. Aku tak mau menuruti keinginan orang tua karena merasa diriku benar. Akhirnya konflik antara aku dan orang tuaku pecah,” papar Uje.
Sebagai bentuk perlawanan pada orang tua, Uje tak pernah pulang ke rumah. Tidur berpindah-pindah di rumah teman. Rambut juga dipanjangkannya. Uje seperti tak punya orang tua. Bahkan, menurut Uje, tak pernah terlintas dalam benaknya bahwa suatu hari mereka akan pulang ke haribaan. “Yang kupikirkan hanya kesenangan dan egoku semata,” kenang Uje.
Pada saat bersamaan, karier Uje di dunia seni peran terus melaju. Uje membintangi sinetron drama Sayap Patah yang juga dibintangi Dien Novita, Ratu Tria, dan almarhum WD Mochtar.
Uje semakin merasa bahwa pilihannya tak salah setelah dinobatkan sebagai Pemeran Pria Terbaik dalam Sepekan Sinetron Remaja yang diadakan TVRI tahun 1991. Uje bangga bukan main, karena merasa menang dari orang tua. Kesombongan Uje makin menjadi. “Aku makin merasa inilah yang terbaik buatku, ketimbang pilihan orangtuaku,” terangnya.
“DI KABAH, KUMINTA AMPUNAN ALLAH”
Tawaran main sinetron berdatangan menghampiri Jeffry. Seiring dengan itu, ia makin tenggelam dalam dunianya yang kelam.
Sejak kenal sinetron, Uje makin menyukai dunia akting. Uje tak peduli meski Apih—ayahnya itu—menentangnya. Namun, belakangan Uje paham, di balik ketidaksetujuannya, sebetulnya orang tuanya itu menyimpan rasa bangga. Orang tua cerita, mereka sedang ke Tanah Suci membawa rombongan ibadah haji saat sinetron Sayap Patah yang dimainkan Uje ditayangkan.
“Ternyata, mereka nonton sinetronku. Komentar mereka membanggakanku. Mereka mengakui, ternyata aku bisa berprestasi,” ujar Uje.
Setelah itu, Uje mendapat berbagai tawaran main, antara lain sinetron Sebening Kasih, Opera Tiga Jaman, dan Kerinduan. Selain namanya makin mencuat, rezeki juga terus mengalir.
“Namun, aku malah jadi lupa diri. Ketenaran tidak penting buatku. Yang penting menikmati hidup. Dunia malam terus kugeluti. Kalau ke diskotek, aku tak lupa mengonsumsi narkoba. Bahkan, untuk urusan yang satu ini, aku bisa dibilang tamak. Biasanya, aku meminum satu pil dulu. Kalau kurasa belum ‘on’, kuminum satu lagi. Begitu seterusnya,” kenangnya.
PERNAH, karena pengaruh obat, suatu kali pandangan Uje jadi kabur. Mau melihat arloji di tangan saja, ia harus mendekatkan wajahnya, sambil menggoyang-goyangkan kepala dan membelalakkan mata supaya bisa melihat dengan lebih jelas. “Parah, ya? Begitulah kebandelanku terus berlangsung,” kenangnya.
KECANDUAN KIAN PARAH
Suatu hari di tahun 1992, Apih meninggal karena sakit. Uje menyesal bukan main karena selama ini selalu mengabaikan nasihat Apih. Menjelang kepergiannya, Uje berdiri di samping tempat tidurnya di rumah sakit sambil menangis. Melihat Uje seperti itu, Apih mengatakan, “Laki-laki tak boleh menangis. Laki-laki pantang keluar air mata,” ujar Apih. Uje mengenang, “Bayangkan, bahkan di saat-saat terakhirnya pun Apih tetap menunjukkan sikapnya yang penuh kasih padaku yang durhaka ini.”
Sore itu Uje dimintanya pulang ke rumah dan beliau memberinya ongkos. Uje menurut. Begitu Uje pulang, Allah mengambilnya. “Aku syok berat. Saat Apih dimakamkan, aku turun ke liang lahat dan memeluk jasadnya. Aku tak mau beranjak meski makam akan ditutup. Aku tak mau melepas kepergiannya. Aku menyesali perbuatanku. Selama Apih masih hidup, aku tak pernah mau mendengarkan ucapannya,” papar Uje.
Sejak itu, Umi membesarkan Uje dan saudara-saudaranya. Tapi pasca kematian ayahnya itu, hidup Uje terus berjalan ke titik yang paling kelam. Kebandelannya bahkan makin menjadi dan Kesombongannya juga lebih besar daripada sebelumnya karena merasa berprestasi dan punya uang banyak. “Tak seorang pun kudengarkan lagi nasihatnya,” aku Uje waktu itu.
Ketika temannya menasihati, ia mencibir. “Siapa dia sampai aku harus mendengarkan ucapannya? Ucapan orang tua saja tak kugubris!” seru Uje.
Uje tenggelam dalam dunianya sendiri dan jadi pecandu narkoba. Waktu itu, Uje beralasan karena ada masalah di rumah. Uje mengaku ia makin jauh dari Allah. Padahal, sebelah rumahnya terletak sebuah masjid. Ketika orang berpuasa di bulan Ramadan pun, Uje tetap melakukan kemaksiatan. Lalu, saat Lebaran tiba dan orang-orang sibuk bertakbir, Uje malah sibuk mencari celah waktu dan tempat di mana ia bisa berbuat maksiat.
Semua ilmu agama yang pernah dipelajari dan kemampuan membaca Quran seperti hilang. Akal sehatnya seperti hilang. Kecanduannya pada narkoba juga makin parah, bahkan sampai mengalami over dosis dan Uje hampir mati. “Kejahatan demi kejahatan moral terus kulakukan,” sesal Uje.
NAMA DICORET
Suatu hari Uje merasa menderita karena ketakutan setelah melakukan sebuah perbuatan. Uje benar-benar ketakutan! Ia jadi gampang curiga pada siapa saja dan selalu berburuk sangka pada apa pun. Kesombongannya pada uang dan prestasi lenyap digantikan ketakutan. “Yang kulakukan setiap hari adalah berdiam diri di kamar, dengan selalu berpikiran bahwa setiap orang yang datang akan membunuhku. Aku sibuk mengintip dari bawah pintu, siapa tahu ada orang datang untuk membunuhku,” cerita Uje.
“Telingaku jadi sangat sensitif. Aku sering merasa mendengar ada orang sedang berjalan di atap rumah ingin membunuhku. Aku tersiksa selama berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan,” ucap Uje. Orang-orang mengatakan, Uje sudah gila.
Pada saat bersamaan, kecanduannya pada narkoba membuatnya termasuk dalam daftar hitam dunia sinetron. Namanya dicoret. Tak ada lagi yang mau memakainya sebagai pemain. Selain itu, cewek-cewek yang ada di dekatnya juga menjauh. Uje dulu termasuk playboy.
Di saat Uje sendiri, ada Umi yang tetap menyayanginya dengan cintanya yang besar. Seburuk apa pun orang berkomentar tentang Uje, hati Umi tetap baik dan sabar. Air matanya tak pernah kering untuk mendoakan anak-anaknya, terutama Uje agar berubah jadi lebih baik.
Doa tulus Umi dikabulkan Allah. Sungguh luar biasa, Allah menunjukkan kebaikan-Nya pada Uje. Allah memberi Uje kesempatan untuk bertobat. Kesadaran ini muncul lewat suatu proses yang begitu mencekam buat Uje.
DIAJAK UMI UMRAH
Suatu kali Uje bermimpi. Uje merasa sangat ketakutan ketika suatu hari bermimpi melihat jasadnya sendiri dalam kain kafan. “Antara sadar dan tidak, aku terpana sambil bertanya pada diri sendiri. Benarkah itu jasadku? Aku juga disiksa habis-habisan. Begitulah, setiap tidur aku selalu bermimpi kejadian yang menyeramkan. Dalam tidur, yang kudapat hanya penderitaan. Aku jadi takut tidur. Aku takut mimpi-mimpi itu datang lagi,” kata Uje.
Uje mengaku ia juga jadi takut mati. Padahal dulu ia sempat menantang maut. Rasa takut mati itulah yang akhirnya membuat Uje sadar bahwa ada yang tidak meninggalkanku dalam keadaan seperti itu, yaitu Allah.
Uje teringat kembali pada-Nya dan menyesali semua perbuatannya selama ini. Pelan-pelan, keadaannya membaik. Uje menemui Umi, bersimpuh meminta maaf atas semua dosa yang ia lakukan. “Umi memang luar biasa. Betapa pun sudah kukecewakan demikian rupa, beliau tetap menyayangi dan memaafkanku. Umi lalu mengajakku berumrah,” ujarnya.
Dengan kondisi Uje yang masih labil dan rapuh, Uje dan Umi berangkat ke Tanah Suci. Kali ini Uje berniat sembuh dan kembali ke jalan Allah. Di sana, ia mengalami beberapa peristiwa yang membuatnya sadar pada dosa-dosanya sebelumnya. Usai salat Jumat di Madinah, Umi mengajaknya ke Raudhoh. “Aku tak tahu apa itu Raudhoh, tapi kuikuti saja. Umi terus meminta ampunan pada Allah,” cerita Uje.
Ketika Uje, berjalan menuju makam Nabi Muhammad, Uje bersalawat. “Begitu keluar dari pintu masjid, rasanya seperti ada yang menarikku. Aku mencoba berjalan sekuat tenaga, tapi tak bisa. Kekuatan itu rasanya sangat besar. Aku lalu bersandar pada tembok. Air mataku yang dulu tak pernah keluar, kini mengalir deras. Aku menyesali dosa-dosaku, dan berjanji tak akan melakukan lagi semua itu,” ujarnya.
Bagai sebuah film yang sedang diputar, semua dosa yang pernah dilakukan oleh Uje, tergambar jelas di pelupuk matanya silih berganti, mulai dari yang kecil sampai yang besar. “Tiba-tiba dari mulutku keluar kalimat permintaan ampunan pada Allah. Di Mekkah, di hadapan Kabah, aku merapatkan badan pada dindingnya,” aku Uje.
BIDADARI CANTIK JADI PEMBANGKIT HIDUP
Setelah berkali-kali jatuh-bangun, akhirnya Jeffry kembali dekat pada agama. Kasih sayang kekasih yang akhirnya menjadi istri ikut menjadi pembangkit semangatnya. Perjuangannya menjadi ustaz cukup berat sampai akhirnya ia sukses jadi penceramah.
Sepulang umrah, Uje mencoba hidup lurus. Namun, lagi-lagi ia tergoda. Suatu malam, ia dan teman-teman berencana nonton jazz di Ancol. Ia memperingatkan mereka untuk tidak bawa narkoba, karena mereka sudah sepakat untuk berhenti memakai. Ternyata, salah satu temannya masih saja membawa cimeng—bahasa gaul narkoba. Apesnya, ia dan teman-temannya itu dirazia polisi di depan Hailai.
Teman-temannya yang lain kabur. Tinggallah ia sendiri, teman Uje yang membawa cimeng, dan satu teman lain. Uje sulit kabur karena mobil yang mereka pakai adalah mobil Uje. Akhirnya mereka bertiga dibawa ke kantor polisi dan ditahan. Uje dilepas karena tak terbukti membawa. Uje coba menelepon Umi untuk menjelaskan masalah ini, tapi Umi tak mau menerima teleponnya.
Si penerima telepon malah diminta Umi untuk mengatakan, beliau tak punya anak bernama Jeffry. “Hatiku tercabik-cabik. Pedih rasanya tak diakui sebagai anak oleh Umi. Kuakui, pastilah hati Umi sudah sedemikian sakitnya. Bayangkan, aku yang sebelumnya sudah mengaku bertobat, malah kembali memilih jalan yang salah. Meski aku sudah bersumpah demi Tuhan tidak memakai narkoba lagi, Umi tak percaya lagi,” tutur Uje.
Itulah puncak kemarahan Umi. Uje sendiri merasa sungguh bersyukur, Allah masih berkenan menolongnya. Datang seorang gadis cantik dalam hidup Uje. “Ia mau menerimaku apa adanya. Sebelumnya, banyak gadis meninggalkanku sehingga aku merasa sebatang kara dalam cinta. Gadis bernama Pipik Dian Irawati ini seorang model sampul sebuah majalah remaja tahun 1995, asal Semarang,” urainya.
CUEK SAAT PACARAN
Pipik pertama kali melihat Uje tengah makan nasi goreng di Menteng sekitar tahun 1996 – 1997. Rambutnya gondrong. Waktu itu, Pipit bersama Gugun Gondrong. Setahu Pipit, Jeffry adalah pemain sinetron Kerinduan, karena ia memang suka menonton sinetron itu. Pipit meminta berkenalan dengan Uje, tapi Gugun melarang.
Tak tahunya, waktu buka puasa bersama di rumah Pontjo Sutowo, Pipit bertemu lagi dengannya. Rambut Uje sudah dipotong pendek. Pipit nekat berkenalan dan mereka pun mulai dekat dan saling menelepon. “Aku enggak tahu kapan kami resmi pacaran, karena enggak pernah ‘jadian’. Dia juga tak pernah menyatakan cinta. Waktu pacaran, dia cuek setengah mati,” cerita Pipit.
Menurut Pipit, awal pacaran, semangat Uje boleh juga. Pertama mereka pergi bareng, Uje datang ke rumah di Kebon Jeruk, di tengah hujan deras dari rumahnya di Mangga Dua. Jeffry naik taksi dengan memakai jins dan sepatu bot. Uje saat itu hanya membawa uang Rp 50 ribu, dan mengajak Pipit nonton di Mal Taman Anggrek. Di dalam bioskop, mereka seperti nonton sendiri-sendiri. Dia diam saja selama nonton.
“Sejak itu, kami sering jalan bareng, karena kami memang hobi nonton dan makan. Semakin dekat dengannya, aku makin tahu ternyata dia pemakai narkoba kelas berat. Teman-temanku mulai bertanya, mengapa aku mau berpacaran dengannya. Aku sendiri tak tahu persis alasannya. Mungkin rasa sayang yang sudah terlanjur muncul dalam hati yang membuatku mau bertahan. Hatiku terenyuh dan tak mau meninggalkan dia sendiri,” ujar Pipit.
Tentu saja keluarga Pipit tak ada yang tahu, karena sengaja disembunyikan. Sementara Pipit pun sibuk tur keluar kota sebagai model, sehingga mereka jarang ketemu. Mereka putus, namun kemudian bertemu lagi, dan ternyata Uje sudah punya gndengan yang lain. “Karena masih sayang, aku sering membawakannya hadiah dan memberi perhatian,” kata Pipit. “Setelah Jeffry putus dari pacarnya, kami kembali bersatu.”
Pipik sangat berarti buat Uje. Menurut Uje, Pipit sangat mengerti, peduli dan perhatian padanya. Padahal, Uje sempat hampir menikah dengan orang lain. “Ternyata Allah sayang padaku. Allah menunjukkan, wanita yang nyaris kunikahi itu bukan untukku. Pipit bagai bidadari yang datang dengan cinta yang besar. Ia memberi keyakinan, menikah dengannya akan membawa perubahan besar dalam hidupku,” Uje mensyukuri.
Uje kemudian mendatangi Umi dan minta izin untuk menikah. “Luar biasa, Umi tetap menerimaku dengan segala kasih sayangnya. Sambil menangis, Umi mengizinkanku menikah,” kata Uje. “Aku sendiri terbilang nekat. Sebab, waktu itu aku tak punya-apa. Badan pun kurus kering, dengan mata belok, dan penyakit paranoid yang kuderita tak kunjung sembuh. Bahkan, pekerjaan pun aku tak punya.”
Untuk menghindari maksiat, Uje dan Pipit menikah di bawah tangan pada tahun 1999. Teman-teman Uje yang sudah meninggal karena over dosis, sempat menghadiri pernikahan itu. Setelah itu, mereka tinggal di rumah Umi. Sekitar 4 – 5 bulan setelah itu, mereka pun menikah secara resmi di Semarang.
Namun, menikah rupanya tak cukup menghentikan kebandelan Uje. Istrinya pun merasakan getahnya. Uje pernah memakai narkoba di depannya, dan menggunakan uang Pipit untuk membeli barang haram tersebut.
Kesulitan lain, Uje dan Pipik sama-sama menganggur. “Pernah kami mencoba berdagang kue. Malam hari kami menggoreng kacang, esok paginya bikin kue isi kacang dan susu. Lalu kami titipkan ke toko kue,” kenang Uje.
Tapi mungkin rezeki mereka bukan di situ. Kue yang mereka buat hanya laku beberapa buah. Dalam sehari Uje hanya membawa pulang Rp 200 – 300. Akhirnya mereka berhenti berjualan kue. Kehidupan mereka selanjutnya dijalani dengan penuh perjuangan sekaligus kesabaran.
MAKAN SEPIRING BERDUA
Kesetiaan Pipik begitu luar biasa. Perasaan sayang yang sangat kuat membuatnya mantap menikah dengan Uje. “Aku tak peduli lagi meski dia pecandu, bahkan pernah mengalami over dosis dan hampir gila karena paranoidnya. Aku banyak mengalami hal-hal luar biasa dengannya. Kalau tidak sabar, mungkin aku sudah tidak bersamanya lagi,” cerita Pipit.
Awal menikah, mereka hidup seadanya, Umilah yang membiayai hidup mereka. Pipit dan Jeffry tak jarang makan sepiring berdua, karena memang benar-benar tak ada yang bisa dimakan. Berat rasanya jadi istri dari suami penganggur, apalagi setelah menikah Pipit juga tidak lagi bekerja.
Tapi Pipit yakin, Allah tidak mungkin memberikan cobaan pada umat-Nya melebihi kemampuannya. “Aku yakin, pasti ada sesuatu yang akan diberikan Allah padaku. Beruntung, Umi sangat sayang padaku,” ucap Pipit.
Pipit sendiri tak jera memberi masukan pada Uje untuk mengubah hidup. Mereka sama-sama saling belajar menerima kelebihan dan kekurangan satu sama lain. Pelan-pelan, hidup Uje mulai berubah menjadi lebih baik, terutama setelah Pipit hamil. “Mungkin dia sendiri sudah capek dengan kehidupannya yang seperti itu,” simpul Pipit.
HIDUP DI JALAN DAKWAH
Pelan-pelan, Uje kembali dekat pada agama. Perubahan besar terjadi dalam hidup Uje pada tahun 2000. Kala itu, Fathul Hayat, kakak keduanya kemudian meninggal karena kanker otak, memintanya menggantikannya memberi khotbah Jumat di Mangga Dua. Pada waktu bersamaan, dia diminta menjadi imam besar di Singapura.
Fathul memang seorang pendakwah. Selama dia di Singapura, semua jadwal ceramahnya diberikan pada Uje. Pertama kali ceramah, Uje ingat, ia mendapat honor Rp 35 ribu. Uang dalam amplop itu Ia serahkan pada Pipik. “Kukatakan padanya, ini uang halal pertama yang bisa kuberikan padanya. Kami berpelukan sambil bertangisan,” kenang Uje.
Selanjutnya, kakak Uje memintanya untuk mulai menjadi ustaz. Inilah jalan hidup yang kemudian dipilih. Betapa indah hidup di jalan Allah. Ia mulai berceramah dan diundang ke acara seminar narkoba di berbagai tempat. Namun, perjuangan Uje tak semudah membalik telapak tangan. Tak semua orang mau mendengarkan ceramahnya karena aku mantan pemakai narkoba. Tapi Uje mencoba sabar.
“Alhamdulillah, makin lama ceramahku makin bisa diterima banyak orang. Bahkan sekarang, aku banyak diundang untuk ceramah di mana-mana, termasuk di luar kota dan stasiun teve,” ucap Uje. “Aku bersyukur bisa diterima semua kalangan. Aku pun ingin berdakwah untuk siapa saja. Aku ingin punya majelis taklim yang jemaahnya waria. Mereka, kan, juga punya hak untuk mendapatkan dakwah.”
Kebahagiaan Uje dan Pipit bertambah ketika tahun 2000 itu, lahir anak pertama, Adiba Kanza Az-Zahra. Dua tahun kemudian, anak kedua Mohammad Abidzan Algifari juga hadir di tengah mereka. “Mereka, juga istriku, adalah inspirasi dan kekuatan dakwahku. Kehidupan kami makin lengkap rasanya,” Uje bersyukur.
Sampai sebelum akhir hayatnya, Uje mengaku masih terus berproses berusaha menjadi orang yang lebih baik. “Semoga, kisahku ini bisa jadi bahan pertimbangan yang baik untuk menjalani hidup. Pesanku, cintailah Tuhan dan orangtuamu, serta pilihlah teman yang baik,” pungkasnya.Uje kini telah berpulang ke Rahmat-Nya. Selamat jalan, Uje!
Uje mengaku bahwa masa lalunya sangat kelam. Adapun kemudian ia mau menceritakannya, ia berharap perjalanan hidupnya bisa menjadi pelajaran bagi orang lain.
Terlahir dengan nama Jeffry Al Buchori Modal pada 12 April 1973 di Jakarta, Uje adalah anak tengah, ke-3 dari lima bersaudara. Tiga saudara kandung Uje laki-laki, dan yang bungsu adalah perempuan. Layaknya bersaudara, hubungan Uje dan saudara-saudaranya berlima cukup dekat. Kadang-kadang ditingkahi dengan persilihan kecil namun dalam tahap wajar saja. Apalagi, jarak usia mereka tidak berjauhan.Apih (panggilan Jefri untuk ayahnya, Red.), M. Ismail Modal, adalah pria bertubuh tinggi besar asli Ambon, sedangkan Umi, begitu Uje biasa memanggil ibu, Tatu Mulyana asli Banten. Apih mendidik Uje bersaudara dengan sangat keras. “Tapi, kalau tidak begitu, aku tidak akan merasakan manfaat seperti sekarang. Kalau kami sampai lupa shalat atau mengaji, wah, jangan ditanya hukuman yang akan diberikan Apih,” tutur Uje suatu kali suatu media.
Dalam hal agama, Apih dan Umi memang mendidik Uje dan saudaranya secara ketat. Namun, sebetulnya Umi adalah seorang ibu yang amat sabar dan lembut dalam menghadapi anak-anaknya. Apih pun orang yang selalu bersikap obyektif. Apih akan membela keluarganya mati-matian bila memang keluarganya yang benar. Sebaliknya dia tidak segan-segan menyalahkan Uje dan saudaranya bila memang berbuat salah.
Berada di lingkungan keluarga yang taat agama membuat Uje menyukai pelajaran agama. Sewaktu kelas 5 SD, Uje pernah ikut kejuaraan MTQ sampai tingkat provinsi. Selain agama, pelajaran yang juga disukai adalah kesenian. “Entah mengapa, aku suka sekali tampil di depan orang banyak. Oh ya, setelah kenaikan kelas, dari kelas 3 aku langsung melompat ke kelas 5. Jadilah aku sekelas dengan kakakku yang kedua,” kata Uje.
BERKEPRIBADIAN GANDA
Lulus SD, Apih memasukkan Uje dan kedua kakaknya ke sebuah pesantren modern di Balaraja, Tangerang. Papa Uje ingin anak-anaknya mendalami pelajaran agama. Rupanya tidak semua keinginannya bersambut, semua ini karena kenakalan Uje sendiri.
Orang bilang, anak tengah biasanya agak nakal. Dan itu itu berlaku pada Uje. Sebagai anak tengah, Uje sering membuat orang tua kesal. Di pesantren, Uje juga sering berulah.
Menurut pengakuan Uje, salah satu kenalakannya, di saat yang lain shalat, ia malah diam-diam tidur. Kenakalan lain, kabur dari pesantren untuk main atau nonton di bioskop adalah hal biasa. Sebagai hukumannya, kepala Uje sering dibotaki. Tapi, tetap saja Uje tak jera.
“Tampaknya aku seperti punya kepribadian ganda, ya. Di satu sisi aku nakal, di sisi lain keinginan untuk melantunkan ayat-ayat suci begitu kuat. Tiap ada kegiatan keagamaan, aku selalu terlibat,” ujar Uje. Bersama kedua kakaknya, Uje juga pernah membuat drama tanpa naskah berjudul Kembali Ke Jalan Allah yang diperlombakan di pesantren. Ternyata karya mereka itu dinilai sebagai drama terbaik se-pesantren.
Bahkan, Uje juga juara lomba azan, lomba MTQ, dan qasidah. Akan tetapi, entah kenapa, Uje masih juga nakal. Tinggal dalam lingkungan pesantren, kelakuan buruk Uje bukannya berkurang, malah makin menjadi. Puncaknya, Uje bosan bersekolah di pesantren.
Akhirnya, hanya empat tahun Uje di pesantren. Dua tahun sebelum menamatkan pelajaran, Uje keluar. “Lalu, Apih memasukkanku ke sekolah aliyah (setingkat SMA, Red.). Rupanya keluar dari pesantren tidak membuatku lebih baik. Aku yang mulai beranjak remaja justru jadi makin nakal.”
SETIAP ada acara keagamaan Uje tak pernah ketinggalan. Namun, Uje juga selalu mau bila ada teman yang mengajaknya ke kantin sekolah. Bukan untuk jajan, tapi memakai narkoba! “Aku juga sering kabur dan pergi tanpa tujuan yang jelas. Ya, aku seperti burung lepas dari sangkar, terbang tak terkendali,” akunya.
Menurut Uje, masa SMA adalah masa paling suram baginya. Uje merasa tak pernah teman sebaya. Usianya memang masih 15 tahun ketika itu, namun ia bergaul dengan pemuda berusia 20 tahunan. Pacaran pun dengan perempuan yang lebih tua. Di sekolah ini Uje hanya bertahan setahun. Pindah ke SMA lain, keseharian Uje tak jauh berbeda. Malah makin parah.
Dari perkenalan dengan beberapa teman, Uje mengenal petualangan baru. Umur 16 tahun, Uje mulai kenal dunia malam. Ia masuk sekolah hanya saat ujian. “Buatku, yang penting lulus. Aku lebih suka mendatangi diskotek untuk menari. Terus terang, aku memang tertarik pada tarian di diskotek. Tiap ke sana, diam-diam aku selalu mempelajari gerakan orang-orang yang nge-dance. Lalu kutirukan,” ujarnya.
Uje pun lantas jadi seorang penari, bertualang dari satu diskotek ke diskotek lain, tenggelam dalam dunia malam. Saat ada lomba dance, Uje mencoba ikut. Usahanya tak sia-sia. Beberapa kali ia berhasil memboyong piala ke rumahnya sebagai the best dancer. Selain itu, ia juga berhasil jadi penari di Dufan pada tahun 1990, meski hanya selama setahun. Sampai sekarang masih banyak teman Uje yang jadi penari di sana.
Yang paling menarik adalah Uje kemudian jadi foto model, bahkan ikut fashion show di diskotek. “Mungkin waktu itu aku merasa sangat cakep, ya. Tapi menurutku, kegiatan-kegiatan itu masih positif, meski terkadang aku suka minum. Dengan segala kebengalanku, tahun 1990 aku berhasil lulus SMA,” paparnya.
UJE mengalami masa yang menurutnya paling dahsyat setelah tamat SMA. Ceritanya salah seorang teman penari, memperkenalkan Uje pada Aditya Gumai yang saat itu aktif di dunia seni peran. Aditya Gumai adalah orang yang melahirkan Lenong Rumpi yang melambungkan nama Oki Lukma.
Dari Aditya, Uje mengenal dunia akting. Waktu itu, Uje masih latihan menari di Taman Ismail Marzuki. Saat latihan pindah ke Gedung Pemuda di Senayan, mulailah Uje main sinetron. Mulanya Uje hanya mengamati para pemain yang sedang syuting, sambil diam-diam belajar.
“Aku memang suka mencuri ilmu. Waktu tidur di kos salah satu temanku di dekat kampus Institut Kesenian Jakarta, aku sering mencuri ilmu juga dari para mahasiswa. Kalau mereka sedang kuliah atau praktik, aku sering mengamati mereka,” aku Uje.
Nah, ketika para pemain sinetron sedang latihan, terkadang Uje menggantikan salah satunya. Ternyata Uje ditertawakan. Karena pada dasarnya Uje orang yang tidak suka diperlakukan seperti itu, Uje malah jadi terpacu. Uje makin giat berlatih akting secara otodidak. Akhirnya, saat yang senior belum juga dapat giliran main, Uje sudah mendapat peran. Uje pun diajak Aditya main sinetron. Waktu dikasting, Uje berhasil mendapat peran.
Tahun 1990, Uje main sinetron Pendekar Halilintar. Saat itu, sinetron masih dipandang sebelah mata oleh bintang film. Dari keluarga, Apih mati-matian menentang Uje. Kenapa? Usut punya usut, rupanya Apih tahu persis seperti apa lingkungan dunia film. Dulu, beliau juga pernah main film aksi, antara lain Macan Terbang dan Pukulan Berantai. Dari Apila, Uje menuruni darah seni.
Ditentang Apih tak membuat langkah Uje surut. “Tak satu pun larangan Apih yang mampir ke otakku untuk kujadikan bahan pikiran. Nasihat Apih tak lagi kudengarkan. Tawaran untuk main sinetron yang berdatangan membuatku makin yakin, inilah yang kucari. Aku tak mau menuruti keinginan orang tua karena merasa diriku benar. Akhirnya konflik antara aku dan orang tuaku pecah,” papar Uje.
Sebagai bentuk perlawanan pada orang tua, Uje tak pernah pulang ke rumah. Tidur berpindah-pindah di rumah teman. Rambut juga dipanjangkannya. Uje seperti tak punya orang tua. Bahkan, menurut Uje, tak pernah terlintas dalam benaknya bahwa suatu hari mereka akan pulang ke haribaan. “Yang kupikirkan hanya kesenangan dan egoku semata,” kenang Uje.
Pada saat bersamaan, karier Uje di dunia seni peran terus melaju. Uje membintangi sinetron drama Sayap Patah yang juga dibintangi Dien Novita, Ratu Tria, dan almarhum WD Mochtar.
Uje semakin merasa bahwa pilihannya tak salah setelah dinobatkan sebagai Pemeran Pria Terbaik dalam Sepekan Sinetron Remaja yang diadakan TVRI tahun 1991. Uje bangga bukan main, karena merasa menang dari orang tua. Kesombongan Uje makin menjadi. “Aku makin merasa inilah yang terbaik buatku, ketimbang pilihan orangtuaku,” terangnya.
“DI KABAH, KUMINTA AMPUNAN ALLAH”
Tawaran main sinetron berdatangan menghampiri Jeffry. Seiring dengan itu, ia makin tenggelam dalam dunianya yang kelam.
Sejak kenal sinetron, Uje makin menyukai dunia akting. Uje tak peduli meski Apih—ayahnya itu—menentangnya. Namun, belakangan Uje paham, di balik ketidaksetujuannya, sebetulnya orang tuanya itu menyimpan rasa bangga. Orang tua cerita, mereka sedang ke Tanah Suci membawa rombongan ibadah haji saat sinetron Sayap Patah yang dimainkan Uje ditayangkan.
“Ternyata, mereka nonton sinetronku. Komentar mereka membanggakanku. Mereka mengakui, ternyata aku bisa berprestasi,” ujar Uje.
Setelah itu, Uje mendapat berbagai tawaran main, antara lain sinetron Sebening Kasih, Opera Tiga Jaman, dan Kerinduan. Selain namanya makin mencuat, rezeki juga terus mengalir.
“Namun, aku malah jadi lupa diri. Ketenaran tidak penting buatku. Yang penting menikmati hidup. Dunia malam terus kugeluti. Kalau ke diskotek, aku tak lupa mengonsumsi narkoba. Bahkan, untuk urusan yang satu ini, aku bisa dibilang tamak. Biasanya, aku meminum satu pil dulu. Kalau kurasa belum ‘on’, kuminum satu lagi. Begitu seterusnya,” kenangnya.
PERNAH, karena pengaruh obat, suatu kali pandangan Uje jadi kabur. Mau melihat arloji di tangan saja, ia harus mendekatkan wajahnya, sambil menggoyang-goyangkan kepala dan membelalakkan mata supaya bisa melihat dengan lebih jelas. “Parah, ya? Begitulah kebandelanku terus berlangsung,” kenangnya.
KECANDUAN KIAN PARAH
Suatu hari di tahun 1992, Apih meninggal karena sakit. Uje menyesal bukan main karena selama ini selalu mengabaikan nasihat Apih. Menjelang kepergiannya, Uje berdiri di samping tempat tidurnya di rumah sakit sambil menangis. Melihat Uje seperti itu, Apih mengatakan, “Laki-laki tak boleh menangis. Laki-laki pantang keluar air mata,” ujar Apih. Uje mengenang, “Bayangkan, bahkan di saat-saat terakhirnya pun Apih tetap menunjukkan sikapnya yang penuh kasih padaku yang durhaka ini.”
Sore itu Uje dimintanya pulang ke rumah dan beliau memberinya ongkos. Uje menurut. Begitu Uje pulang, Allah mengambilnya. “Aku syok berat. Saat Apih dimakamkan, aku turun ke liang lahat dan memeluk jasadnya. Aku tak mau beranjak meski makam akan ditutup. Aku tak mau melepas kepergiannya. Aku menyesali perbuatanku. Selama Apih masih hidup, aku tak pernah mau mendengarkan ucapannya,” papar Uje.
Sejak itu, Umi membesarkan Uje dan saudara-saudaranya. Tapi pasca kematian ayahnya itu, hidup Uje terus berjalan ke titik yang paling kelam. Kebandelannya bahkan makin menjadi dan Kesombongannya juga lebih besar daripada sebelumnya karena merasa berprestasi dan punya uang banyak. “Tak seorang pun kudengarkan lagi nasihatnya,” aku Uje waktu itu.
Ketika temannya menasihati, ia mencibir. “Siapa dia sampai aku harus mendengarkan ucapannya? Ucapan orang tua saja tak kugubris!” seru Uje.
Uje tenggelam dalam dunianya sendiri dan jadi pecandu narkoba. Waktu itu, Uje beralasan karena ada masalah di rumah. Uje mengaku ia makin jauh dari Allah. Padahal, sebelah rumahnya terletak sebuah masjid. Ketika orang berpuasa di bulan Ramadan pun, Uje tetap melakukan kemaksiatan. Lalu, saat Lebaran tiba dan orang-orang sibuk bertakbir, Uje malah sibuk mencari celah waktu dan tempat di mana ia bisa berbuat maksiat.
Semua ilmu agama yang pernah dipelajari dan kemampuan membaca Quran seperti hilang. Akal sehatnya seperti hilang. Kecanduannya pada narkoba juga makin parah, bahkan sampai mengalami over dosis dan Uje hampir mati. “Kejahatan demi kejahatan moral terus kulakukan,” sesal Uje.
NAMA DICORET
Suatu hari Uje merasa menderita karena ketakutan setelah melakukan sebuah perbuatan. Uje benar-benar ketakutan! Ia jadi gampang curiga pada siapa saja dan selalu berburuk sangka pada apa pun. Kesombongannya pada uang dan prestasi lenyap digantikan ketakutan. “Yang kulakukan setiap hari adalah berdiam diri di kamar, dengan selalu berpikiran bahwa setiap orang yang datang akan membunuhku. Aku sibuk mengintip dari bawah pintu, siapa tahu ada orang datang untuk membunuhku,” cerita Uje.
“Telingaku jadi sangat sensitif. Aku sering merasa mendengar ada orang sedang berjalan di atap rumah ingin membunuhku. Aku tersiksa selama berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan,” ucap Uje. Orang-orang mengatakan, Uje sudah gila.
Pada saat bersamaan, kecanduannya pada narkoba membuatnya termasuk dalam daftar hitam dunia sinetron. Namanya dicoret. Tak ada lagi yang mau memakainya sebagai pemain. Selain itu, cewek-cewek yang ada di dekatnya juga menjauh. Uje dulu termasuk playboy.
Di saat Uje sendiri, ada Umi yang tetap menyayanginya dengan cintanya yang besar. Seburuk apa pun orang berkomentar tentang Uje, hati Umi tetap baik dan sabar. Air matanya tak pernah kering untuk mendoakan anak-anaknya, terutama Uje agar berubah jadi lebih baik.
Doa tulus Umi dikabulkan Allah. Sungguh luar biasa, Allah menunjukkan kebaikan-Nya pada Uje. Allah memberi Uje kesempatan untuk bertobat. Kesadaran ini muncul lewat suatu proses yang begitu mencekam buat Uje.
DIAJAK UMI UMRAH
Suatu kali Uje bermimpi. Uje merasa sangat ketakutan ketika suatu hari bermimpi melihat jasadnya sendiri dalam kain kafan. “Antara sadar dan tidak, aku terpana sambil bertanya pada diri sendiri. Benarkah itu jasadku? Aku juga disiksa habis-habisan. Begitulah, setiap tidur aku selalu bermimpi kejadian yang menyeramkan. Dalam tidur, yang kudapat hanya penderitaan. Aku jadi takut tidur. Aku takut mimpi-mimpi itu datang lagi,” kata Uje.
Uje mengaku ia juga jadi takut mati. Padahal dulu ia sempat menantang maut. Rasa takut mati itulah yang akhirnya membuat Uje sadar bahwa ada yang tidak meninggalkanku dalam keadaan seperti itu, yaitu Allah.
Uje teringat kembali pada-Nya dan menyesali semua perbuatannya selama ini. Pelan-pelan, keadaannya membaik. Uje menemui Umi, bersimpuh meminta maaf atas semua dosa yang ia lakukan. “Umi memang luar biasa. Betapa pun sudah kukecewakan demikian rupa, beliau tetap menyayangi dan memaafkanku. Umi lalu mengajakku berumrah,” ujarnya.
Dengan kondisi Uje yang masih labil dan rapuh, Uje dan Umi berangkat ke Tanah Suci. Kali ini Uje berniat sembuh dan kembali ke jalan Allah. Di sana, ia mengalami beberapa peristiwa yang membuatnya sadar pada dosa-dosanya sebelumnya. Usai salat Jumat di Madinah, Umi mengajaknya ke Raudhoh. “Aku tak tahu apa itu Raudhoh, tapi kuikuti saja. Umi terus meminta ampunan pada Allah,” cerita Uje.
Ketika Uje, berjalan menuju makam Nabi Muhammad, Uje bersalawat. “Begitu keluar dari pintu masjid, rasanya seperti ada yang menarikku. Aku mencoba berjalan sekuat tenaga, tapi tak bisa. Kekuatan itu rasanya sangat besar. Aku lalu bersandar pada tembok. Air mataku yang dulu tak pernah keluar, kini mengalir deras. Aku menyesali dosa-dosaku, dan berjanji tak akan melakukan lagi semua itu,” ujarnya.
Bagai sebuah film yang sedang diputar, semua dosa yang pernah dilakukan oleh Uje, tergambar jelas di pelupuk matanya silih berganti, mulai dari yang kecil sampai yang besar. “Tiba-tiba dari mulutku keluar kalimat permintaan ampunan pada Allah. Di Mekkah, di hadapan Kabah, aku merapatkan badan pada dindingnya,” aku Uje.
BIDADARI CANTIK JADI PEMBANGKIT HIDUP
Setelah berkali-kali jatuh-bangun, akhirnya Jeffry kembali dekat pada agama. Kasih sayang kekasih yang akhirnya menjadi istri ikut menjadi pembangkit semangatnya. Perjuangannya menjadi ustaz cukup berat sampai akhirnya ia sukses jadi penceramah.
Sepulang umrah, Uje mencoba hidup lurus. Namun, lagi-lagi ia tergoda. Suatu malam, ia dan teman-teman berencana nonton jazz di Ancol. Ia memperingatkan mereka untuk tidak bawa narkoba, karena mereka sudah sepakat untuk berhenti memakai. Ternyata, salah satu temannya masih saja membawa cimeng—bahasa gaul narkoba. Apesnya, ia dan teman-temannya itu dirazia polisi di depan Hailai.
Teman-temannya yang lain kabur. Tinggallah ia sendiri, teman Uje yang membawa cimeng, dan satu teman lain. Uje sulit kabur karena mobil yang mereka pakai adalah mobil Uje. Akhirnya mereka bertiga dibawa ke kantor polisi dan ditahan. Uje dilepas karena tak terbukti membawa. Uje coba menelepon Umi untuk menjelaskan masalah ini, tapi Umi tak mau menerima teleponnya.
Si penerima telepon malah diminta Umi untuk mengatakan, beliau tak punya anak bernama Jeffry. “Hatiku tercabik-cabik. Pedih rasanya tak diakui sebagai anak oleh Umi. Kuakui, pastilah hati Umi sudah sedemikian sakitnya. Bayangkan, aku yang sebelumnya sudah mengaku bertobat, malah kembali memilih jalan yang salah. Meski aku sudah bersumpah demi Tuhan tidak memakai narkoba lagi, Umi tak percaya lagi,” tutur Uje.
Itulah puncak kemarahan Umi. Uje sendiri merasa sungguh bersyukur, Allah masih berkenan menolongnya. Datang seorang gadis cantik dalam hidup Uje. “Ia mau menerimaku apa adanya. Sebelumnya, banyak gadis meninggalkanku sehingga aku merasa sebatang kara dalam cinta. Gadis bernama Pipik Dian Irawati ini seorang model sampul sebuah majalah remaja tahun 1995, asal Semarang,” urainya.
CUEK SAAT PACARAN
Pipik pertama kali melihat Uje tengah makan nasi goreng di Menteng sekitar tahun 1996 – 1997. Rambutnya gondrong. Waktu itu, Pipit bersama Gugun Gondrong. Setahu Pipit, Jeffry adalah pemain sinetron Kerinduan, karena ia memang suka menonton sinetron itu. Pipit meminta berkenalan dengan Uje, tapi Gugun melarang.
Tak tahunya, waktu buka puasa bersama di rumah Pontjo Sutowo, Pipit bertemu lagi dengannya. Rambut Uje sudah dipotong pendek. Pipit nekat berkenalan dan mereka pun mulai dekat dan saling menelepon. “Aku enggak tahu kapan kami resmi pacaran, karena enggak pernah ‘jadian’. Dia juga tak pernah menyatakan cinta. Waktu pacaran, dia cuek setengah mati,” cerita Pipit.
Menurut Pipit, awal pacaran, semangat Uje boleh juga. Pertama mereka pergi bareng, Uje datang ke rumah di Kebon Jeruk, di tengah hujan deras dari rumahnya di Mangga Dua. Jeffry naik taksi dengan memakai jins dan sepatu bot. Uje saat itu hanya membawa uang Rp 50 ribu, dan mengajak Pipit nonton di Mal Taman Anggrek. Di dalam bioskop, mereka seperti nonton sendiri-sendiri. Dia diam saja selama nonton.
“Sejak itu, kami sering jalan bareng, karena kami memang hobi nonton dan makan. Semakin dekat dengannya, aku makin tahu ternyata dia pemakai narkoba kelas berat. Teman-temanku mulai bertanya, mengapa aku mau berpacaran dengannya. Aku sendiri tak tahu persis alasannya. Mungkin rasa sayang yang sudah terlanjur muncul dalam hati yang membuatku mau bertahan. Hatiku terenyuh dan tak mau meninggalkan dia sendiri,” ujar Pipit.
Tentu saja keluarga Pipit tak ada yang tahu, karena sengaja disembunyikan. Sementara Pipit pun sibuk tur keluar kota sebagai model, sehingga mereka jarang ketemu. Mereka putus, namun kemudian bertemu lagi, dan ternyata Uje sudah punya gndengan yang lain. “Karena masih sayang, aku sering membawakannya hadiah dan memberi perhatian,” kata Pipit. “Setelah Jeffry putus dari pacarnya, kami kembali bersatu.”
Pipik sangat berarti buat Uje. Menurut Uje, Pipit sangat mengerti, peduli dan perhatian padanya. Padahal, Uje sempat hampir menikah dengan orang lain. “Ternyata Allah sayang padaku. Allah menunjukkan, wanita yang nyaris kunikahi itu bukan untukku. Pipit bagai bidadari yang datang dengan cinta yang besar. Ia memberi keyakinan, menikah dengannya akan membawa perubahan besar dalam hidupku,” Uje mensyukuri.
Uje kemudian mendatangi Umi dan minta izin untuk menikah. “Luar biasa, Umi tetap menerimaku dengan segala kasih sayangnya. Sambil menangis, Umi mengizinkanku menikah,” kata Uje. “Aku sendiri terbilang nekat. Sebab, waktu itu aku tak punya-apa. Badan pun kurus kering, dengan mata belok, dan penyakit paranoid yang kuderita tak kunjung sembuh. Bahkan, pekerjaan pun aku tak punya.”
Untuk menghindari maksiat, Uje dan Pipit menikah di bawah tangan pada tahun 1999. Teman-teman Uje yang sudah meninggal karena over dosis, sempat menghadiri pernikahan itu. Setelah itu, mereka tinggal di rumah Umi. Sekitar 4 – 5 bulan setelah itu, mereka pun menikah secara resmi di Semarang.
Namun, menikah rupanya tak cukup menghentikan kebandelan Uje. Istrinya pun merasakan getahnya. Uje pernah memakai narkoba di depannya, dan menggunakan uang Pipit untuk membeli barang haram tersebut.
Kesulitan lain, Uje dan Pipik sama-sama menganggur. “Pernah kami mencoba berdagang kue. Malam hari kami menggoreng kacang, esok paginya bikin kue isi kacang dan susu. Lalu kami titipkan ke toko kue,” kenang Uje.
Tapi mungkin rezeki mereka bukan di situ. Kue yang mereka buat hanya laku beberapa buah. Dalam sehari Uje hanya membawa pulang Rp 200 – 300. Akhirnya mereka berhenti berjualan kue. Kehidupan mereka selanjutnya dijalani dengan penuh perjuangan sekaligus kesabaran.
MAKAN SEPIRING BERDUA
Kesetiaan Pipik begitu luar biasa. Perasaan sayang yang sangat kuat membuatnya mantap menikah dengan Uje. “Aku tak peduli lagi meski dia pecandu, bahkan pernah mengalami over dosis dan hampir gila karena paranoidnya. Aku banyak mengalami hal-hal luar biasa dengannya. Kalau tidak sabar, mungkin aku sudah tidak bersamanya lagi,” cerita Pipit.
Awal menikah, mereka hidup seadanya, Umilah yang membiayai hidup mereka. Pipit dan Jeffry tak jarang makan sepiring berdua, karena memang benar-benar tak ada yang bisa dimakan. Berat rasanya jadi istri dari suami penganggur, apalagi setelah menikah Pipit juga tidak lagi bekerja.
Tapi Pipit yakin, Allah tidak mungkin memberikan cobaan pada umat-Nya melebihi kemampuannya. “Aku yakin, pasti ada sesuatu yang akan diberikan Allah padaku. Beruntung, Umi sangat sayang padaku,” ucap Pipit.
Pipit sendiri tak jera memberi masukan pada Uje untuk mengubah hidup. Mereka sama-sama saling belajar menerima kelebihan dan kekurangan satu sama lain. Pelan-pelan, hidup Uje mulai berubah menjadi lebih baik, terutama setelah Pipit hamil. “Mungkin dia sendiri sudah capek dengan kehidupannya yang seperti itu,” simpul Pipit.
HIDUP DI JALAN DAKWAH
Pelan-pelan, Uje kembali dekat pada agama. Perubahan besar terjadi dalam hidup Uje pada tahun 2000. Kala itu, Fathul Hayat, kakak keduanya kemudian meninggal karena kanker otak, memintanya menggantikannya memberi khotbah Jumat di Mangga Dua. Pada waktu bersamaan, dia diminta menjadi imam besar di Singapura.
Fathul memang seorang pendakwah. Selama dia di Singapura, semua jadwal ceramahnya diberikan pada Uje. Pertama kali ceramah, Uje ingat, ia mendapat honor Rp 35 ribu. Uang dalam amplop itu Ia serahkan pada Pipik. “Kukatakan padanya, ini uang halal pertama yang bisa kuberikan padanya. Kami berpelukan sambil bertangisan,” kenang Uje.
Selanjutnya, kakak Uje memintanya untuk mulai menjadi ustaz. Inilah jalan hidup yang kemudian dipilih. Betapa indah hidup di jalan Allah. Ia mulai berceramah dan diundang ke acara seminar narkoba di berbagai tempat. Namun, perjuangan Uje tak semudah membalik telapak tangan. Tak semua orang mau mendengarkan ceramahnya karena aku mantan pemakai narkoba. Tapi Uje mencoba sabar.
“Alhamdulillah, makin lama ceramahku makin bisa diterima banyak orang. Bahkan sekarang, aku banyak diundang untuk ceramah di mana-mana, termasuk di luar kota dan stasiun teve,” ucap Uje. “Aku bersyukur bisa diterima semua kalangan. Aku pun ingin berdakwah untuk siapa saja. Aku ingin punya majelis taklim yang jemaahnya waria. Mereka, kan, juga punya hak untuk mendapatkan dakwah.”
Kebahagiaan Uje dan Pipit bertambah ketika tahun 2000 itu, lahir anak pertama, Adiba Kanza Az-Zahra. Dua tahun kemudian, anak kedua Mohammad Abidzan Algifari juga hadir di tengah mereka. “Mereka, juga istriku, adalah inspirasi dan kekuatan dakwahku. Kehidupan kami makin lengkap rasanya,” Uje bersyukur.
Sampai sebelum akhir hayatnya, Uje mengaku masih terus berproses berusaha menjadi orang yang lebih baik. “Semoga, kisahku ini bisa jadi bahan pertimbangan yang baik untuk menjalani hidup. Pesanku, cintailah Tuhan dan orangtuamu, serta pilihlah teman yang baik,” pungkasnya.Uje kini telah berpulang ke Rahmat-Nya. Selamat jalan, Uje!
Komentar
Posting Komentar