Religion is Good for You
Agama baik untuk Anda. Meski kalimat judul ini bersifat afirmatif, tetapi bukan tidak mengandung perdebatan. Tapi, inilah topik debat internasional yang diangkat lembaga Intelligence Squared2: World of Debate, di Hong Kong, 11 April 2013.
Lembaga dunia debat IQ2 yang berpusat di London dengan cabang di Amerika Serikat, Australia, dan Asia menghadirkan empat pembicara—termasuk saya—mengenai apakah agama sebenarnya baik atau sebaliknya tidak baik bagi manusia.
Dunia debat ternyata memiliki prominensi, signifikansinya sendiri, dan ceruk bisnis yang tidak bisa diabaikan. Lembaga Intelligence Squared2 (IQ2) didirikan penguasa media Jeremy O’Grady dan John Gordon pada 2002. Sejak waktu itu, perdebatan yang mereka selenggarakan juga disiarkan BBC London dengan pemirsa lebih dari 70 juta; dan mencapai hampir satu juta hits di YouTube. Penikmat dunia debat kian meningkat lewat kerja sama sejak 2012 dengan Google.
Banyak isu yang telah diperdebatkan IQ2; mencakup topik seperti misalnya ‘George W Bush is the Worst American President for Past Fifty Years’, ‘The Future of Iraq’, ‘Better Elected Islamists than Dictators’, ‘The UN Should Admit Palestine as Full Member State’, ‘Is Islam Religion of Peace’, dan ‘It is Time to End the War on Drug’. Para debatornya mencakup figur-figur semacam Tony Blair, Richard Branson, Julian Assange, Richard Dawkins, dan banyak lagi.
Dalam debat ‘Religion is Good for You’, dua pembicara for motion, Selina O’Grady, penulis buku bestseller berjudul provokatif, And Man Created God (2012), dan saya sendiri, sebagai pihak yang memercayai agama baik bagi manusia. Sebaliknya dua pembicara lain menentang (against) pihak pertama; Suhel Seth, kolumnis dan pakar manajemen asal India; dan Carlos Celdran, seniman-aktivis Filipino yang sering terlibat pertikaian dengan otoritas gereja di Filipina.
Mengapa agama harus diperdebatkan? Apakah agama masih relevan diperdebatkan? Memperlakukan diri sendiri sebagai ‘partisipan-pengamat’, saya tercengang menyaksikan audiens yang hampir 500 orang memadati salah satu ball room Hong Kong Convention and Exhibition Centre. Ternyata agama masih sangat menarik diperdebatkan. Padahal, acara dilakukan pada hari kerja, dan para audiens harus membayar, dan menembus cuaca dingin, mendung diselang-selingi hujan.
Jadi, walaupun agama secara sosiologis dan antropologis telah ada sejak berkembangnya kebudayaan manusia sampai sekarang, agama tetap merupakan salah satu realitas pokok dalam kehidupan. Tidak peduli di bagian dunia manapun, baik yang masih terbelakang, tengah berkembang, maupun sudah mapan, agama tetap saja mewarnai kebudayaan dan peradaban manusia.
Pada saat yang sama, agama masih tetap dipersoalkan sebagian kalangan. Para pengingkar agama telah eksis sejak masa awal munculnya agama. Mereka baik secara individu maupun kelompok terorganisasi menolak agama dengan berbagai alasan. Penolakan dapat mereka lakukan secara sporadis atau sistematis dan filosofis, dan bahkan melalui kekuasaan negara seperti terjadi di negara-negara komunis-ateis.
Bagi para pengingkar, agama adalah nonsen belaka karena mengandung ajaran tidak masuk akal, berbau dongeng, mitos, dan legenda. Dengan ajaran yang tidak masuk akal, agama menjadi ‘candu’ yang dapat memabukkan dan membuat manusia lupa diri. Agama dalam pandangan ini hanya merupakan pelarian (escapism) dari ketidakmampuan manusia mengatasi berbagai masalah yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Lebih jauh, para pengingkar memandang agama ‘berbahaya’ karena dalam kenyataannya menimbulkan kekerasan, pertumpahan darah, dan perang di antara berbagai kelompok anak manusia. Atas nama agama atau aliran, mazhab atau denominasi masing-masing para pemeluk agama terlibat konflik dan kekerasan satu sama lain. Sektarianisme dan parokialisme yang bukan tidak sering bernyala-nyala menjadi penyebab konflik dan kekerasan yang seolah tidak pernah putus di antara para pemeluk agama.
Keadaan menjadi lebih buruk ketika kekuasaan politik untuk kepentingan politik atau agama menggunakan negara guna menindas dan memerangi kelompok agama tertentu yang mereka pandang sesat atau mengancam status-quo politik dan agama. Sepanjang sejarah dengan mudah ditemukan berbagai kasus di mana agama menjadi alat dan justifikasi bagi para penguasa untuk melakukan penindasan.
Argumen lain untuk menolak agama terkait dengan kepemimpinan dan lembaga agama yang korup. Lagi-lagi atas nama agama, ada kalangan fungsionaris dan lembaga agama yang menumpuk harta benda atau melakukan pelbagai bentuk penyimpangan seksual yang membuat agama sangat tercemar.
Karena itu, bagi pengingkar yang sering disebut sebagai skeptis, agnostik, atau ateistik, agama lebih banyak mudharatnya dibandingkan manfaatnya, baik bagi kehidupan individu maupun kelompok. Bagi mereka, masyarakat bakal lebih sejahtera dan damai jika agama tidak lagi ikut mengendalikan kehidupan.
Pandangan para pengingkar agama ini baru satu sisi dari sikap terhadap teologi dan gejala agama dalam kehidupan aktual. Terdapat pandangan sebaliknya, yang melihat agama justru baik bagi kehidupan manusia.
Agama baik untuk Anda. Akan tetapi, sekali lagi, ada kalangan masyarakat yang tidak setuju dengan pernyataan ini. Alasannya macam-macam, terutama terkait dengan ekses-ekses tertentu dari tindakan orang-orang yang berbuat atas nama agama. Padahal, tindakan itu merupakan penyimpangan dan bertentangan dengan esensi dan ajaran agama-rahmat dan kasih bagi semesta alam.
Jelas jauh lebih banyak lagi orang yang yakin agama baik untuk umat manusia. Memulai perdebatan Intelligence Squared2 (IQ2) tentang “Religion is Good for You”, saya berpandangan, agama baik bagi individu dan masyarakat jika esensi dan ajarannya diimani dan diamalkan secara komprehensif. Untuk memperoleh kebaikan agama, orang atau kelompok masyarakat mesti tidak mengambil ajaran agama atau ayat-ayat dalam kitab suci secara sebagian atau sepotong-potong. Juga tidak memahami ajaran atau ayat kitab suci tertentu untuk kepentingan sendiri, apakah harta benda, pengaruh, dan kekuasaan.
Pemahaman semaunya terhadap agama, baik keseluruhan maupun sebagian, hanya berujung pada ekses yang mendistorsi agama yang jelas bertentangan dengan hakikat agama.
Pemahaman agama secara komprehensif (syumul atau kaffah) tidak bisa dengan menggunakan akal pikiran semata. Karena, agama pertama-tama bukanlah kumpulan doktrin ilmiah yang bersandar pada prinsip rasional.
Sebaliknya sejak dari awal, agama menyangkut keimanan-ranah yang hanya bisa terjangkau kalbu tidak oleh akal. Memang agama mengandung ajaran rasional, tetapi tidak berarti agama sepenuhnya dapat dipahami dengan menggunakan akal pikiran semata.
Sifat agama seperti itulah yang justru membedakan agama dengan sains dan produk akal lain. Karena itu, sejauh menyangkut agama, yang terpenting adalah mengimani (believing), mengamalkan (practicing), dan mengalami (experiencing). Melakukan ketiga hal ini dalam beragama, manusia dapat merasakan bahwa 'agama benar-benar baik bagi kita'.
Selina O'Grady, penulis And Man Created God, juga berpandangan hampir sama. Menurut dia, agama lebih berdasarkan keimanan dan kepercayaan daripada pemikiran rasional. Agama bukanlah sains yang berdasarkan pada preposisi yang mesti berdasarkan rasio. Agama bukan menyangkut hal yang selalu akal atau tidak masuk akal; sebaliknya tentang nilai dan makna. Agama juga tidak hanya semata-mata berbicara tentang apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan manusia, tetapi menyangkut tujuan kehidupan.
Dalam hal agama, manusia memiliki kebutuhan fundamental tidak hanya pada 'pemahaman', misalnya saja tentang 'kita ada di sini'. Manusia juga perlu mempunyai pemahaman tentang 'kenapa kita ada di sini', 'apa peran yang telah kita lakukan', dan 'apa seharusnya peran tersebut di muka bumi ini'.
Lebih jauh, menurut O'Grady, keimanan menghendaki ketundukan (obedience) yang berpuncak pada Tuhan. Ketundukan itu sangat diperlukan dalam agama; sama perlunya dengan kebebasan untuk bertuhan atau tidak bertuhan. Namun penting diingat, kebebasan individu yang berlebihan dalam penggunaan rasionya dapat menjerumuskan masyarakat ke dalam kehidupan tanpa makna.
Esensi agama jelas merupakan antitesis dari konflik dan kekerasan. Agama mengajarkan kepada umat manusia untuk hidup rukun dan damai. Dengan kehidupan seperti itu, manusia dapat meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan. Agama juga mengajarkan doktrin dan praktik yang dapat meninggikan kepuasan batin dan tingkat kerohanian manusia, yang pada gilirannya membuatnya merasa dekat dengan Tuhan. Dengan perasaan ini, manusia menempatkan dirinya dalam lingkungan semesta lebih luas, yang dapat membawa ke dalam penghayatan makna hidup lebih luas dan lebih dalam.
Dengan tingkat spiritualitas keagamaan lebih tinggi, manusia memiliki tujuan hidup lebih kuat dalam kehidupan sehari-hari dan akhir hayat kelak. Semua ini mengilhami dan mendorong manusia untuk melakukan kian banyak amal saleh-bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk lingkungan kehidupan lebih luas.
Karena itulah, agama baik tidak hanya untuk kehidupan individu, tetapi juga bagi kehidupan sosial dan komunal. Agama berada pada posisi transenden-mengatasi berbagai perbedaan, seperti warna kulit, ras dan etnisitas, sosial-budaya, ekonomi, dan seterusnya. Agama memberikan rasa persaudaraan dan solidaritas sehingga dapat menjadi faktor pemersatu di antara umat manusia. Sekali lagi, hanya sektarianisme intra dan antaragama berlebihan yang membuat ajaran agama tentang ukhuwah menjadi lenyap.
Agama baik bagi kita. Namun, masalah terkait agama tetap terus muncul, baik dari lingkungan intra dan antaragama maupun dari para pengingkar agama. Meski demikian, agama tetap menjadi salah satu faktor utama yang menentukan perjalanan manusia, baik secara individu, masyarakat, maupun bangsa. Deklarasi kematian agama oleh para pengingkar atau pernyataan 'God is dead' oleh filosof Friedrich Nietzshe jelas tidak relevan dan jauh daripada kenyataan.
Oleh: Azyumardi Azra
Lembaga dunia debat IQ2 yang berpusat di London dengan cabang di Amerika Serikat, Australia, dan Asia menghadirkan empat pembicara—termasuk saya—mengenai apakah agama sebenarnya baik atau sebaliknya tidak baik bagi manusia.
Dunia debat ternyata memiliki prominensi, signifikansinya sendiri, dan ceruk bisnis yang tidak bisa diabaikan. Lembaga Intelligence Squared2 (IQ2) didirikan penguasa media Jeremy O’Grady dan John Gordon pada 2002. Sejak waktu itu, perdebatan yang mereka selenggarakan juga disiarkan BBC London dengan pemirsa lebih dari 70 juta; dan mencapai hampir satu juta hits di YouTube. Penikmat dunia debat kian meningkat lewat kerja sama sejak 2012 dengan Google.
Banyak isu yang telah diperdebatkan IQ2; mencakup topik seperti misalnya ‘George W Bush is the Worst American President for Past Fifty Years’, ‘The Future of Iraq’, ‘Better Elected Islamists than Dictators’, ‘The UN Should Admit Palestine as Full Member State’, ‘Is Islam Religion of Peace’, dan ‘It is Time to End the War on Drug’. Para debatornya mencakup figur-figur semacam Tony Blair, Richard Branson, Julian Assange, Richard Dawkins, dan banyak lagi.
Dalam debat ‘Religion is Good for You’, dua pembicara for motion, Selina O’Grady, penulis buku bestseller berjudul provokatif, And Man Created God (2012), dan saya sendiri, sebagai pihak yang memercayai agama baik bagi manusia. Sebaliknya dua pembicara lain menentang (against) pihak pertama; Suhel Seth, kolumnis dan pakar manajemen asal India; dan Carlos Celdran, seniman-aktivis Filipino yang sering terlibat pertikaian dengan otoritas gereja di Filipina.
Mengapa agama harus diperdebatkan? Apakah agama masih relevan diperdebatkan? Memperlakukan diri sendiri sebagai ‘partisipan-pengamat’, saya tercengang menyaksikan audiens yang hampir 500 orang memadati salah satu ball room Hong Kong Convention and Exhibition Centre. Ternyata agama masih sangat menarik diperdebatkan. Padahal, acara dilakukan pada hari kerja, dan para audiens harus membayar, dan menembus cuaca dingin, mendung diselang-selingi hujan.
Jadi, walaupun agama secara sosiologis dan antropologis telah ada sejak berkembangnya kebudayaan manusia sampai sekarang, agama tetap merupakan salah satu realitas pokok dalam kehidupan. Tidak peduli di bagian dunia manapun, baik yang masih terbelakang, tengah berkembang, maupun sudah mapan, agama tetap saja mewarnai kebudayaan dan peradaban manusia.
Pada saat yang sama, agama masih tetap dipersoalkan sebagian kalangan. Para pengingkar agama telah eksis sejak masa awal munculnya agama. Mereka baik secara individu maupun kelompok terorganisasi menolak agama dengan berbagai alasan. Penolakan dapat mereka lakukan secara sporadis atau sistematis dan filosofis, dan bahkan melalui kekuasaan negara seperti terjadi di negara-negara komunis-ateis.
Bagi para pengingkar, agama adalah nonsen belaka karena mengandung ajaran tidak masuk akal, berbau dongeng, mitos, dan legenda. Dengan ajaran yang tidak masuk akal, agama menjadi ‘candu’ yang dapat memabukkan dan membuat manusia lupa diri. Agama dalam pandangan ini hanya merupakan pelarian (escapism) dari ketidakmampuan manusia mengatasi berbagai masalah yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Lebih jauh, para pengingkar memandang agama ‘berbahaya’ karena dalam kenyataannya menimbulkan kekerasan, pertumpahan darah, dan perang di antara berbagai kelompok anak manusia. Atas nama agama atau aliran, mazhab atau denominasi masing-masing para pemeluk agama terlibat konflik dan kekerasan satu sama lain. Sektarianisme dan parokialisme yang bukan tidak sering bernyala-nyala menjadi penyebab konflik dan kekerasan yang seolah tidak pernah putus di antara para pemeluk agama.
Keadaan menjadi lebih buruk ketika kekuasaan politik untuk kepentingan politik atau agama menggunakan negara guna menindas dan memerangi kelompok agama tertentu yang mereka pandang sesat atau mengancam status-quo politik dan agama. Sepanjang sejarah dengan mudah ditemukan berbagai kasus di mana agama menjadi alat dan justifikasi bagi para penguasa untuk melakukan penindasan.
Argumen lain untuk menolak agama terkait dengan kepemimpinan dan lembaga agama yang korup. Lagi-lagi atas nama agama, ada kalangan fungsionaris dan lembaga agama yang menumpuk harta benda atau melakukan pelbagai bentuk penyimpangan seksual yang membuat agama sangat tercemar.
Karena itu, bagi pengingkar yang sering disebut sebagai skeptis, agnostik, atau ateistik, agama lebih banyak mudharatnya dibandingkan manfaatnya, baik bagi kehidupan individu maupun kelompok. Bagi mereka, masyarakat bakal lebih sejahtera dan damai jika agama tidak lagi ikut mengendalikan kehidupan.
Pandangan para pengingkar agama ini baru satu sisi dari sikap terhadap teologi dan gejala agama dalam kehidupan aktual. Terdapat pandangan sebaliknya, yang melihat agama justru baik bagi kehidupan manusia.
Agama baik untuk Anda. Akan tetapi, sekali lagi, ada kalangan masyarakat yang tidak setuju dengan pernyataan ini. Alasannya macam-macam, terutama terkait dengan ekses-ekses tertentu dari tindakan orang-orang yang berbuat atas nama agama. Padahal, tindakan itu merupakan penyimpangan dan bertentangan dengan esensi dan ajaran agama-rahmat dan kasih bagi semesta alam.
Jelas jauh lebih banyak lagi orang yang yakin agama baik untuk umat manusia. Memulai perdebatan Intelligence Squared2 (IQ2) tentang “Religion is Good for You”, saya berpandangan, agama baik bagi individu dan masyarakat jika esensi dan ajarannya diimani dan diamalkan secara komprehensif. Untuk memperoleh kebaikan agama, orang atau kelompok masyarakat mesti tidak mengambil ajaran agama atau ayat-ayat dalam kitab suci secara sebagian atau sepotong-potong. Juga tidak memahami ajaran atau ayat kitab suci tertentu untuk kepentingan sendiri, apakah harta benda, pengaruh, dan kekuasaan.
Pemahaman semaunya terhadap agama, baik keseluruhan maupun sebagian, hanya berujung pada ekses yang mendistorsi agama yang jelas bertentangan dengan hakikat agama.
Pemahaman agama secara komprehensif (syumul atau kaffah) tidak bisa dengan menggunakan akal pikiran semata. Karena, agama pertama-tama bukanlah kumpulan doktrin ilmiah yang bersandar pada prinsip rasional.
Sebaliknya sejak dari awal, agama menyangkut keimanan-ranah yang hanya bisa terjangkau kalbu tidak oleh akal. Memang agama mengandung ajaran rasional, tetapi tidak berarti agama sepenuhnya dapat dipahami dengan menggunakan akal pikiran semata.
Sifat agama seperti itulah yang justru membedakan agama dengan sains dan produk akal lain. Karena itu, sejauh menyangkut agama, yang terpenting adalah mengimani (believing), mengamalkan (practicing), dan mengalami (experiencing). Melakukan ketiga hal ini dalam beragama, manusia dapat merasakan bahwa 'agama benar-benar baik bagi kita'.
Selina O'Grady, penulis And Man Created God, juga berpandangan hampir sama. Menurut dia, agama lebih berdasarkan keimanan dan kepercayaan daripada pemikiran rasional. Agama bukanlah sains yang berdasarkan pada preposisi yang mesti berdasarkan rasio. Agama bukan menyangkut hal yang selalu akal atau tidak masuk akal; sebaliknya tentang nilai dan makna. Agama juga tidak hanya semata-mata berbicara tentang apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan manusia, tetapi menyangkut tujuan kehidupan.
Dalam hal agama, manusia memiliki kebutuhan fundamental tidak hanya pada 'pemahaman', misalnya saja tentang 'kita ada di sini'. Manusia juga perlu mempunyai pemahaman tentang 'kenapa kita ada di sini', 'apa peran yang telah kita lakukan', dan 'apa seharusnya peran tersebut di muka bumi ini'.
Lebih jauh, menurut O'Grady, keimanan menghendaki ketundukan (obedience) yang berpuncak pada Tuhan. Ketundukan itu sangat diperlukan dalam agama; sama perlunya dengan kebebasan untuk bertuhan atau tidak bertuhan. Namun penting diingat, kebebasan individu yang berlebihan dalam penggunaan rasionya dapat menjerumuskan masyarakat ke dalam kehidupan tanpa makna.
Esensi agama jelas merupakan antitesis dari konflik dan kekerasan. Agama mengajarkan kepada umat manusia untuk hidup rukun dan damai. Dengan kehidupan seperti itu, manusia dapat meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan. Agama juga mengajarkan doktrin dan praktik yang dapat meninggikan kepuasan batin dan tingkat kerohanian manusia, yang pada gilirannya membuatnya merasa dekat dengan Tuhan. Dengan perasaan ini, manusia menempatkan dirinya dalam lingkungan semesta lebih luas, yang dapat membawa ke dalam penghayatan makna hidup lebih luas dan lebih dalam.
Dengan tingkat spiritualitas keagamaan lebih tinggi, manusia memiliki tujuan hidup lebih kuat dalam kehidupan sehari-hari dan akhir hayat kelak. Semua ini mengilhami dan mendorong manusia untuk melakukan kian banyak amal saleh-bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk lingkungan kehidupan lebih luas.
Karena itulah, agama baik tidak hanya untuk kehidupan individu, tetapi juga bagi kehidupan sosial dan komunal. Agama berada pada posisi transenden-mengatasi berbagai perbedaan, seperti warna kulit, ras dan etnisitas, sosial-budaya, ekonomi, dan seterusnya. Agama memberikan rasa persaudaraan dan solidaritas sehingga dapat menjadi faktor pemersatu di antara umat manusia. Sekali lagi, hanya sektarianisme intra dan antaragama berlebihan yang membuat ajaran agama tentang ukhuwah menjadi lenyap.
Agama baik bagi kita. Namun, masalah terkait agama tetap terus muncul, baik dari lingkungan intra dan antaragama maupun dari para pengingkar agama. Meski demikian, agama tetap menjadi salah satu faktor utama yang menentukan perjalanan manusia, baik secara individu, masyarakat, maupun bangsa. Deklarasi kematian agama oleh para pengingkar atau pernyataan 'God is dead' oleh filosof Friedrich Nietzshe jelas tidak relevan dan jauh daripada kenyataan.
Oleh: Azyumardi Azra
Komentar
Posting Komentar