Indonesia Dalam Cengkeraman Asing
Indonesia sejatinya secara ekonomi sudah dikuasai asing. Kemandirian ekonomi hanya slogan dan keadaan makin mengarah pada ketimpangan. Indonesia, dinilai sejumlah kalangan semakin tidak berdaulat di bidang ekonomi maupun di bidang politik.
Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamudin Daeng mengingatkan bahwa sekitar 42 juta hektar daratan telah dialokasikan untuk izin pertambangan mineral dan batu bara, 95 juta hektare untuk eksploitasi migas, 32 juta hektare untuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan 9 juta hektar untuk perkebunan kelapa sawit. Ini berarti sekitar 178 juta hektar bumi Indonesia dikuasai swasta yang sebagian besar asing.Kalau dibandingkan dengan luas seluruh daratan yang mencapai sekitar 195 juta hektar. Berapa luas tanah yang sudah dikuasai asing? Itu setara 93 persen. “Sekali lagi, itu setara dengan 93%, dan itu berarti 93% wilayah kita didominasi dan dikuasai asing,’’ kata Salamudin.
Sangat jelas, daratan yang merupakan unsur produksi utama, dan merupakan faktor kedaulatan terpenting perlahan tapi pasti jatuh ke tangan swasta, khususnya swasta asing. Sebanyak 85% kekayaan migas, 75% kekayaan batubara, 50% lebih kekayaan perkebunan dan hutan dikuasai modal asing. Hasilnya 90% dikirim dan dinikmati oleh negara-negara maju.
Sementara China tidak mengekspor batubara. Sekarang Indonesia harus bertarung di pasar bebas dengan China–Asean. Ibarat petinju kelas bulu, diadu dengan petinju kelas berat dunia. Lalu siapa yang melindungi rakyat dan tanah tumpah-darah kita ini?
Beberapa tahun terakhir Indonesia mengimpor 1,6 juta ton gula, 1,8 juta ton kedelai, 1,2 juta ton jagung, 1 juta ton bungkil makanan ternak, 1,5 juta ton garam, 100 ribu ton kacang tanah, bahkan pernah mengimpor sebanyak 2 juta ton beras.
Jelas, ada yang salah dengan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia menyangkut sektor pertanian. Dan tentu saja ada modal asing yang bermain di balik penindasan yang terjadi terhadap para petani Indonesia ini.
Berbagai kalangan mengingatkan, dominasi internasional sudah masuk ke segala sektor, ini membuat negara lemah. Pada level kebijakan misalnya, rezim global sangat kuat menancapkan dominasinya.
Pemerintah dipaksa menandatangani berbagai perjanjian bebas pada seluruh tingkatan. Melalui World Trade Organization (WTO) dan Free Trade Agreement (FTA) negara menyepakati perdagangan bebas dan liberalisasi investasi.
Akibatnya, barang impor membanjir. Bahkan, melalui kedua perjanjian itu, Indonesia menyepakati liberalisasi yang lebih dalam sampai ke hal-hal yang paling kecil, seperti Intellectual Property Right (IPR), dan paten. Jangan heran kalau ada petani kesulitan mendapatkan benih karena masalah paten.
Jerat rezim global yang lain difasilitasi melalui Bilateral Investment Treaty (BIT) dan Indonesia sudah menandatangani sekitar 67 BIT, puluhan lain dalam proses negosiasi. Isinya, skema perlindungan tingkat tinggi terhadap investor, fasilitas, dan berbagai insentif perpajakan.
Untuk itu, pemerintah wajib melakukan perlakuan yang sama antara investor nasional, BUMN, dengan perusahaan asing. Batas kepemilikan asing terhadap perusahaan nasional pun ditiadakan.
“Akibatnya, negara tidak bisa melakukan nasionalisasi perusahaan asing tanpa kompensasi, jika melanggar penyelesaiannya melalui arbitrase internasional,” kata Salamudin Daeng yang juga periset Institute for Global Justice, Jakarta. [inilah/berbagai sumber]
Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamudin Daeng mengingatkan bahwa sekitar 42 juta hektar daratan telah dialokasikan untuk izin pertambangan mineral dan batu bara, 95 juta hektare untuk eksploitasi migas, 32 juta hektare untuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan 9 juta hektar untuk perkebunan kelapa sawit. Ini berarti sekitar 178 juta hektar bumi Indonesia dikuasai swasta yang sebagian besar asing.Kalau dibandingkan dengan luas seluruh daratan yang mencapai sekitar 195 juta hektar. Berapa luas tanah yang sudah dikuasai asing? Itu setara 93 persen. “Sekali lagi, itu setara dengan 93%, dan itu berarti 93% wilayah kita didominasi dan dikuasai asing,’’ kata Salamudin.
Sangat jelas, daratan yang merupakan unsur produksi utama, dan merupakan faktor kedaulatan terpenting perlahan tapi pasti jatuh ke tangan swasta, khususnya swasta asing. Sebanyak 85% kekayaan migas, 75% kekayaan batubara, 50% lebih kekayaan perkebunan dan hutan dikuasai modal asing. Hasilnya 90% dikirim dan dinikmati oleh negara-negara maju.
Sementara China tidak mengekspor batubara. Sekarang Indonesia harus bertarung di pasar bebas dengan China–Asean. Ibarat petinju kelas bulu, diadu dengan petinju kelas berat dunia. Lalu siapa yang melindungi rakyat dan tanah tumpah-darah kita ini?
Beberapa tahun terakhir Indonesia mengimpor 1,6 juta ton gula, 1,8 juta ton kedelai, 1,2 juta ton jagung, 1 juta ton bungkil makanan ternak, 1,5 juta ton garam, 100 ribu ton kacang tanah, bahkan pernah mengimpor sebanyak 2 juta ton beras.
Jelas, ada yang salah dengan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia menyangkut sektor pertanian. Dan tentu saja ada modal asing yang bermain di balik penindasan yang terjadi terhadap para petani Indonesia ini.
Berbagai kalangan mengingatkan, dominasi internasional sudah masuk ke segala sektor, ini membuat negara lemah. Pada level kebijakan misalnya, rezim global sangat kuat menancapkan dominasinya.
Pemerintah dipaksa menandatangani berbagai perjanjian bebas pada seluruh tingkatan. Melalui World Trade Organization (WTO) dan Free Trade Agreement (FTA) negara menyepakati perdagangan bebas dan liberalisasi investasi.
Akibatnya, barang impor membanjir. Bahkan, melalui kedua perjanjian itu, Indonesia menyepakati liberalisasi yang lebih dalam sampai ke hal-hal yang paling kecil, seperti Intellectual Property Right (IPR), dan paten. Jangan heran kalau ada petani kesulitan mendapatkan benih karena masalah paten.
Jerat rezim global yang lain difasilitasi melalui Bilateral Investment Treaty (BIT) dan Indonesia sudah menandatangani sekitar 67 BIT, puluhan lain dalam proses negosiasi. Isinya, skema perlindungan tingkat tinggi terhadap investor, fasilitas, dan berbagai insentif perpajakan.
Untuk itu, pemerintah wajib melakukan perlakuan yang sama antara investor nasional, BUMN, dengan perusahaan asing. Batas kepemilikan asing terhadap perusahaan nasional pun ditiadakan.
“Akibatnya, negara tidak bisa melakukan nasionalisasi perusahaan asing tanpa kompensasi, jika melanggar penyelesaiannya melalui arbitrase internasional,” kata Salamudin Daeng yang juga periset Institute for Global Justice, Jakarta. [inilah/berbagai sumber]
Komentar
Posting Komentar